Penghalang?

91 12 1
                                    

Menjalin hubungan denganmu adalah harapanku.
Mencintaimu adalah caraku mewujudkan itu.
-Kaena Prameswari-

Kondisi Bunda telah membaik, bahkan esok harinya sudah mulai bekerja. Kana kagum dengan semangat Bunda, padahal wanita itu sudah berusia 50 tahun. Bagi Bunda, selama rasa sakit itu masih bisa ditahan, lebih baik digunakan bekerja daripada bermalas-malasan. Dari kecil Kana juga dididik seperti itu.

"Bun. Dewa jadi ngerepotin."

Suara berat itu terdengar di ruang makan yang didominasi warna kuning emas. Bunda memperhatikan lelaki yang duduk di sampingnya terlihat tersenyum malu-malu.

"Sama sekali nggak ngerepotin, Dewa. Justru Bunda berterima kasih, kamu udah nolongin Bunda waktu itu," jelas Bunda.

Kana memperhatikan Dewa dan Bunda bergantian. Bunda terlihat begitu baik terhadap Dewa, biasanya Bunda terkesan galak kepada setiap teman lelaki Kana. Dewa sendiri terlihat canggung, meski ditutupi dengan senyum lebar.

"Kondisi Bunda sekarang gimana? Dewa lihat udah semangat lagi," kata Dewa.

Bunda terkekeh pelan. "Iya dong, setiap hari itu harus semangat."

"Dewa kagum sama Bunda. Punya semangat kuat." Dewa mengepalkan tangan dan mengangkatnya ke atas. Dia tertawa lalu menoleh ke Kana yang tidak mengeluarkan suara. "Kan! Kok diem aja?"

Bunda ikutan menoleh ke arah Kana. Gadis itu terlihat setengah melamun sambil menatap ke arah Dewa. "Kan, mikirin apa, sih?" tanya Bunda dengan suara lebih keras.

Kana tersentak. Dia menatap dua orang di depannya bergantian, kemudian menggeleng pelan. "Enggak kok. Cuma inget tugas kampus."

Respons Dewa hanya manggut-manggut, percaya saja dengan Kana. Lelaki itu lalu melirik Bunda yang duduk di sampingnya. Menurutnya Kana dan Bunda sedikit berbeda. Bunda terlihat penuh semangat sedangkan Kana terlihat lebih kalem.

"Dewa. Ayo makan," ajak Bunda setelah beberapa detik tidak ada yang bersuara.

Dewa mengangguk. "Iya, Bunda."

Melihat Dewa yang terlihat malu-malu, Bunda langsung mengambilkan paha ayam dan beberapa potong udang. "Kurang? Mau apa? Suka sayur?"

Tindakan itu membuat Kana tersenyum tipis. Jarang melihat Bunda perhatian seperti ini. Terlebih Dewa terlihat kaget melihat piringnya yang penuh dengan nasi dan lauk pauk.

"Habiskan, Wa," kata Kana.

Dewa menelan ludah. Mana sanggup dia menghabiskan makanan sebanyak itu? Namun, jika tidak dihabiskan Dewa sungkan. Bunda sudah repot-repot mengajaknya makan malam bersama. Terlebih sepertinya makan malam itu sudah direncanakan, terbukti dari banyaknya makanan yang tersaji.

"Kamu juga makan, Kan."

Suara Bunda membuat Kana mengangkat wajah. Gadis itu mengangguk pelan kemudian menyantap makanannya.

Kini, giliran Bunda yang memperhatikan. Anak semata wayangnya itu terlihat sering mencuri pandang ke Dewa. Bunda merasa Kana menyukai Dewa.

"Bunda habis ada pelatihan di Batu?" tanya Dewa membuka percakapan.

Bunda menoleh ke Dewa. "Iya. Kok kamu tahu?" tanyanya lalu menatap Kana yang terlihat mengusap telinga dan malu-malu. "Kana ya yang cerita?"

Kana memejamkan mata sesaat. Dia takut Bunda marah, karena setiap di rumah sendirian Kana tidak diperbolehkan menerima tamu, takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

"Iya, Bun. Waktu itu Dewa ngelihat rumah Bunda sepi. Pas Dewa intip ada Kana di luar. Dia cerita Bunda lagi pelatihan," jelas Dewa.

"Iya, Bunda habis pelatihan di Batu. Di sana dingin banget, ya. Bunda sampai nggak pakai AC, nggak kuat dinginnya," cerita Bunda.

All About HeartWhere stories live. Discover now