tujuh

11.3K 1.4K 321
                                    

Cinta tidak pernah meminta, ia senantiasa memberi, cinta membawa penderitaan, tetapi tidak pernah berdendam, tak pernah membalas dendam. Di mana ada cinta, disitu ada kehidupan. Berbeda dengan kebencian yang membawa kepada kemusnahan.

—Mahatma Gandhi.

Kebencian bagaikan menggenggam sebuah apel. Satu, dua hari apel yang digenggam akan layu. Dua sampai tiga hari apel mulai membusuk. Tiga sampai tujuh hari apel akan mengeluarkan bau yang tidak sedap. Seperti itulah kebencian.

Mark Lee mengalaminya. Kebencian yang terlalu pada siapapun yang menyandang status omega laki-laki. Tidak ada alasan, Mark hanya benci.

Nasib sial menghampirinya. Tuhan seolah menjatuhkan pada lubang yang ia gali sendiri. Menjerumuskan kedalam jurang kebenciannya sendiri. Ketika omega laki-laki menjadi matenya, pendamping seumur hidupnya.

Mark tidak ingin menyebut namanya. Rasanya menyesakkan. Melihatnya bersimbah darah kesakitan. Penolakannya membuat sosoknya terkampar dalam kesakitan. Namun, apa yang bisa ia perbuat?

Sebenarnya, bukan hanya Mark yang menolak. Tapi, sosoknya juga menolak takdirnya. Membuat keduanya tersiksa fisik dan mentalnya.

Keduanya seperti sekarat. Terbaring lemah di ranjang. Dengan dada sesak seperti ditikam. Tanpa alasan yang jelas, keduanya enggan menjadi takdir satu sama lain.

"Mark, kau akan mati secara perlahan jika keras pada pendirianmu." Ucapan dingin nan tegas itu memecah heningnya kamar.

Mark yang akan terpejam dalam tidurnya terbangun dan mengerjapkan matanya pelan. Suara husky yang ia kenali sebagai ayahnya. Ayah yang jarang sekali ia lihat wajahnya karena kesibukannya.

"Biarkan aku mati sendirian dalam kamar ini." Jawabnya tak kalah keras.

Sang ayah menghela nafasnya pelan. Duduk ditepi ranjang sang anak yang agaknya seperti sekarat. Darah yang kadangkala keluar membasahi hidungnya. Mark terlihat sangat buruk saat ini.

"Kau berdarah pure alpha, kau bisa selemah ini. Bisa kau pikirkan seperti apa dia sekarat disana?"

Keduanya terdiam, tidak ada suara yang memecah setelahnya. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Perkataan itu membuat Mark sedikit tersadar. Ia jarang sekali merasa kesakitan. Tapi, kali ini ia seperti sekarat. Bahkan, untuk menghirup oksigen saja seperti susah sekali. Rasanya sangat menyiksa, tapi Mark tidak ingin menerima takdirnya.

"Dia akan mati. Lebih tepatnya, kami akan mati."

Sang ayah, menarik kasar anaknya untuk didudukkan dikepala ranjang. Matanya menatap lurus objek di depannya. Tersenyum tipis yang tidak bisa diartikan.

"Kau ingat Mama? Dia seorang omega, dia lemah sekali."

Ucapan itu membuat Mark merasa masa lalunya diputar secara acak seperti kaset rusak. Mama yang disebut adalah sosok ibu. Sosok ibu yang telah meninggalkannya sejak kecil. Mark hanya sedikit ingatan tentang ibunya, yang terakhir ia ingat adalah ibunya dikubur di dalam tanah. Waktu itu Mark tidak menangis, karena sejak kecil doktrin dalam otaknya adalah alpha tidak boleh menangis di depan omega.

"Dia meninggal, dalam pelukan Papa. Meninggalkan Papa sendirian, selamanya."

Mark terdiam, menyimak bagaimana sang ayah bercerita. Dadanya kembali sesak karena cerita itu. Sosok Mama yang seolah terhapus dalam ingatannya. Sosok Mama yang membuat Papanya berubah seperti sekarang.

"Papa marah kepada Tuhan, kenapa omegaku dipanggil olehnya? Kenapa bukan orang lain?"

Ayahnya tersenyum kecil saat bercerita. Rasanya menyesakkan. Kehilangan tidak pernah baik-baik saja.

"Rasanya seperti mati. Sekarang, kau harus memutuskan. Kau ingin melihat mati atau kau ingin menerima?"

Mark terdiam. Matanya menatap langit-langit kamarnya yang bernuansa putih dan hitam. Mark pernah merasakan kehilangan, saat teman-temannya bercerita tentang ibu, Mark hanya mendengarkan. Rasanya memang menyesakkan.

Haechan menelan buburnya dengan susah payah. Tenggorokannya seperti tersumbat dengan sesuatu yang besar. Membuatnya kesulitan untuk makan dan minum.

"Mama, aku sudah selesai."

Selang infus menusuk lengannya. Masuk dalam celah-celah pembuluh darahnya. Memberinya sedikit kekuatan dan bertahan.

"Anak Mama kuat, ya? Jangan pernah tinggalkan Mama."

Haechan mengangguk pelan, kemudian merebahkan tubuhnya kembali. Ia tidak bisa merespon lebih baik lagi. Tubuhnya lemah, dadanya berdenyut nyeri setiap detik. Kepalanya seolah semakin memberat dari hari ke hari. Ingatan tentang tanda yang sama dimiliki oleh sosoknya alpha yang paling tidak diinginkan olehnya.

Mata bulatnya terpejam pelan. Pipinya mulai menirus dari hari ke hari. Ia tidak memedulikan siapa yang mengetuk pintunya. Bahkan pekikan ibunya tidak membuatnya membuka mata.

Haechan baru akan menyelami mimpi buruknya, bisikan pelan pada telinganya membuatnya dadanya kembali berdenyut nyeri. Bisikannya pelan namun sensual. Membuat sisi omega dalam dirinya meraung-raung ingin memeluknya.

"Omegaku."

Haechan berusaha membuka matanya. Bisikan pelan itu membuatnya dejavu akan hal yang ia alami saat mengetahui siapa matenya. Suaranya, aroma feromonnya. Segala tentangnya Haechan tau.

Mata bulatnya terbuka perlahan. Menatap paras alphanya yang jauh berbeda dari terakhir ia bertemu. Tampak menyedihkan dengan kantung mata hitam di matanya. Apalagi kursi roda dan infus yang menancap dilengannya.

Haechan cukup mengerti, bahwa Mark sama sepertinya. Mereka sama-sama tersakiti. Mereka sama-sama bunuh diri karena keegoisan mereka.

Dalam ruangan itu hening sekali. Keduanya terbaring lemah dalam ranjang yang sama. Terdiam, enggan salah satu dari mereka membuka kata.

Namun, sang omega mulai tidak nyaman dengan posisi mereka. Tangannya yang tergenggam erat oleh sosok alpha yang diyakininya menolak dirinya mentah-mentah. Tubuhnya jauh lebih baik daripada beberapa jam yang lalu. Ia menoleh kearah alpha yang terpejam erat, namun ia yakin kalau Mark belum tertidur sepenuhnya.

"Kenapa kau datang? Bukannya lebih baik kita mati bersama-sama?" Tanya Haechan polos. Tangannya mulai menelusuri wajah Mark yang terlihat semakin kurus dan tidak terawat.

Rasanya mereka seolah dekat. Tanpa sekat apapun. Seperti mengenalnya lebih dari apapun.

"Tidak. Aku ingin memulai dari awal."

Ucapan itu membuat Haechan menghangat. Pipinya memerah entah karena apa. Ucapan itu belum berarti apa-apa, tapi ia sudah menyimpulkan arah pembicaraan mereka kemana.

"Jangan memaksa untuk bersamaku. Aku ingin kau datang secara sukarela."

Mark membuat matanya, menatap mata bulat dengan manik coklat itu dalam. Memiringkan tubuhnya agar lebih dekat dengan sosok yang akan menjadi pengisi sisa hidupnya.

"Mari kita saling jatuh cinta, Haechan. Terima aku, baik buruknya. Aku akan melakukan sebaliknya."

Haechan berkaca-kaca mendengar ucapan itu. Ia tau, ia murahan, gampang luluh hanya dengan ucapan seperti itu. Namun, jiwa omeganya seperti itu. Rasanya sangat melegakan, kesakitannya seperti diangkat semua.

"Kalau aku tidak menerima bagaimana?"

Haechan menaik turunkan alisnya menggoda sang alpha.

"Aku akan memberimu banyak keturunan."

Tidak nyambung. Tapi, cukup membuat Haechan tersipu malu. Haechan semakin memerah saat Mark mencium telapak tangannya. Ia bahkan menulikan pendengarannya saat semua orang di luar ribut akan hubungan mereka.

Tbc

Helloww, apa kabar semua?

Hope u like and enjoy it.

Sorry banget kalo ini maksa banget.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 07, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sempiternal • MarkhyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang