Bab 14. Bersandarlah di bahuku

67 27 4
                                    

Dengan wajah masih membekas air mata, Amara berlari ke samping garasi dan mengambil sepedanya, lalu ia membuka pintu pagar rumah dan mulai mengayuh sepedanya menyusuri jalan sekitar komplek rumah yang tampak begitu lengang.

Ia tak sekalipun menoleh ke sekitarnya, matanya yang tampak memerah bekas menangis tadi sesekali di sekanya dengan ujung jarinya, meskipun masih ada yang tertinggal setetes dua tetes yang membekas di rona pipinya.

Amara terus mengayuh sepedanya hingga mencapai sebuah danau kecil yang letaknya memang tak jauh dari rumahnya.
Danau tersebut cukup sepi karena jaraknya yang jauh dari keramaian dan jalan raya, pinggir danau kelihatan begitu asri dengan pohon-pohon rindang berjajar begitu rapi dengan jarak yang tak begitu renggang mungkin hanya sekitar dua atau tiga meter dari satu pohon ke pohon lainnya.

Tak jauh dari tepi danau, terdapat beberapa bangku panjang untuk duduk, dan beristirahat sambil memandang ke tengah danau yang tenang. Tak begitu banyak orang yang datang kesana, hanya beberapa yang mungkin ingin menikmati suasana tenang, menghindar untuk sejenak dari kebisingan, atau mungkin juga dari segala kesibukan yang melelahkan setelah selesai bekerja.

Amara menyandarkan sepedanya di bawah sebuah pohon yang berukuran lebih besar dari pohon yang lainnya, lalu ia duduk di atas rumput yang terhampar rapi, kedua lutut ditekuknya, sementara kedua tangannya diistirahatkan diatas lutut sebagai penyangga dagunya, matanya memandang lurus ke tengah danau.
Disanalah biasanya ia selalu menyendiri kalau memang sedang merasa sedih, galau dan saat perasaannya sedang tak menentu seperti sekarang.

Amara biasa menumpahkan semua perasaannya dengan melemparkan kerikil-kerikil yang berserakan ke tengah-tengah danau, sambil berteriak sekencang-kencangnya dan hasilnya ia selalu merasa lega setelahnya.

Tapi entah kenapa hari ini ia hanya diam saja, menatap riak-riak air danau yang begitu tenangnya, kedua matanya terus fokus menatap lurus ke tengah danau, seolah sedang mengukur berapa kedalaman kolam raksasa di hadapannya itu. Rambutnya yang biasanya ia ikat saat ini dibiarkannya tergerai agak berantakan, sehingga terlihat ujung rambut depannya itu meliuk-liuk saat angin semilir menerpa wajahnya.

Lama cewek itu memandangi danau yang terhampar di hadapannya, sesaat kemudian ia berdiri dan mendekati tepian danau yang terlihat sangat jernih, ia menjatuhkan kedua lututnya ke pinggiran danau. Lalu mencondongkan badannya untuk melihat bayangan wajahnya yang jelas tergambar di air danau.

Ditatapnya wajah itu dengan seksama seperti mencari sesuatu entah apa? lalu ia mencelupkan jari-jari tangannya ke dalam air sehingga bayangan wajahnya lambat laun memudar seiring gerakan cepat jemarinya.

"Hai! Mau ditemenin nggak?" sebuah suara tiba-tiba mengejutkan Amara dan terdengar tak asing di telinganya.

Ia hampir saja terjatuh ke tepian air danau, kalau saja tangan itu tak cepat menahan pundaknya.
Amara mendongakkan kepala ke arah asal suara tadi, matanya terbelalak kaget saat melihat sosok yang sedang berjongkok disampingnya kini.

"Kak Panji! lagi ngapain disini?" tanyanya kemudian.

"Seharusnya aku yang nanya kayak gitu," ucap Panji sambil tersenyum.

"Aku emang udah biasa ke sini!"

"Aku juga."

"Sejak kapan?" Amara berdiri menjauhi Panji dan merapikan rambutnya yang agak berantakan, ia menyesal kenapa tadi ia tak sempat mengikatmya saat menuju ke sini. Selebihnya ia tak mau wajahnya terlihat seperti bekas menangis di hadapan cowok itu.

Panji tak menjawab pertanyaan Amara, ia hanya menatap cewek di depannya itu dengan lekat. Kemudian ia mendekati pohon yang tak jauh dari tempat mereka berdiri, lalu duduk dibawah pohon tersebut dengan posisi kakinya lurus kedepan, sedangkan kedua tangannya bertumpu di atas rerumputan yang didudukinya.

RAHASIA AMARA [Tamat]Where stories live. Discover now