16. Langkah-Langkah Lebar

130 18 6
                                    

Zahro berusaha menghubungi Lina. Dia pikir dengan mengungkapkan isi hatinya akan lebih muda kepada seseorang yang tidak pernah terlibat langsung. Namun, Zahro ingat jika Lina pergi ke Jombang. Zahro juga tahu kenapa Lina pergi ke Jombang. Jadi, Zahro meletakkan ponselnya dan tidak mencoba menghubungi Lina pada percobaan ketiganya.

Di masa lalu, jika dia menghadapi masalah-masalah yang membuat isi pikirannya meledak, ibunya merupakan pelariannya. Kali ini rasnya berbeda. Zahro tahu jika Wati sampai mendengar kedatangan Prasto yang pastinya akan sama seperti menyulut api ke tangki bensin. Maka seolah tak ada pilihan lain, Zahro memutuskan untuk mengalihkan pikirannya dengan berbicara dengan Sasti dan Athira, biarpun mereka tampak tidak mendegarkan, tetapi sedang asik bermain boneka. Boneka yang dikirim oleh Prasto  pekan lalu.

"Kalian bisa menemui ayah kalian sebelum kalian menikah etika besar nanti. Saat ini biarkan ibu membesarkan kalian. Ibu tidak bisa tinggal bersama ayah kalian," kata Zahro dengan tatapan kosongnya mengingat bagaimana dia mengusir Prasto yang baru menginjakkan kaki di teras depan. "Ibu janji kalau ibu siap ayah kalian kan tinggal di rumah ini."

Sasti menoleh ke belakang. "Ibu bilang apa tadi?"

Zahro menggeleng. "Bukan apa-apa."

"Tadi ibu bilang ayah. Ayah kenapa, Bu?"

"Ayah mau cari uang dulu. Kalau uang Ayah sudah banyak kita semua bisa pergi jalan-jalan ke tempat yang Sasti dan Adik mau."

"Janji?" kata Sasti dengan menacungkan jari kelingking.

"Ibu janji!" Zahro menyambut jari kelingking Sasti

"Adik sini!" panggil Sasti untuk Athira. Gadis kecil berusia dua tahun itu berjalan mendekat. Sasti memegang tangan Athira, dia berusaha mengacungkan jari kelingking sedangkan tangan Athira meronta-ronta. "Ibu berjanji akan pergi keliling-keliling sesuka kita."

Athira hanya melongo dan merengek karena Sasti memaksa untuk meraih tangan Athira. Akhirnya Zahro mengusap kedua puncak kepala anaknya. Zahro tersenyum, pikirannya kini sedikit tenang.

Saat dia kembali duduk di kursi ruang tengah dan Sasti serta Athira kembali bermain, ponselnya bergetar panjang di atas laci di dekatnya. Telepon atas nama Lina terlihat di layar, saat Zahro hendak mengambilnya.

"Hallo, Mbak Lina?" panggil Zahro. "Mbak, maaf kalau ganggu tadi."

"Ada apa Zar? aku tadi lagi di dapur." Lina kemudian menyadari sesuatu. "Suara kamu sedikit beda, kamu habis menangis?"

"Mbak Lina kapan balik ke Nganjuk?" Zahro menggigit bibir bawahnya berharap Lina akan kembali dalam waktu dekat.

"Aku sudah di Nganjuk," jawab Lina. "Baru tadi pagi aku sampai. Kenapa?"

Zahro terdiam. Pikirannya menjadi kusut kembali. Dia ingin bercerita namun rasanya tidak senyaman ketika bertemu langsung.

"Aku akan ke rumah kamu, aku juga ingin cerita sama kamu." Lina seakan menyadari situasi yang dirasakan Zahro, ketika itu Zahro langsung mehembuskan napas kelegaan. "Iya, Mbak."

Tidak berselang lama, Lina datang ke rumah Zahro. Mereka berdua memilih duduk-duduk santai di ruang tamu karena sedikit menghindari Sasti yang kemungkinan akan mendengar banyak tentang ayahnya.

"Katanya Mbak Lina akan tinggal di sana sementara waktu, Perasaan baru kemarin lusa Mbak berangkat," kata Zahro saat dia menyajikan es sirup ke meja.

"Aku dan Joko tidak akan bercerai," kata Lina memulai ceritanya. "Aku dan Mas Joko hanya menginap sehari setelah itu pulang. Ibu banyak menceramahi kami selama sehari kita menginap di sana dan ujungnya ibu mengusir kami agar cepat-cepat kembali ke Nganjuk dan melanjutan kehidupan di sini."

Bersamamu Selamanya?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang