Chapter 12

22.3K 3.9K 1.8K
                                    

Haloo... terima kasih banyak untuk 103ribu views dan apresiasinya untuk cerita ini 🙏🏻😍 Sehat dan bahagia selalu buat kalian. Maaf baru sempat update. Kemarin sempat mengalami kecelakaan kecil di jalan dan saraf kaki kelipet katanya, jadi tubuh agak meriang 🥺😥

Baru selesai banget ditulis, kalau ada typo atau kalimat rancu, mohon koreksinya ❤️☺️ 4 ribu kata lohh 🌝



Happy Reading



***
Dientakkan keras, pintu kamar itu kini tertutup rapat. Mendengkus di depan pintu, Rafel tidak mengerti lagi gadis seperti apa yang sedang dihadapinya saat ini. Aiyana selalu mengatakan takut padanya, tetapi di sisi lain dia seperti sedang menantangnya. Dia bilang dirinya menakutkan, padahal yang ia lakukan terhadap Aiyana adalah berusaha menyembuhkan. Rafel bahkan belum sempat melakukan apa pun, kecuali sedikit memberikan syok terapi agar gadis itu tidak pernah main-main dengannya. Tapi sekarang, seakan berkebalikan—ia merasa sedang dipermainkan.

Siapa yang ingin membuat menderita siapa sebenarnya...?!

"Seharusnya dia yang kubuat menderita. Mengapa malah aku yang jadi tersiksa?" gumamnya, embusan napas panjang dikeluarkan—sebelum berjalan ke arah lift yang berdenting terbuka memperlihatkan satu sosok berpostur seksi dan tinggi semampai.

Laura keluar dari lift dengan mata berbinar senang, berjalan cepat ke arahnya dan segera berjinjit untuk mendekap tubuh atletis Rafel teramat erat. Menghirup aroma maskulin lelakinya dalam-dalam, kepalanya terbenam di ceruk leher Rafel sambil mengecupi pelan.

"Oh my God, I miss you so much, sayang. Sudah berapa bulan kita tidak bertemu?"

Rafel masih tidak bersuara, tidak juga menolaknya sehingga Laura bisa dengan bebas mendekap seerat yang ia mau pada tubuh favorite-nya ini. Tubuh yang sudah membuat dirinya gila hingga melakukan segala cara agar dia kembali ke sisinya.

Jemari lentik Laura merangkum wajah Rafel, satu tangannya bergerak ke arah tengkuk dan mendorong maju agar ia bisa melumat bibir kemerahan itu dengan lihai dan panas. Sendirian, ia menutup mata dan menikmati setiap inci kekenyalannya dengan perasaan rindu yang menggebu-gebu. Tanpa peduli kalau Rafel tidak membalas lumatan, ia tetap bergerilya mencecapi dengan frustasi. Laura begitu menginginkan lelaki ini. Rasanya sampai menyesakkan.

Laura baru sudi melepaskan pagutan setelah cukup lama. Wajah mereka nyaris tak berjarak, sementara kakinya masih sedikit berjinjit untuk menyejajarkan padahal sudah menggunakan heels. "Aku ingin kamu. Aku tidak bisa kehilangan kamu!" tukasnya putus asa. "Aku masih sangat mencintai kamu. Kamu pasti tahu itu, sayang. Bisa kita perbaiki hubungan kita lagi? Sungguh, aku tidak akan pernah mengekangmu dalam hal apa pun. Kamu bebas melakukan apa yang kamu mau di luar, asal rumahmu tetap aku."

"Sudah?" Rafel bertanya pelan, lalu mengusap basah di bibir yang ditinggalkan tanpa perasaan. "Aku mengizinkanmu naik karena ada yang ingin kutegaskan padamu agar semuanya clear."

"Apa?" rautnya memurung, mendempetkan tubuh mereka lagi dan meremas milik Rafel yang keras di balik celana bahannya untuk mengalihkan pembicaraan menyakitkan itu. "Bagaimana jika kita selesaikan dulu urusan kita yang ini? Tidakkah kamu merindukanku juga?"

Wajah Rafel masih tertata datar, meraih tangan Laura yang menempel di kejantanannya dan menjauhkan. "Kamu mengganggu teman-temanku terlalu sering, Lau. Berhenti menghubungi mereka, dan jangan membahas apa pun lagi tentang kita. Kita sudah selesai. Aku pun sudah mendapatkan ganjaran dari keputusan sepihakku ini. Ayahku sempat menghajarku, kamu pasti tahu."

"Kamu tidak memberikan aku kesempatan untuk bertemu denganmu. Kamu menghilang begitu saja dan Satpam brengsekmu tidak pernah memberiku izin untuk masuk ke sini." Laura menyentuh bekas luka di pelipis Rafel, membelai lembut. "Sayang, aku tidak pernah tahu alasan mengapa kamu harus mengakhiri hubungan ini secara tiba-tiba setelah kita bersama hampir tujuh tahun. Aku tidak pernah menuntut apa pun padamu, bahkan ketika kamu terus menunda pernikahan kita, aku selalu berusaha mengerti. Kenapa aku tidak bisa menjadi wanita itu?"

Beautiful PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang