Extra Part - Menjelang Keberangkatan

25K 2.6K 48
                                    

Jelita
-
-
-

"Mas beneran ini Mika gak dibawa ikut?" Itulah pertanyaan yang sejak beberapa hari lalu gue tanyakan pada Mas Suamik walau pun jawabnya tetap sama.

Lagian tega-teganya sih Mas Aska gak bawa Mika. Memang disana dia buat kerja. Tapi kan tiga hari doang, ada 3 hari lainnya buat dia liburan. Apalagi gue kesana bukan buat kerja. Yang pake duit kantor cuma Mas Aska karena dia di tim buat pameran itu. Gue mah enggak, pake uang sendiri, enggak sih uang suami, maksudnya gue sengaja cuti, karena bukan buat kerja. Gak masuk tim juga, soalnya orang-orang penting Samakta aja yang masuk tim.

Sehingga kemungkinan nanti disana gue luntang-lantung selama Mas Aska kerja. Makanya harusnya Mika dibawa biar gak bosen.

"Enggak, sayang." Mas Aska tetap pada keputusannya. "-Takutnya Mika rewel. Nanti aja kalau yang jaraknya deketan dan Mas gak sambil kerja."

Dia sedang berada di depan cermin, mengenakan kaos dan chinos pendek -setelan andalannya ketika di rumah. Lalu dia menyisir rambut setengah basahnya ke belakang dengan jemari. Kebiasaan yang baru gue engeh setelah menikah, ya kali sebelum menikah gue nontonin dia. Heran deh, gitu doang aja sambil ngaca. Menikmati kegantengan dirinya sendiri apa gimana.

Sementara suami gue udah cakep dan wangi. Gue di lantai kamar lagi cek barang-barang yang udah sempet gue cicil packing. Masih dengan piyama kusut, rambut yang gak kalah kusut, muka apalagi.

Gue menghela nafas dan berdiri membiarkan koper masih dalam keadaan terbuka. Harapan gue masih ada kemungkinan buat masukin barang-barang Mika.

Oknum penyebab kekusutan pada diri gue itu kini melingkarkan tangannya disepanjang perut gue. "Udah, nanti kita agendain liburan lagi bareng Mika ya?" Dia lalu mengecup pelipis gue, lalu berbisik. "Lagian Mas gak mau kamu disana dimonopoli sama Mika."

Gue sontak mengernyitkan dahi. Dia buru-buru melepaskan gue dan kabur ke arah pintu.

"You are mine, oke." Katanya dengan cengiran iseng.

Gue ternganga. Jadi itu kan alasan sebenarnya? Mika rewel, takut gini-gitu, sebenarnya alasan doang. Bisa-bisanya.

"Hehe." Dia terkekeh di ambang pintu.

"Hehe?" Kata gue geram. Gak tahu gue bapak-bapak satu ini bisa childish juga.

"Mandi, Yang. Mas bangunin Mika dulu. Kita sarapan di luar ya, sekalian anter Mika ke rumah Ibu."

Anak gue diungsikan dong. Astaga.

-

"Kalian menunda kehamilan gak?" Tanya Ibu ketika kami berada di teras siang itu sambil menikmati teh melati.

"Emm, enggak, Bu." Jawab gue ragu-ragu.

Bukan apa-apa, gue gak tahu Ibu akan bereaksi gimana. Soalnya kan Mika masih kecil ya, misalnya Mas Aska cepet-cepet punya anak lagi dari gue, gue gak tahu Ibu bakal seneng atau enggak.

Ibu mengangguk. "Bagus itu."

Hah, lega gue.

"Jangan ditunda ya, apalagi kamu masih dara. Takutnya malah kering, pundung nanti."

"Kamu jangan sibuk-sibuk Bang, habis ini. Ada Arka yang bantuin ini kan sekarang. Jangan sampai lupa diri."

"Iya, Bu. Abang sudah jarang ke kantor pusat lagi pula. Sesekali aja. Sekarang lagi fokus di Samakta."

Hari itu kami habiskan di rumah mertua gue. Bersantai, makan siang dan rebahan di kamar Mika.

Menjelang sore gue dan Mas Aska hendak pamitan. Lagian Mas Aska ada Zoom meeting juga buat persiapan terakhir sebelum keberangkatan.

Masalahnya Mika malah pengen ikut pulang. Dan membujuknya gak semudah itu. Apalagi setelah dijelaskan kalau kita bakal pergi selama seminggu.

"Satu Minggu itu berapa?" Rengeknya setelah kami menyampaikan kalau kami akan pergi.

"Kamu hitung sampai 7 ya harinya. Nanti Mama sama Papa pulang deh."

"Satu.. dua.." katanya dengan muka ditekuk karena sedih, dan jari kecilnya yang juga menekuk sesuai hitungan. Membuat gue gemas dan kasihan dalam waktu bersamaan.

Belum sampai selesai pada hitungannya dia langsung merengek dan memeluk gue lagi.

"Aahh banyak, Mika ikuut." Dia mulai menangis lagi.

Gue makin gak tega. Makanya harusnya dibawa aja sih

"Hey, hey." Karena bujukan gue tidak berhasil giliran Papanya. Dia mendudukkan mengambil alih Mika dan mendudukkan dipangkuannya. Mas Aska menangkup kedua pipi bulatnya. Tangannya mengusap jejak air mata Muka dengan lembut.

"Dengerin Papa ya, Sayang." Bujuk Mas Aska penuh kelembutan. "Katanya Mika mau Dede bayi?"

Astaga. Gue cubit juga nih. Bukan hanya ada gue, dia dan Mika ya. Ibu dan Ma Popon juga lagi ada di tengah-tengah kami.

Mika mengangguk ragu-ragu. Selama ini memang kami sudah mengungkit soal adik bayi dengan Mika, sebelum memutuskan untuk tidak menunda kehamilan. Dan dia selalu antusias ketika kami mengobrol soal bayi. Apalagi salah satu temannya di play grup juga katanya suka pamer punya Dede bayi di rumahnya.

"Mama sama Papa mau jemput adik bayi." Mas Aska melanjutkan. Tanpa menghiraukan gue yang salah tingkah.

"Mika mau jemput juga."

"Kalau kamu ikut, nanti adik bayinya gak mau ikut pulang."

"Kenapa?"

"Soalnya malu katanya. Nanti ketemu kakaknya di rumah aja."

Mika tampak berpikir.

"Kamu harus sabar kalau mau ketemu Dede bayi. Main sama Ma Popon sama Nenek dulu sama Moka. Nanti Mama Papa juga bawain Mika coklat yang banyak, mau?"

"Cholatos?" Masih aja.

"Iya."

"Hmm. Oke." Dia tampak berat hati meski akhirnya mau juga digendong Ma Popon.

Hati gue juga masih berat, pun ketika akhirnya gue dan Mas Aska bisa meninggalkan rumah mertua gue.

Gue menghela nafas.

"It's oke."

"Mas sih." Kata gue sebel.

"Kamu bakal repot pasti kalau Mika ikut. Terlalu jauh juga takutnya malah sampai Milan, Mika malah kecapean."

Ya sudah lah.

Dalam perjalanan handphone Mas Aska terus menunjukkan notifikasi. Mungkin karena Mas Aska telat untuk zoom meeting tadi.

"Sayang, tolong dibalesin dulu bisa gak? Pada nyariin kayanya karena Mas telat. Bilang lagi dijalan 10 menit lagi Mas join."

Gue menurut dan masuk ke ruang chat grup teratas yang isinya sudah puluhan chat belum terbaca. Setelah mengetik gue melihat nama grup dan dibawahnya hanya terdapat 7 anggota grup aja. Gue iseng melihat siapa saja yang tergabung dalam tim untuk pameran di Milan itu. Gue sih tahunya petinggi doang. Tapi gak tahu siapa-siapanya.

Pas gue lihat.

"Mas, Mbak Prita ikut?"

Dia mengangguk mantap.

"Iya."

Ah. Mood gue langsung drop.


Gaes mengingat kamaren isu pedofilia lagi naik gegara sinetron itu ye. Aku mau sampaikan walaupun agegap, tapi Lita-Aska bukan Om2 sama Baby2 ya. Jangan salah membayangkan. Sudah disebut sih usianya 23 sama 32. Sangat legal. Ngeri aja takut ada yg salah ngehaluinnya yaa, karena aku sering sebut Aska dengan Bapak-bapak. Karena dia udah jadi bapak kan, bukan udah babeh2 kumis baplang dan buncit yeee bukan. Haha.

Thanks karena dukung Samakta yeeee 100k views huhu cuman banyak yg kagak meninggalkan jejak nih ah. Vote ye vote yang belom, yg scroll2 aee vooteee wkwkwkwk

SAMAKTA - EndWhere stories live. Discover now