51. Mantan

51 7 0
                                    

51. Mantan

Aditya Brahman nama pria itu. Freya mengetahuinya ketika pertama kali mengikuti Masa Orientasi Sekolah. Pada saat itu, Adit sedang menjadi koordinator lapangan. Kerjanya yang mengatur adik-adik tentu saja tak lepas dari bentakanya. Superioritas sebagai senior pada saat itu tengah menggebu-gebu, apalagi karena bergabung dengan OSIS dan berhak melaksanakan orientasi sekolah kepada siswa baru. Tidak hanya dari sana namanya tersohor, sejumlah peristiwa pun menyeret namanya. Terutama ketika melibatkan teman-teman berandalnya yang sering terkena masalah di sekolah. Beberapa kali Adit pun dipanggil orangtua karena masalah itu. Tidak salah Adit sering dicap sebagai siswa pembangkang, lagi berprestasi sebagai anggota band SMA.

Bukan dirinya yang mengetuai kelompoknya tersebut, melainkan orang lain yang bahkan lebih berandal dari dirinya. Namun, Adit suka pergaulan seperti itu daripada mereka mereka yang pendiam dengan segala sopan santunnya itu. Bagi Adit, kebebasan adalah hak setiap indiviu. Kenakalan remaja merupakan hal yang wajar ketika masih di bawah ambang batas keterlaluan. Jujur, ia tidak menyukai mereka-mereka yang selalu tunduk kepada sekolah dengan segala peraturan memuakkan. Baginya, peraturan-peraturan itu tidak masuk akal dan tidak ada subtansinya sekali bagi keberlangsungan proses pembelajaran.

Bayangkan saja, panjang rambut yang melebihi telinga tidak akan mengganggu proses belajar. Sepatu yang berwarna tidak akan membuat para siswa menjadi bodoh. Ada banyak yang mengangguk dengan itu, terutama murid seperti Raka dan jajarannya. Satu hal kenapa ia tidak menyukai anggota OSIS ialah terlalu mengangguk kepada sekolah. Padahal, sewaktu ia masih menjabat sebagai ketua bidang pada saat itu, bukan sekali mereka menjalankan protes-protes kepada sekolah.

Persetan dengan aturan yang tidak sesuai dengan logika, tulisan itu sangat iconic di WC laki-laki. Setiap kali sekolah mengecat WC laki-laki dengan yang baru, selalu ada coretan yang berupa pemprotesan. Tidak ada satu pun yang tahu siapa gerengan penulisnya, kecuali diri Adit sendiri.

“Siapa? Adit?” tanya Arion di ruangan club. Tidak ada satu pun kecuali dirinya dan Freya di sana. Seluruh orang sudah pulang setelah bel berbunyi. Kebetulan Arion dan Freya mendapatkan jadwal piket yang sama.

“Iya, ternyata Kak Adit itu ibunya kenal dekat dengan Mama gue,” balas Freya sembari menyentuh hasil gambaran wajah dari Arion.

“Oh, iya? Itu berita bagus atau buruk?”

Bahu Freya terangkat. “Enggak tahu. Apa dia ngedeketin gue, ya?”

“Gue kenalan sama lo, apakah itu berarti gue ngedeketin lo?” tanya Arion balik.

“Yah ... dingin banget sih jawabannya. Gue bingung nih maksud Kak Adit kenalan sama gue.”

“Bagi gue, pantas aja dia kenalan sama lo. Lo bilang dia baru pindah dan butuh teman, ditambah lagi kedua orangtua kalian berteman. Jangan kepedean dulu.” Arion menarik kertas HVS di tangan Freya yang berisikan gambarnya tersebut.

“Kalau dia beneran ngedeketin gue, bagaimana?”

Mata Arion memicing. Ia benar tidak menyambung dengan pembicaraan seperti ini. “Itu tergantung lo mau deket sama dia atau enggak. Dan lo suka sama Raka, kan? Ya udah ... jaga jarak aja.”

“Gue mikir itu juga, sih.”

Arion tersenyum. “Tapi, ada satu titik lo bakalan memilih. Semua itu tergantung hati, Freya. Bisa jadi lo nanti suka sama Adit. Hati itu kaya kapal tanpa awak.”

“Ih! Enggak boleh gitu, dong!”

Tangan Arion menyentil jemari Freya yang selalu ingin merebut kertasnya. “Mau ikut nanti malam?”

“Ke mana?”

“Ke cafe sambil ngegambar. Gue dan Raka bakalan di sana. Katanya dia ngajak Karin dan Zeta juga.”

“Ikut!”

Jelas sekali jawaban itu akan diiyakan oleh Freya. Arion sudah menebak sebelumnya dikarenakan akan ada Raka di sana. Selain itu, ia pun senang jika Raka membawa Karin. Ia tidak sanggup langsung mengajak Karin ke sana, biarkan Raka yang mengajaknya sendiri.

Bagi Freya, sudah pasti nanti akan jadi kesempatan baginya untuk melihat Raka menggambar. Sungguh, Raka begitu manis ketika menggambar. Ia berkali-kali bergeming tatkala wajah serius itu tertunduk di hadapan kertas atau tablet yang biasa ia gunakan untuk menggambar. Lidah kecilnya itu terlihat lucu berkat selalu terjulur secuil. Tatkala memerhatikan detail gambar, sebelah mata Raka akan memicing. Terdengar jentik jemarinya apabila gambar yang ia buat telah sempurna. Freya hapal sekali bagaimana Raka melakukannya.

Izin sudah didapat oleh Freya. Arion mengirimkan pesan singkat, bukan melalui media sosial. Freya menolaknya ketika Arion ingin menjemput. Ia berkata akan naik bus ke cafe yang dimaksud. Terdapat sebuah halte yang tidak jauh dari cafe sebagai pemberhentian terakhir. Oleh karena itu, Freya bergegas pergi ke sana setelah jam delapan malam karena di jam segitulah Freya diizinkan untuk pergi. Dengan berlari, ia mengejar halte dan menunggu bus. Cemasnya datang kenapa bus malam tidak kunjung datang. Lima belas menit ia menunggu bus, barulah bus itu datang.

Dadanya berdebar-debar menantikan hadirnya mereka di sana. Freya takut jika terlalu terlambat karena jam tangan sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Tak ada tempat lagi untuk berlambat-lambat. Setelah sampai di halte sekitar cafe, Freya bergegas berlari hingga sampai ke muka pintu cafe dengan napas yang tak beraturan. Tatkala masuk, seakan tersapu keringat di dahi oleh dinginnya udara cafe. Tampaklah rambut Arion yang terikat ke belakang itu, lalu Freya melangkah ke sana.

“Sepertinya gue harus pulang dulu. Mama gue butuh dijemput,” ucap Raka tiba-tiba. Sementara itu, ia tak sadar bahwasanya Freya baru datang ke meja mereka. Ia pun menoleh kepada wanita itu. “Wah, Freya ... hmm ... Karin dan Zeta enggak bisa datang dan gue harus pulang sekarang karena Mama lagi butuh gue. Maaf banget, nih.”

Dua kali ia berbolak-balik memandang Arion dan Raka, seakan tidak percaya ia meninggalkan momen ini. “Aduh, gue terlambat, ya? Gue maaf banget. Sumpah busnya kelamaan.”

“Enggak, kok. Gue aja yang harus puluang duluan. Tenang aja, Arion masih di sini. Kopi dan rokoknya belum habis.” Raka menggeleng sembari memandang kepada Arion. “Arion, bawa Freya ke area bebas rokok, ya? Kasian dia kalau di sini.”

“Jangan memerintah gue,” balas Arion dengan dingin.

Raka tersenyum mendengarnya. “Lihat? Dia selalu aja begini. Gue pamit dulu ya, Freya.”

Satu belaian ke arah rambutnya, meninggalkan kesan perpisahan kepada Freya. Raka pergi dengan sentuhan akhir itu. Gemerincing bunyi pintu cafe yang berbunyi menandakan Raka sudah pergi keluar. Duduklah Freya dengan menyesal. Ia benamkan wajah ke atas meja. Menyesal dirinya tidak menerima ajakan dari Arion untuk menjemputnya.

“Gue terlambat. Bodoh!” Freya menepuk dahinya sendiri.

“Lo enggak terlambat, dia aja yang pengen pergi.” Tangan Arion mengangkat kepala Freya. “Sudahlah, lagian kami di sini semenjak jam enam. Bahkan, target gambar kami hari ini hampir selesai. Lo bisa mesan minuman dan kita ngobrol di sini.”

“Tapi, Raka udah pulang. Enggak ada menariknya.” Suaraa Freya memelas.

“Ini otak lo Raka melulu, ya? Heran gue!” Ia memukulkan pena ke dahi Freya.

Waiter cafe datang setelah Arion panggil. Tanpa memberikan pilihan kepada Freya, dirinya memilihkan langsung minuman untuk wanita itu. Hanya saja, Freya tidak mengeluh sedikit pun. Ia menerima pesanan apa yang dipesankan oleh Arion. Minuman pun datang, mereka tidak kunjung pergi dari area merokok seperti yang diminta oleh Raka. Lagi pula, hanya ada dirinya dan Freya di sini.

“Lo tega ngebiarin gue dengan asap busuk lo itu, ya?” tanya Freya.

“Ya sudah, lo di sana aja. Biar gue yang di sini,” jawab Arion dengan santai.

Dengan kesal Freya menyeruput coffee latte miliknya. Ia heran kenapa Arion bisa lahir dengan dingin seperti ini. Ia yakin jika Arion lahir di kutub utara atau sebagainya hingga es menyesap ke pembuluh darahnya itu. Tidak akan bisa Arion mengikuti keinginanya. Oleh karena itu, Freya tetap bertahan di sana. Ia senang jika Arion tidak membuanga asap ke hadapannya dan menghidupkan kipas angin agar asap terbang ke arah berlawanan.

“Jadi, bagaimana gambar lo dan latihan lo sama Karin?” tanya Freya.

“Cukup lancar. Sekitar dua minggu lagi, gambar kami selesai. Sedangkan dengan Karin, gue rasa enggak latihan pun gue bisa tampil. Dia cukup handal ngikutin alur gitar gue.”

“Iya, sih. Kemampuan bernyanyi Karin enggak bisa dipandang sebelah mata.”

“Freya ....” Arion diam sejenak. Ia hisap tembakaunya itu dalam-dalam. “Sebenarnya Karin itu mantan gue.”

Freya terbatuk ketika mencoba menyeruput coffee latte. Ia bersihkan bibirnya itu segera dengan selembar tissue, lalu memandang serius kepada Arion. “Apa? Gue enggak salah dengar? Lo punya mantan dan mantan lo adalah Karin sendiri?”

***

Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang