02. Ke Sekolah

313 36 6
                                    

02. Ke Sekolah

Viona memang selalu membatasi orang-orang di rumahnya untuk mengkonsumsi mi instan, terutama ketiga putri cantiknya. Karena itulah, Kia dan Sasa—sapaan akrab untuk Raisa— sering kali memakan mi instan secara diam-diam. Bahkan mereka berdua pun sering bersekongkol demi bisa menyantap seporsi mi, agar tidak ketahuan oleh orang-orang di rumah ini, khususnya sang ibu yang lumayan cerewet jika menyangkut makanan cepat saji yang akan mereka konsumsi.

Hanya saja, dari kedua adiknya yang masih remaja, Laura tahu siapa yang paling bersemangat jika akan dibuatkan mi instan. Karena itulah, di beberapa kesempatan, Laura cukup sering menawarkan mi instan kepada salah satu adiknya, agar adiknya itu mau menuruti ucapannya. Sama seperti sekarang. Akhirnya, Kia mau juga keluar dari dalam kamar.

Saat ini Laura dan Kia sudah duduk berdampingan di atas stool bar sambil menikmati mi instan.

Beberapa saat yang lalu, Laura sempat membuatkan satu bungkus mi kuah yang sengaja dibagi menjadi dua porsi, karena Kia tidak boleh terlalu banyak memakan mi. Sehingga Laura terpaksa harus ikut memakan mi instan itu di jam sepuluh malam seperti saat ini.

“Apa ada hal yang ingin kau ceritakan sekarang? Kau tahu kan kalau Kakak siap mendengarkan segala curhatanmu kapan saja?” tanya Laura secara baik-baik setelah Kia meminum segelas air putih, dan mengusap mulutnya menggunakan dua lembar tisu yang baru saja ditariknya dari dalam kotak tisu tadi.

Kia hanya menundukkan wajah sambil memainkan tisu bekas di telapak tangannya.

Namun, Laura tahu jika anak itu tengah mempersiapkan diri untuk bercerita.

“Aku malu sama Kak Evan, gara-gara perbuatannya Papa.” Kia langsung menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan.

“Malu kenapa?” tanya Laura setelah berdeham pelan, sedangkan Kia sudah menurunkan kedua telapak tangannya ke atas meja. “Memangnya Papa sempat memarahi Evan saat dia menghampiri kalian di food court tadi?”

“Tidak, Papa tidak memarahinya.” Kia menjawab sambil menggelengkan kepalanya dengan gerakan yang cukup kencang.

“Lalu?” tanya Laura dengan kening berkerut. Karena menurutnya, tidak ada yang salah dari perbuatan ayah mereka yang mengajak Kia pulang sebelum anak itu pulang terlalu malam. Lagi pula, dengan begitu, Evan tidak perlu kerepotan untuk mengantarkan Kia ke rumah. Karena rumah mereka berbeda arah.

Kia belum juga membalas ucapannya Laura barusan, karena ia tampak terdiam dengan bibir yang terkatup rapat.

Sampai tak lama kemudian, Kia pun berdecak kesal sambil bergegas turun dari atas stool bar. “Sudahlah! Kakak tidak akan mengerti, karena Kakak tidak pernah berada di posisiku tadi.”

Laura lantas memijat keningnya yang mulai berdenyut, dan membiarkan Kia berlalu tanpa repot-repot untuk menyusul.

Beberapa menit berselang, suara seseorang pun mulai terdengar.

“Ra ....”

“Mama?” Laura tampak menatap horor dua buah mangkuk di atas meja bar. Isi mangkuk milik Kia memang sudah habis tak tersisa, sementara miliknya ... hanya sempat dimakan sebanyak dua sendok saja. Sehingga isinya masih tersisa di sana, dan ibunya itu sudah memergoki isi di dalam mangkuknya.

“Biar nanti Mama saja yang berbicara dengan Kia. Mungkin besok, atau lusa, karena Mama tahu kalau saat ini dia masih diluputi oleh amarah.”

Laura hanya menganggukkan kepalanya.

“Sekarang ...,” Sebelah tangannya Viona terangkat untuk mengelus lembut pucuk kepalanya Laura. “ ... Kau masuklah ke dalam kamar. Ini sudah malam. Biar nanti Mama saja yang membereskan ini semua.”

Laura (Teaser)Where stories live. Discover now