Bagian 24

2.7K 327 27
                                    

Kantin utama rumah sakit bukan tempat yang selalu ramai, bahkan cenderung sepi

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

Kantin utama rumah sakit bukan tempat yang selalu ramai, bahkan cenderung sepi. Bukan tanpa alasan, tapi karena harga makanan yang sedikit lebih mahal daripada kantin di dekat kamar mayat. Oleh karena itu, orang-orang lebih memilih pergi ke sana. Walaupun bisa dibilang, fasilitas di kantin utama lebih lengkap dan suasananya juga lebih sejuk.

Kafka adalah salah satu yang hobi mengunjungi kantin di dekat kamar mayat. Tetapi, hari ini, ia ingin duduk sendiri. Di bawah air conditioner yang dinyalakan dengan suhu 16 derajat dan semangkuk es krim. Merasa dingin, tapi Kafka tidak peduli sama sekali.

Jam dinding sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Ia seharusnya pulang sejak satu jam yang lalu. Namun, bukannya beranjak, Kafka masih saja terdiam. Menatap es krimnya yang mulai mencair walau dalam suhu yang cukup dingin.

Untuk kesekian kalinya di malam ini, ponsel Kafka kembali bergetar panjang. Ada beberapa panggilan masuk dan kebanyakan dari ayahnya. Menyebalkan. Ia hanya terlambat pulang, bukan mencoba untuk bunuh diri.

Yah, setidaknya tidak seperti beberapa tahun lalu.

"Ha? Lo beneran masih di sini?" Suara seorang gadis tiba-tiba terdengar, membuat Kafka yang awalnya menunduk langsung mendongak. Sosok Nafeesa terlihat berdiri di hadapannya. Masih mengenakan baju seragam putih di balik jaket merah mudanya. Rautnya tidak terbaca.

"Siapa?" Kafka bertanya. Suaranya datar, tanpa emosi sama sekali. Hal itu lantas membuat Nafeesa meringis pelan.

Seharusnya lo ingat suara gue, 'kan? Atau lo sengaja nggak mau ingat? Nafeesa menghela napas. "Nafeesa. Lo masih ingat gue, 'kan?"

"Oh." Kafka berdiri, sebagai bentuk formalitas, dan mempersilakan Nafeesa untuk duduk di hadapannya. "Lo mau es krim? Es krim di sini enak."

"Tapi, es krim lo belum lo makan," ucap Nafeesa. Tangannya mendorong mangkuk tersebut lebih mendekat ke arah Kafka. Tangannya hendak meraih jemari Kafka yang berada di atas meja. Namun, laki-laki itu langsung menghindar dengan menyimpan tangannya di bawah meja. 

"Kenapa lo nggak pulang?" Kafka bertanya. Tidak ada emosi terlukis di kedua manik indahnya. Walau keduanya tertuju pada kedua bola mata milik Nafeesa. "Udah malam, 'kan? Nanti orang tua lo khawatir."

Nafeesa mengulum bibir. Kedua tangan yang akhirnya diletakkan di atas paha mengepal. Bisa-bisanya ia menyuruh Nafeesa untuk pulang, padahal Kafka masih berdiam diri di sana, tidak mengacuhkan ayahnya yang khawatir karena batang hidungnya yang tidak juga nampak di rumah.

"Lo kenapa?" tanya Nafeesa pada akhirnya. 

Kafka melirik Nafeesa, lalu pandangannya beralih pada jendela. Dari sana, ia dapat melihat kondisi lorong rumah sakit yang remang-remang dan kosong. "Gue nggak apa-apa, kok," balasnya, tidak berniat menjawab dengan jawaban lainnya. "Gue masih sadar dan bernapas, berarti gue nggak apa-apa."

KelabuOù les histoires vivent. Découvrez maintenant