-AA 16

20 8 7
                                    

Setelah selesai menyelesaikan pesenan kue nya, Acha melirik jam tangannya menunjukan pukul 19.00. Segera ia mengambil air wudhu kemudian sholat isya.

Acha mengingat betul  Arkan mengajak dirinya untuk keluar malam ini. Sudah siap dengan celana jeans dan baju  berlengan panjang yang agak tebal untuk menutupi rasa dinginnya karena angin malam. Acha lebih memilih pakaian yang biasa saja namun nyaman di pakai.

Memolesi wajahnya dengan make up tipis tidak lupa lipstik berwarna pink. Tanpa make up saja sudah cantik apalagi ditambah make up tipis membuat Acha berkali-kali tersenyum pada cermin.

Diliriknya kembali jam yang ada di tangannya. Dengan sabar Acha menunggu Arkan.

087xxx
Gue udh ada di depan rumah lo, Cha.

Acha membuka chat yang dikirim nomor tak di kenal lalu membukannya. Setelah membaca chatnya Ia tau itu darui Arkan. Acha beranjak untuk menemui orang yang sedari tadi ia tunggu. Arkan memandangi Acha tapi tak lama ia tersadar.

"Sudah siap."  Acha mengangguk tanda ia sudah siap. Arkan memegang tangan Acha dan masuk ke mobilnya.

"Mau kemana Kak?"  tanya Acha keadaan seperti ini membuatnya merasa tak biasa.Padahal waktu ia menyatakan rasa sukanya pada Arkan, Arkan tak membalasnya hanya saja Acha di perbolehkan dekat dengannya. Lalu mengapa kini Arkan yang seolah ingin dekat dengannya? Kalau saja Arkan tidak mempunyai kadar ketampanan yang membuat hati Acha berlabuh bisa di pastikan ia akan melemparnya jauh menuju pluto.

"Lo maunya kemana?" tanyanya balik. Acha mencoba sabar.  Jika Arkan saja tidak tau mau kemana  lalu mengapa ia mengajaknya keluar. Acha nampak berfikir malam-malam gini ada tempat yang bagus. Namun fikiranya belum menemukan tempat yang ingjn dituju.

Mata nya melihat ke arah keluar jendela melihat lalu lalang jalanan kota bandung. Matanya berbinar ketika teringat bahwa malam ini ada pasar malam yang tak jauh dari sini.

"Gimana kalau ke pasar malam." ucap Acha nampak bersemangat mengatakannya.

"Pa-sar malam." ulang Arkan karena jarang sekali dia ke tempat itu. Cafe saja yang biasa ia kunjungi.

"Iya di dekat sini ada pasar malam, kita kesana ya." mohon Acha dengan pipi eyes nya. Membuat Arkan menyetujuinya, dalam hati Acha ia bersorak senang. 

Tempat ini penuh dengan orang yang berjualan, orang-orang yang ingin ke pasar malam ada juga wahana-wahana diseratai lampu warna-wani.

Acha yang tidak tau malu melingkarkan tangannya pada tangan Arkan membuat cowok yang di gandengnya itu menoleh namun hanya di balas dengan senyuman hangat Acha. Mereka berjalan mengelilingi pasar malam untuk mencari jajanan ringan yang ada di tempat ini.

"Lo mau sosis bakar Cha." Acha mengangguk.

"4 sosis bakar yang pedas mas." bukan Arkan yang memesan itu namun Acha yang memesannya. Arkan mendelik melirik Acha.

"4 kebanyakan itu Cha, 2 aja. Sosis nya juga itu gede banget," ucap Arkan, bukannya karena Arkan pelit atau apa. Tapi sosis yang sedang di bakarnya itu sosis jumbo. Jelas jika dimakan orang itu udh kenyang hanya dengan 1 sosis bakar.

"Gpp 4 aja ya, buat kak Arkan 2 buat gue 2  mumpung gue di bayarin sama kak Arkan haha." jujur saja Acha saat ini perut aja menahan lapar. Arkan yang menuruti permintaan Acha pun mengangguk. Setelah selesai Arkan membayarnya dan mengajak Acha berkeliling kembali.

"Mau beli apa lagi Cha?" tanya Arkan, memang Arkan juga orang kedua yang peka setelah Abri tentunya.

Matanya melihat ke arah pedagan seblak super jontor dengan cabe merah yang bisa saja membuat perut orang yang memakannya sakit perut.

"Seblak," ucap Acha berjalan ke arah pedagang seblak disusul oleh Arkan.

"Jangan pedes ya takut perut lo sakit" Arkan melihat menu yang ada di kertas yang menempel pada gerobak seblak tersebut. Melihatnya dari gambar di kertas itu saja sudah membuatnya tau pedas nya bukan main. Lebih pedas omongan orang haha.

"Hem oke yang penting gratis" ucap Acha.

"Dasar  penyuka gratisan." seolah Arkan mengerti arah pembicaraan yang Acha ucapkan mengenai pengiritan dan mungkin sekarang Acha sedang irit dan karena Arkan mengajaknya jalan otomatis ia akan membeli makanan dengan duit Arkan haha gratis mana mungkin Acha nolak.

"Kalau ada yang gratis kenapa harus beli?" ucap Acha terkekeh pelan.

0817xxxxxxxx
Ambil kamera di gudang sekolah SMA cakrawala

Acha membaca notif dari orang tersebut. Sejenak berfikir, sekolah SMA Cakrawala adalah sekolah elit yang sudah meraih prestasi lebih unggul dari pada sekolah SMA Andromeda yang tak lain sekolah yang kini Acha tempati.

"Cha besok gue tanding basket di sekolah SMA Cakrawala." ujar Arkan namun tak di dengarkan oleh Acha yang kini masih melamun memikirkan notif dari orang tersebut.

"Cha." Arkan seraya menggoyangkan bahu Acha. Kemudian Acha tersadar dari lamunannya.

"Eh iya Kan tadi bicara apa?"  tanya Acha tak fokus, Arkan menghela lafas panjang.

"Nanti besok gue tanding besok di sekolah SMA Cakrawala, lo ikut kan?"

Apa gue harus ikut ya batin Acha

"Acha." Arkan kembali menggoyangkan bahu Acha.

"Eh iya gue ikut, gpp kan kalau Abri ikut." Acha memberikan senyuman termanis nya berharap Arkan menyetujuinya. Tujuannya membawa Abri untuk membantunya mengambil kamera bukan untuk menonton Arkan bermain basket.

Tangan Arkan menggenggam tangan Acha berjalan di tengah kerumunan orang. Saat tak sengaja ada orang yang menabrak Acha, genggaman Arkan lepas Acha merasakan sakit di kepalanya. Fikirannya melayang pada sosok anak kecil berumur 3 tahun.

"Mami Nindi takut , mami kemana."
Boca berumur 3 tahun itu terlepas daru genggaman mamih nya.

Kepala Acha semakin mengingat kejadian demi kejadian dimasalalu. Fikirannya terus memaksa agar memaksa mengingat itu, namun kepalanya menolak untuk mengingatnya. Acha kembali memegang kepalanya. Mengingat kembali perempuan berumur 3 tahun wajah nya mirip seperti dirinya.

"Acha lo gpp, maaf tadi banyak orang jadi genggaman tangan nya lepas," ucap Abri kembali menggenggam tangan Acha yang kini sedang gemetar.

"Mi nindi mau naik bianglala."

Ingatan itu kembali muncul membuat Acha merasakan sakit di kepalanya.

"Jangan lepaskan lagi tangannya gue mohon." Acha menstabilkan rasa sakit di kepalanya yang semakin membaik. Berjalan di samping Arkan. Mata nya lurus menatap bianglala yang sedang berputar.  Entah dorongan dari mana Acha melangkah mendekati bianglala tersebut.

"Lo mau naik bianglala?" tanya Arkan. Acha mengangguk tanda ia setuju. Mereka menaiki bianglala dan sudah berputar naik keatas.

"Are you okey."  Arkan melihat raut wajah Acha berbeda.

"I'm okey."  Acha memaksakan tersenyum terpaksa Arkan.

Arkan menepuk bahunya mengisyaratkan agar Acha bersender pada bahunya. Acha mengerti akan itu lalu Acha di senderkan kepalanyabpada bahu Arkan.

"Abli, Nindi udh enggak takut naik bianglala, Buktinya aku udah naik kebianglala," ucap bocah kecil yang bicara masih cadel itu.

"Iya Abli tau kalau Nindi udah enggak takut. Jangan takut lagi ya, kalena lasa takut itu bukan untuk di hindali tapi di hadapi supaya  bisa hilang lasa takutnya."  (Iya Abri tau kalau Nindi udah enggak takut. Jangan takut lagi ya, karena rasa takut itu bukan untuk di hindari tapi di harapi supaya bisa hilang rasa takutnya).

Acha meneteskan air mata ingatannya tentang masalalu kembali membawanya pada keterpurukan. Mengapa susah sekali mengingatnya.

Arkan sadar bajunya basah karena air mata Acha. Ia memeluk tubuh Acha seolah memberi semangat pada gadis itu. Memang Arkan tidak tau apa yang terjadi pada Acha, namun menyemangati orang tidak harus tau masalahnya terlebih dahulu.

Achazia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang