Bagian 17

2.7K 349 12
                                    

"Ada apa, Sayang? Kok, tiba-tiba nelepon Bunda?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ada apa, Sayang? Kok, tiba-tiba nelepon Bunda?"

Semesta menggeleng pelan, walau tahu bahwa Sasi tidak akan dapat melihatnya. Ia bersandar di dinding, menatap langit-langit putih bersih yang terasa kosong. Semesta menggigit bibir bawahnya lembut.

"Nggak apa-apa. Cuma pengin dengar suara Bunda aja," jawab Semesta. Ia sendiri tidak bisa tahu apa jawabannya benar-benar tulus atau sekadar jawaban yang tidak akan membuat Sasi merasa khawatir. Nyatanya, tangannya yang tadi mendadak lemah membuatnya merasa takut.

"Nggak apa-apa, 'kan?"

"Bunda, sih, nggak apa-apa. Tapi, nanti kamu kena omel senior kamu," balas Sasi. "Tapi ... kamu ada masalah? Biasanya, kamu ngomel kalau Bunda telepon pas sibuk."

Semesta tidak bisa melihat bagaimana ekspresi Sasi, tapi ia bisa menangkap sedikit nada kekhawatiran terselip di setiap kalimat yang Sasi ucapkan. Sedikit, Semesta menyesal karena telah menghubungi bundanya itu. Meski begitu, ia merasa lebih tenang saat mendengar suara Sasi.

"Nggak apa-apa, Bun. Sebentar aja." Semesta mengulum senyum. "Aku tutup, ya."

"Oke. Kamu baik-baik, ya, di sana."

"Iya, Bun." Semesta menekan pilihan untuk mengakhiri panggilan. Ia menyimpan kembali ponselnya di dalam saku seragam putihnya. Kedua netranya yang tampak meredup menatap wanita yang terbaring di atas ranjang, masih berjuang dengan akhir kehidupannya yang menyakitkan.

"Tekanan darahnya rendah banget, tapi nadinya takikardi," gumam Semesta pelan. Ia meletakkan kertas yang dibawanya ke atas meja. Menerawang, terbayang apa suatu hari nanti ia juga akan mengalami hal yang sama atau tidak. Satu hal yang pasti, kematian akan menjemputnya nanti.

Pintu yang tiba-tiba terbuka lantas membuat Semesta menoleh. Beberapa orang yang ia ketahui sebagai keluarga pasiennya masuk. Tanpa peduli dengan keberadaan Semesta, mereka duduk di samping ranjang. Tampak sedih, beberapanya bahkan menangis.

"Kasihan, ya." Sinta yang entah sejak kapan sudah berdiri di sebelah Semesta, berucap. "Gue jadi kepikiran. Apa nanti pas gue mati nanti orang-orang bakal nangis di sebelah gue?"

"Agak nggak berguna." Semesta menghela napas panjang. "Kalau pas gue mati, terus orang-orang di sekitar gue nangis, gue bakal kesal sendiri karena gue nggak bakal bisa hapus air mata mereka."

"Karena itu gue nggak mau mati."

Semesta tersenyum tipis. Ia menoleh, menatap Sinta dalam-dalam. "Sayangnya, semua orang pasti bakal mati," ucap Semesta.

"Iya, sayangnya begitu." Sinta menyandarkan tubuh, ikut menatap pasien yang berada di atas ranjang. "Ngomong-ngomong, omongan lo kayak tokoh novel yang suka gue baca. Omongannya nyeremin."

"Makasih kalau gitu." Semesta maju selangkah, mendekati bed side monitor dan menekan tombolnya. Tanda-tanda vital tidak berubah terlalu jauh, masih dengan tekanan darah yang rendah dan nadi yang berada di angka 135. Namun, hanya sesaat karena kemudian nadi menurun hingga berada di angka tiga puluh. Suara pemberitahuan terdengar, membuat kedua mahasiswa yang berdiri di dekat bed sama-sama saling tatap.

KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang