Kedatangan Tidak Terduga

1.7K 228 8
                                    

Jeongguk jatuh sakit tepat setelah acara makan malam.

"Tahu begini, mending kita nggak usah pergi," suaminya tidak berhenti mengomel.

Jeongguk hanya tertawa pelan sambil menasehatinya. "Jangan gitu, Kak. Bunda sama Ayah cuma kangen aja."

"Tapi, lihat. Kamu jadi sakit, kan?"

"Eh," berdecak pelan, Jeongguk menepuk-nepuk perutnya. "ini mah yang lemah perut Adek."

Taehyung terus menggerutu. "Tetep aja. Kalau kita nggak pergi, kamu nggak bakal sakit gini. Kakak nggak bakal skip kerja."

Oh.

Itulah alasan sebenarnya mengapa pria itu tidak berhenti mengomel.

Mengalihkan pandang pada dinding di seberang ruangan, Jeongguk berujar pelan. "Adek udah mendingan, kok. Nggak begitu pusing lagi. Kakak berangkat kerja aja, gih."

Mendengar itu, raut suram di wajah Taehyung berubah menjadi lebih segar. "Serius?"

Jeongguk mengangguk, mengabaikan perasaan berat di hatinya. "Iya. Nanti Adek mau meet up sama Jimin. Dia minta ditemenin check up kandungan."

Dengan cepat memeriksa jam dan memastikan bahwa dia masih sempat mandi dan mengganti pakaian, Taehyung langsung bangkit berdiri. "Oke, kalau gitu," setelah mengacak rambut Jeongguk dengan gemas, pria itu berlalu gesit menuju kamar mandi. "Nanti, hati-hati, ya!"

***

"Tumben banget menawarkan diri nemenin gue." Tuduh Jimin main-main saat mereka berjalan menyusuri lorong rumah sakit, hampir sampai di tujuan mereka—dokter kandungan Jimin.

"Gue sekalian mau suntik bulanan, kontrol kehamilan." Jeongguk mengedikkan bahu.

Mendengar itu, Jimin akhirnya paham. "Si batu es masih belum mau punya anak?"

"Ya, begitulah." Jeongguk menjawab asal-asalan. Topik itu terasa lebih berat dari hari ke hari.

Ketika mereka akhirnya sampai di depan ruangan, perasaan Jeongguk semakin memburuk. Dia menatap pintu dengan sedih, yang ditangkap Jimin tanpa bertanya.

"Lo mau ikut masuk ke dalam, nggak?" tawar pemuda itu kemudian.

Jeongguk mengerjap pelan. "Huh?"

"Ayo," menggandeng lengan Jeongguk agar sahabatnya itu tidak kabur, Jimin membawanya masuk ke dalam ruangan. Jeongguk mengikuti langkah kakinya seperti anak itik kehilangan induk.

"Halo," seorang wanita cantik berparas lembut langsung menyapa begitu ia mengenali wajah pasiennya. "ketemu lagi, Jimin."

"Iya, Dok. Sekarang saya bawa temen," mengisyaratkan Jeongguk untuk duduk di sebelahnya, Jimin tersenyum lebar, "kenalin, Dok. Namanya Jeongguk."

"Halo, Jeongguk. Saya Lee Jieun. Boleh panggil Dokter Lee." Wanita itu mengulurkan tangan pada Jeongguk yang disambut pemuda itu dengan kikuk.

"Halo, Dok. Salam kenal."

Mengangguk kecil menanggapi perkenalannya, dokter tersebut menuliskan sesuatu pada buku yang ia pegang, menyuruh Jimin untuk bertanda tangan, lalu akhirnya memulai proses inti kehadiran pasiennya hari ini. "Baiklah, kalau begitu. Shall we meet the baby?"

"Aw, that's the little one."

Jimin berbaring di brankar. Kemejanya tersingkap sampai di bawah dagu. Dokter mengoleskan gel pada perut Jimin sebelum mengarahkan sebuah alat sensor di sana.

Langsung saja, ada beberapa titik acak yang muncul di layar monitor. Bentuk-bentuk abstrak kecil yang membuat mata Jeongguk melebar akan rasa penasaran.

"Jimin udah masuk bulan ketiga, ya?"

Jimin mengangguk pelan.

"Nanti, di akhir bulan ketiga, bayi kamu sudah terbentuk sempurna, dengan lengan, tangan, jari tangan, kaki, dan jari kaki. Tangan kecil bisa membuka dan menutup. Kuku jari tangan dan kaki mulai berkembang, dan telinga luar terbentuk. Gigi juga mulai terbentuk," dokter itu menjelaskan dengan riang. "Bukankah itu menarik?"

"Itu menyeramkan," jawab Jimin yang pada saat bersamaan Jeongguk berkata, "gemes banget."

Kedua sahabat itu melempar tatapan aneh satu sama lain, satu alis terangkat penuh keheranan.

Tidak peka terhadap hal tersebut, dr. Jieun lanjut menjelaskan. "Nah, kesimpulannya, mual bisa berkurang karena tubuh kamu mulai menyesuaikan diri dengan kadar hormon. Bagian tengah perut kamu mungkin melebar, saat rahim tumbuh seukuran jeruk. Saat kamu merasa lebih baik, coba buat rencana olahraga untuk meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas yang akan membantumu selama perjalanan kehamilan ini."

"Harus berolahraga," Jimin mengomel, tidak terlalu senang. Menatap perutnya, dia menuduh dengan nada bercanda, "lihat. Hal-hal yang aku lakukan untukmu, little troublemaker."

Jeongguk menggigit bibir bawahnya menahan gemas. Dokter kandungan tersebut tertawa pelan.

Sesudah membersihkan sisa cairan di perut Jimin dan meletakkan peralatannya kembali pada tempatnya, Lee Jieun membimbing mereka kembali menuju meja kerjanya, lalu menuliskan sesuatu lagi di buku catatannya.

"Yeah, well, hanya itu yang perlu saya sampaikan. Apakah kamu punya pertanyaan? "

Jimin mengangguk dengan semangat, sepertinya sudah menunggu kesempatan ini sedari tadi. "Jadi, bagaimana dengan seks? Apakah aku masih bisa disetubuhi oleh pacarku saat hamil? "

Jeongguk berjengit, kaget. "Jimin!"

***

Jeongguk tidak tahu mengapa Jimin memberi salinan sonogramnya. Tapi, sesuatu tentang itu membuatnya tersenyum.

Dia masuk ke dalam ruangan dokter kandungan langganannya dengan hati ringan, suasana hati sedikit lebih ceria dari biasanya. Sesuatu yang bahkan membuat dokternya mengangkat alisnya, penasaran melihat reaksinya yang aneh.

"Dalam mood yang baik, Jeongguk?" wanita itu menyambutnya.

"Maybe." Jeongguk mengedikkan bahu dengan tak acuh. Sonogram yang diberikan Jimin, ia masukkan ke dalam saku jaketnya. "Aku ke sini untuk suntikan biasa."

"Tentu," wanita itu mengangguk patuh, "ayo lakukan seperti biasanya!"

Prosedurnya tidak menyenangkan— itulah salah satu alasan Jeongguk tidak terlalu suka jadwal suntik rutinnya. Dokter mengambil sampel darah Jeongguk, lalu memintanya untuk buang air kecil di wadah mini. Dia menyuruh Jeongguk duduk di sudut menunggu hasil labnya. Kemudian, setelah satu jam, hasilnya baru tiba. Monoton.

"Maafkan saya, Jeongguk. Tapi, saya rasa, saya tidak bisa memberi kamu suntikan seperti biasanya."

Tapi itu. Itu pertama kalinya Jeongguk mendengar kalimat tersebut keluar dari mulut dokternya.

Butuh beberapa menit bagi Jeongguk untuk memproses kata-kata tersebut. Saat dia akhirnya percaya bahwa wanita itu tidak bercanda, wajahnya berubah takut. "Maksud Dokter apa?"

"Yang saya maksud ... jika saya memberi kamu suntikan seperti biasa, kita bisa menyakiti bayi kamu."

Jantungnya terjeda selama dua detik.

"Ba ... yi?"

Sambil tersenyum lembut, dokter itu membawa Jeongguk ke ruang pemeriksaan, lalu memberi isyarat agar Jeongguk berbaring di atas brankar. "Kemarilah. Mari kita lihat bersama. "

Segala sesuatu terasa seperti film slow motion ketika Jeongguk akhirnya bergerak dan dengan canggung melakukan apa yang dilakukan sahabatnya di ruang pemeriksaan beberapa saat yang lalu. Berbaring di atas brankar dengan baju tersingkap ke atas. Gel dingin membungkus permukaan kulit perutnya seperti peringatan.

"Nah. Itu, bayimu." menunjukkan satu titik yang bergerak abstrak pada layar monitor menggunakan laser di tangannya, dokter tersebut melebarkan senyum. "Selamat, Jeongguk. Kamu hamil."

Out of The Blue by LittleukiyoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang