1. Hujan Pagi

491 38 1
                                    

1. Hujan Pagi


Pertemuan itu menyisakan rindu-rindu yang selalu Freya ingat dalam lembaran hidupnya. Dari balik senyum pria berparas manis tak bertepi itu, dari sorot mata yang tajam menyentuh hati, menyisakan kilas balik yang akan terus dikenang oleh Freya. Bagaikan rindunya pada bunga sakura pada musim gugur, bertaburan ranum wangi pergantian musim tatkala ia pernah berkunjung ke belahan bumi yang menjadi impiannya. Freya terkatung cinta yang tetap melekat sejak saat itu. Rasa yang ia emban tak pernah berubah. Tetaplah bertahan bahkan bertambah.

Siapa yang tidak tahu dengan pria bernama Raka Azura. Ia selalu tampil menarik setiap saat, memikat para gadis yang sempat menyorot senyuman semanis gula itu. Namanya terkenal sejak masa orientasi sebagai siswa paling pembangkang. Hanya pria itu yang berani menentang para senior yang berkali-kali lebih seram darinya. Namanya kian melejit tatkala berani berdiri sebagai wakil ketua OSIS, walaupun tatkala itu ia masih kelas satu SMA. Tidak ada yang meragukan wajahnya yang tampan. Para kakak kelas berebut mencuri pandang ketika Raka sedang bermain basket di lapangan sekolah, menyuarakan nama Raka yang sedang berpeluh di sana.

Apalah daya, Freya menyadari bahwa dirinya hanyalah wanita biasa. Tidak ada yang patut dibanggakan selain harga dirinya untuk tetap menyukai pria itu. Siapa juga yang menyukai wanita pendiam yang tidak populer sepertinya, apalagi berharap pria itu membalas tepuk hati yang sedang ia dendangkan di dalam hati paling terdalam. Langkahnya selalu terhenti mengingat selalu banyak yang mengantre untuk mendapatkan perhatian Raka. Senyumnya selalu padam berkat sorot wajahnya tak pernah sedikit pun mendekati Freya. Ia tetap di belakang sembari mengagumi keistimewaan seorang Raka, berharap suatu saat Raka akan mengenali dirinya luar dan dalam.

Freya tersenyum mengingat masa-masa itu, walaupun ia sadar bahwa harapannya tidaklah semulus perkiraan. Tetap ia kayuh sepeda gunungnya menuju sekolah di tengah hiruk pikuk pagi yang kontras. Pagi terlalu cepat untuk bergerak, semuanya sibuk untuk memulai hari. Termasuk Freya yang tengah mengejar gerbang sekolah, meskipun gerimis manja menitik di kulitnya.

Tanpa diduga terjadi masalah pada sepeda yang ia kayuh. Pedal tidak berfungsi seperti biasa, hingga pedalnya tidak lagi bisa dikayuh yang mengakibatkan dirinya terjatuh ke tepian trotoar jalan.

Aduh!!!

Tubuh Freya terhempas dengan keras. Ia sempat merintih untuk meminta tolong. Namun, orang-orang tetap melanjutkan perjalanan dengan kendaran-kendaraan mewah yang mereka gunakan. Jangankan berhenti, mengucakan kekhawatiran pun tidak. Hanya tolehan wajah tidak bermakna yang ia dapati dengan menyerngit kesal. Sebisa mungkin ia untuk bangkit, namun lututnya terlampau terasa sakit. Darah dari lututnya terlihat merembes ke permukaan rok.

Dari ujung rintik hujan yang menetes melalui ranting pohon di sekitar, sayup-sayup ia menatap seseorang berpayung tengah menghampirinya. Tatapnya teduh tidak ubah layaknya mendung hari ini. Cahaya bahkan belum membuat cerah sorot matanya yang lurus kepada Freya, berkisar jarak satu langkah dirinya berada. Tanpa diduga, pria itu mengangkat sepedanya tersebut ke trotoar.

“Hati-hati kalau bersepeda.” Ia menjulurkan tangannya kepada Freya. Tanpa ragu sekali, seakan mereka sudah berkenalan sepenuhnya.

Freya menyambut juluran tangannya sembari merintih perih di lutut. Gemeretak tulangnya yang kembali merenggang pun berbunyi. Ia kembali berdiri tegak sembari melihat sepedanya yang tergores.

