68. Devon (1,3 Tahun Lalu)

71 18 2
                                    

"Baru pulang, Mas?" tanya Bik Nah setelah membukakan pintu depan untukku.

"Iya," jawabku sambil tersenyum. "Oh iya. Ini, Bik. Ada lauk makan malam dari ibuknya Boss."

Bik Nah menerima kotak makan plastik berukuran sedang yang isinya lauk untuk makan malam dari Ibuk dengan mata berbinar.

"Alhamdulillah. Bik Nah tidak perlu masak lagi nanti malam." sahut Bik Nah senang.

Aku tersenyum mendengar kalimat Bik Nah. Harus aku akui, pengalaman memasak hari ini telah mengajarkanku bahwa memasak tidak sesederhana itu.

"Saya mau mandi dulu ya, Bik." pamitku setelah meletakkan kunci mobil di atas meja.

"Iya, Mas."

Aku berjalan menuju kamarku dan mengambil handuk untuk segera mandi. Saat hendak melepas kemejaku, tiba-tiba aku teringat kejadian di rumah Boss saat ia mencegahku mengusap sudut mataku karena jari-jariku pasti terkena bumbu yang mengandung cabe rawit di dalamnya. Sungguh, saat Boss melakukannya aku harus setengah mati mengerem ekspresiku.

Saat itu aku merasa sangat terkejut sekaligus... well... sekaligus malu. Entah kenapa akhir-akhir ini saat Boss melakukan gestur atau tindakan spontannya untuk melindungiku, rasanya jantungku langsung rajin bekerja. Padahal dulu aku merasa biasa saja saat Boss membantu menata helai poniku, merapikan dasiku, menyingkirkan benang pada jasku, bahkan mengelap keringatku dengan tissuenya sekalipun.

Tapi kini rasanya berbeda...

Apa ini karena aku selalu bersama Boss hampir tiap hari?

Tapi mengapa aku selalu bad mood saat melihat Boss bersama Brendan?

Apa mungkin karena aku tidak ingin Boss kembali terluka hatinya?

Mengapa aku sepeduli itu?

Boss bekerja bersamaku sudah lebih dari enam bulan dan itu adalah rekor terlama seorang manajer menanganiku. Apa karena itu aku jadi merasa 'terikat' padanya?

Ah... Sudahlah.

Mungkin aku mulai menganggap Boss sebagai kakak perempuanku sendiri sehingga aku mulai mengembangkan perasaan peduli padanya. Mungkin karena aku anak tunggal sehingga aku merasa Boss adalah sosok kakak perempuan yang sempurna untukku.

Ya. Sepertinya begitu. Berarti rasa peduliku pada Boss masih dalam tahap wajar.

***************************************

Selepas mandi, aku duduk di sofa kamarku dan mencoba sedikit bersantai dengan menyalakan televisi. Yang muncul adalah acara memasak yang kali ini sepertinya sedang memasak hidangan seafood.

Baru beberapa menit melihat sang Chef mengaduk bumbu masakan dan membuat perutku mulai sedikit lapar, aku mendengar ponselku berbunyi.

Aku beranjak dari sofa dengan sedikit ogah-ogahan menuju meja samping tempat tidurku untuk mengambil ponsel.  Aku melihat nama yang terpampang di layar.

Mbak Gita.

Pasti masalah pekerjaan. Pikirku.

Aku duduk di kasurku yang empuk dan menekan tombol hijau di layar ponselku.

"Ya?"

"Devon sayaaaaaaang," suara cempreng Mbak Gita langsung terdengar. Nada suaranya cemas.

"Ada apa, mbak?"

Reading RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang