17. Sekali lagi : Kalea bercerita.

235 36 0
                                    

Selepas senja pergi saya hanya diam tak bergerak di atas kasur ruang kamar serba putih dengan selimut tebal sebagai penghangat. Semilir angin pendingin ruangan menerpa wajah dan rambut saya pada langit yang mulai gelap. Senyuman saya terangkat membuat kerutan pada ujung mata ketika ingatan saya kembali pada awal tahun.

Saya kembali teringat pertemuan pertama kala itu bersama Jae di Cafe. Pertemuan yang ternyata benar-benar membuat kejadian dalam hidup saya berbeda setelahnya.

Semesta memberi kami temu, seolah tahu dan memberikan perayaan untuk kami melepas rindu.

Pada sapanya kala senja, sekali lagi hati saya jatuh padanya.

Perihal rindu. Rindu selalu kejam dalam merampas rasa yang ada dalam perasaan. Begitu lihai menyisakan kesedihan membuat jiwa terasa berantakan. Saya akui, saya tidak mampu melawan rencana semesta kala itu.

Pada tawanya kala senja, sekali lagi hati saya jatuh padanya.

Suara dan tawa lepas yang sudah lama tidak memasuki pendengaran membuat jantung saya berdetak tak karuan, sebab hanya dari hal itu saja dia sudah mampu meruntuhkan segala pertahanan hati yang telah saya buat kuat-kuat. Saya akui pertahanan saya cukup kuat pada setiap godaan dan serangan dari orang lain, tapi saya mengakui pertahanan saya mungkin tidak cukup kuat untuk menahan semua serangan lewat kata dan tatapan matanya. Apapun yang berhubungan dengan dia membuat diri saya melemah.

Pada tatapnya kala senja, sekali lagi hati saya jatuh padanya.

Di sini, dalam dada saya, ada rasa bahagia. Seperti ada banyak kembang api yang meledak seakan mengajak bermain. Senyum kecil saya selalu terangkat di dekatnya, seakan Tuhan mengabulkan doa yang saya selipkan tanpa sengaja di kala saya merindu di setiap waktu.

Namun banyak kebingungan yang saya alami setelah pertemuan pertama pada kala itu. Sangat mendadakan, saya tidak punya persiapan apapun untuk menyambutnya. Bagaimana bisa semesta mempertemukan kami secara tiba-tiba seperti itu? Saya kembali bertanya pada hati, apakah saya siap untuk melihatnya sekali lagi yang akan masuk pada hidup saya? Saya berusaha sekeras mungkin untuk mengusir dia dalam pikiran. Saya berusaha sekeras mungkin membuat pertahanan dalam diri. Saya juga berusaha sekeras mungkin agar diri saya tidak lemah pada setiap ucapan yang menyangkut dia di dalamnya.

Tapi saya tahu, saya payah kali ini. Meski saya menolak berkali-kali, saya masih mau membuka hati. Saya lemah untuk pertama kali, semua itu karena dia.

Dia, Jaeenan Pradipta.

Pria itu benar-benar, deh.

Saya menutup seluruh tubuh dengan selimut untuk menghangatkan tubuh sampai dering ponsel membuat saya menoleh pada meja kecil di samping kasur. Senyum saya kembali terangkat ketika mata saya membaca nama penelefon.

"Iya?"

"Laper."

Saya melihat jam dinding kemudian mengernyit, "Belum makan?"

"Belum."

"Sana makan.

"Temenin."

"Gue siap-siap."

"Oke, gue otw."

"Iya, hati-hati."

Kekehan kecil Jae terdengar, pasti dia sedang kegirangan karena saya langsung menyetujui ajakannya. Biasanya saya menolak dulu ajakan dia yang berakhir membuat dia merengek seperti bayi. Sebenarnya kadang saya sengaja melakukan itu hanya untuk melihat reaksi Jae yang menggemaskan.

Saya senang dengan obrolan basa-basi sederhana, senang pula saat melihat pesan Jae yang masuk di siang hari saat saya lelah beraktivitas. Saya heran, entah saya yang gampang bahagia atau memang jatuh cinta sesederhana itu? Sesederhana membicarakan apa saja dengan Jae? Sesederhana saya mendengar tawa manis Jae?

Entahlah, yang pasti saya bahagia saat bersamanya.

Saya segera turun dari kasur kemudian mengambil hoodie di dalam lemari. Bel pintu pada kamar apartemen saya berbunyi membuat saya segera menghampiri

"Cepet banget." gumam saya.

Saya membuka pintu yang langsung di sambut dengan Jae yang memeluk saya secara tiba-tiba, membuat saya terkejut. Apalagi pria dengan tinggi badan 182 cm itu sangat tinggi untuk saya yang hanya memiliki tinggi badan 155 cm, tubuh saya secara spontan terdorong ke belakang karenanya.

"Lo tinggi banget."

"Lo kependekan."

Saya berdecak, "Gue juga mau tinggi tau!"

Jae mengacak rambut saya kemudian memakaikan kupluk hoodie yang saya gunakan. Merapihkan kembali rambut saya sembari tersenyum sampai matanya menyipit.

"Jangan, lo lucu. Apalagi kalau pake hoodie gini, tenggelam."

"Jaeenan!"

Setelah itu hanya tawa renyah yang mengisi kamar apartemen saya. Jae merangkul tubuh saya, mendekatkan pada tubuhnya agar semakin dekat satu sama lain.

"Mau makan apa?" tanya Jae.

"Tadi kan lo yang ngajakin, gue ngikut."

"Pengen ayam bakar deket Agensi gue itu."

Saya mendongak, mencoba untuk melihat wajahnya, "Yang lain boleh? Di sana pasti banyak media yang lagi incar lo."

"Tapi pengen itu..." katanya dengan bibir yang di majukan.

Sial, kenapa lucu sekali? Sengaja membuat saya merasa gemas, ya?

"Yang lain aja gimana? Ada lagi nggak yang lo pengen selain itu?"

"Lo sih."

"Jaeenan!"

Saya dan Jae sering menggoda satu sama lain walaupun berakhir saya yang sebal dan gemas padanya secara bersamaan. Tapi saya senang bagaimana Jae ketika serius yang bisa melontarkan pendapat meskipun berbeda dengan saya dan membuat suasana tidak semenegangkan itu, justru membuat saya nyaman dalam bertukar pendapat dengannya. Bagaimana Jae yang suka memberi rekomendasi tempat makan baru walaupun terkadang saya suka menolak karena takut ada orang yang mengenali kami dan juga bagaimana Jae yang suka menganggu saya karena tau saya mudah sekali merona hanya karena kata-kata manisnya.

"Jadinya mau di mana Jae?"

"Bingung, lagi mau itu banget."

"Gimana kalau ayam bakarnya kita bungkus aja? Nanti makannya di tempat lain yang lebih aman." saya memberi saran.

"Boleh," Jae mengangguk setuju.

"Boleh request nggak tempatnya?" tanyanya.

Saya mengangguk.

"Di kamar gue, sekalian gue mau dengar pendapat lo tentang lagu yang baru aja gue tulis. Mau nggak?"

"Mau!" seru saya antusias.

Jae tertawa melihat reaksi saya kemudian mencubit pelan pipi kanan saya sembari menarik-nariknya sesekali.

"Sakit."

"Lagian lo lucu."

Padahal saya sudah memasang raut wajah kesal tapi setelah mendengar tawanya raut wajah saya langsung melunak.

Dasar, lemah sekali kamu, Kalea.

Tidak apa deh dia mencubit pipi saya kali ini, toh saya jadi bisa mendengar tawa dia yang membuat saya bahagia.

Saya menatap mata Jae lagi dan lagi, saya pun bertanya kepada hati lagi dan lagi. Akhirnya saya yakin sekarang, senyum Jae yang menerangi itu adalah keajaiban. Lebih dari apapun.

Sekali lagi, saya jatuh cinta padanya lagi dan lagi.

Saya jatuh cinta pada senyum Jae. Jatuh cinta? Boleh saya garis bawahi ini?

[1] For Us - DAY6 Jae ✔️Where stories live. Discover now