“Terima kasih sekali.” Freya menatap rantai sepedanya macet. “Rantai sepedanya tiba-tiba enggak bisa dikayuh.”

“Lutut lo terluka,” ucapnya. Ia mengambil sesuatu dari tas miliknya. “Lap dulu lukanya … nih.”

Pria itu benar. Terlihat luka berdarah tatkala ia menyingkapkan roknya selutut. Freya meraih tissue yang diberikan menyapu darah yang keluar. Rok seragam SMA-nya terdapat noda darah yang menyesap ke dalam.

“Eh, tidak perlu diperbaiki. Gue bisa sendiri.” Freya menahan pria tersebut yang tengah mengotak-atik sepedanya.

“Urus aja luka lo dulu. Berlindung dari hujan. Pakai payung itu.” Ia menunjuk payung tersebut.

Tidak ada hal yang bisa ia sampaikan selanjutnya. Freya hanya duduk berjongkok sembari melihatnya mengotak-atik rantai. Tangan pria itu tampak cekatan mengembalikan rantai pada porosnya, walaupun kini tangannya bernoda hitam berkat berbaik hati menolong Freya.

“Lain kali diberi oli. Rantai lo kering banget.” Ia menggesekkan tangannya yang beroli ke tissue.

“Terima kasih lagi … gue udah ngerepotin lo.”

Wajah Pria itu tetap datar tatkala Freya berterima kasih. Ia rebut kembali payung tersebut sembari mengangguk. Tanpa ekspresi yang berarti, sorot lurus itu seakan tidak bermakna sama sekali atas nama kebaikan. Seakan, ia sedang tidak melakukan suatu hal yang membuatnya tertarik.

“Enggak apa-apa kok. Lo dari kelas 11 IPA 2, kan?” tanya pria itu.

Freya terheran-heran. Ada pria tinggi dengan pembawaan diri yang dingin mengenali dirinya yang tak kunjung menampakkan diri di sekolah. Freya rasa, hanya teman sekelasnya saja yang tahu mengenai dirinya. Ia juga tak punya teman di luar kelas. Jangan berharap ada yang tahu tentang sepenggal nama Freya. Ia tidak percaya jika ada pria seperti ini yang mengenalnya.

Arion ? Arion Gabriel?

Kepala Freya memutar sepenggal nama untuk dieja di dalam hati. Ia ingat nama itu karena pernah mendengar penggalan nama itu sebelumnya.

Oh, dia yang Arion itu?

Freya mengingat pembicaraan para perempuan di kelas mengenai pria dingin yang kadang mereka sandingkan dengan Raka. Saking dinginnya pandangan pria itu, terkadang lawan bicara terdiam untuk menafsirkan arti dari sorot matanya. Baru kali ini ia bertatap langsung dengan dirinya. Semenjak ini ia hanya mengetahui sepenggal nama itu, tanpa pernah melihat siapa gerangan pemilik nama tersebut.

“Iya, gue dari Freya dari kelas 11 IPA 2,” balas Freya.

“Oh, begitu …. sekelas sama Raka, dong?” tanya Arion kembali.

Freya mengangguk. Pria yang ia sukai itu berada sekelas dengannya tahun ini. Satu hal yang membuat Freya semangat untuk memasuki kelas setiap hari.

“Benar, Raka sekelas sama gue. Btw, lo dari─”

Kalimat Freya terpotong olehnya.

“Ayo jalan lagi. Nanti terlambat.”

Tanpa menunggu, Arion berjalan menelusuri trotoar meskipun ia tahu ia sedang diikuti oleh Freya dari belakang. Sesekali dirinya menoleh ke belakang untuk melihat keadaannya yang berjalan sembari mengangkat roknya. Sebelah tangannya menggiring sepeda, lalu sebelah tangannya lagi melindungi wajah dari percik hujan. Freya ikut berhenti tatkala Arion tidak lagi melangkahkan kaki.

“Nama lo Freya, kan?” tanya Arion kembali. Padahal ia tahu jika nama wanita itu Freya. “Sini, pakai payung sama gue. Gerimisnya semakin deras.”

Seketika Freya bergeming dengan perkataannya tersebut.  Seorang pria yang baru saja ia kenali malah merendahkan diri untuk sepayung berdua dengannya. Rinai terhempas di naungan itu, meneduhkan mereka dari rintik yang turun.

***

Anantara RasaWhere stories live. Discover now