Bab-3 Itu bagus

1.6K 210 79
                                    

'Sudah petang,' melihat matahari yang sudah berada di ufuk barat dari lantai teratas gedung perusahaan membuat Halilintar teringat pada dua adiknya. Dia melirik kaki kirinya yang sekarang berada di atas kaki kanan. Tadi Gempa mau menyentuh untuk menahannya pergi. Walau tidak jadi dilakukan tapi hal itu membuat Halilintar senyum-senyum sendiri di petang hari ini.

"Ehem, maaf mengganggu waktu luang Anda, Tuan Halilintar. Tapi saya ingin memberitahukan jadwal Anda besok," suara dari Solar melunturkan senyuman Halilintar begitu saja. Dia melirik pada si sekretaris dengan sedikit kesal.

"Katakan secukupnya, sisanya kirimkan email padaku," ujar Halilintar singkat. Solar mengangguk.

"Jam sembilan pagi besok akan ada rapat dengan perwakilan komunitas asuhan dari Vietnam, materinya akan saya berikan beserta jadwal lengkapnya. Lalu untuk siang hari akan ada pengecekan wilayah baru untuk cabang di Kota B," kata Solar sembari mematikan tablet miliknya. Melihat Halilintar yang berdiri dari kursinya dan mengambil mantelnya.

"Anda akan pulang sekarang? Tumben..." 

Halilintar meliriknya dingin, seolah memberi isyarat akan sesuatu yang Solar lupa. Solar tersadar seketika, dia menutup mulutnya berasa pikun.

"Ah, benar juga. Anda harus menjemput adik Anda. Maafkan saya."

"Ya, aku tahu kalau ingatanmu memang sebesar kacang tanah," ejek Halilintar. Mulut Solar terbuka dengan tidak percaya pada sahabat sekaligus atasannya itu.

"Pulang sana!" usir Solar.

Halilintar terkekeh jahat. Tanpa basa-basi dia pergi dari ruangannya meninggalkan Solar yang sudah bersiap melempar vas bunga buatan kalau dirinya masih bertahan di ruangan lebih lama.

Dia turun langsung ke lantai paling bawah, di mana mobilnya terparkir di sana. Setelah masuk ke dalamnya Halilintar langsung meluncur keluar gedung kantor dan pergi ke tempat dua adiknya berada sekarang.

.

.

.

"Taufan, Gempa," panggil Halilintar pada dua anak yang sedang makan puding di bangku bersama suster yang pagi tadi. Keduanya menoleh cepat begitu mendengar suara Halilintar memanggil nama mereka. Entah efek lampu atau apa, Halilintar merasa melihat binar cerah dari kedua mata Taufan maupun Gempa.

Halilintar mendekat, melihat dengan jelas apa yang mereka lakukan dan makan.

"Itu apa?" tanyanya.

"Puding..." jawab Taufan malu-malu. Halilintar tersenyum tipis.

"Dokter Yaya kemana?" tanya Halilintar lagi.

"Tuan Halilintar, boleh bicara sebentar?" sela Suzy sebelum Halilintar mendapat jawaban dari pertanyaannya.

"Hm?"

Suzy tersenyum, mengisyaratkan kalau pembicarannya hanya bisa diikuti oleh dirinya dan Halilintar saja. Dengan begitu mereka bicara agak jauh dari Taufan Gempa.

"Dokter Yaya sedang keluar sejak pukul lima tadi. Kemungkinan Dokter Yaya tidak akan kembali malam ini. Jadi beliau menitipkan pesan saja kalau hari ini belum ada treatment khusus," katanya. Halilintar mengangguk.

"Kalau begitu sekarang akan kubawa pulang mereka berdua," Halilintar tersenyum tipis. Suzy hanya mengangguk dengan senyum berbunga-bunga karena punya kesempatan melihat sisi lain dari Halilintar.

.

.

.

Halilintar menatap intens pada pajangan di hadapannya. Penjaga toko tersebut hanya bisa tersenyum awkward karena kelakuan Halilintar yang diluar ekspektasi pertamanya. Di lihat dari luarannya juga semua orang pasti akan berpikir kalau pria yang tengah sibuk dengan dunianya sendiri ini adalah tipe pendiam super dingin. Tapi lihat sekarang apa yang dia lakukan?

everything will be okayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang