The Son

1.6K 223 59
                                    

Tidak. Ini bukan obsesi. Bukan sesuatu yang aneh sama sekali. Terutama tidak bagi Nakamoto Yuta.

Menjalin hubungan baik dengan orang-orang sudah jadi hal mutlak baginya ke mana pun ia melangkah. Lebih-lebih dengan para tetangga. Sebagai seorang perantau, Yuta tahu betul bahwa hal-hal semacam itu harus sangat diperhatikan.

Tujuannya bukanlah mesti menjadi akrab. Saling mengenalitu saja sudah cukup. Saling mengenal dan bisa bertukar salam dengan santai tiap berpapasan. Berhubungan cukup baik agar dapat saling membantu kalau ada apa-apa.

Jadi apakah wajar kalau Yuta berusaha keras untuk menjalin sesuatu dengan keluarga Jung? Ya, tentu saja wajar.

Apakah wajar kalau dia masih berusaha, meski respons yang didapat justru tak sesuai harapan? Ya, tapi Yuta juga tetap menjaga batas-batas.

Dan apakah wajar jika sekalipun pandangannya begitu, dalam hati Yuta masih timbul secercah rasa kecewa?

Jawabannya... kau juga pasti bisa menebak.

Duh―bagaimanapun juga mereka ini kan bertetangga! Sudah dua bulan, malah. Tapi bahkan Yuta lebih dekat dengan ibu-ibu yang tinggal di lantai dua daripada dengan tetangga depan kamarnya sendiri!

Paham sih, Jaehyun itu sibuk. Kalau pulang kerja pasti sudah terlalu letih buat bersosialisasi segala. Tapi kan―mereka tetangga paling dekat... Masih kaku begini dengan tetanggamu sendiri sejujurnya bikin Yuta agak sedih.

Ditambah pula Jeno selalu sembunyi tiap dia sapa. Memang betul Jeno pemalu di depan siapapun selain ayahnya, tapi ya begitu―tetap saja Yuta sedih.

"Apa mukaku seram?" tanya Yuta esok harinya di kelas selagi mereka menunggu dosen datang.

Ten mengetuk dagu, "Cuma kalau lagi kesal aja, sih."

"Kamu jawabnya mikir dulu."

"Maaf karena aku punya otak yang bekerja."

Yuta menggembungkan pipi sebelum mengembuskan napas keras-keras. Sepertinya ia harus mulai melatih ekspresi di depan cermin.

🍰🍬🎀 𝐵𝒶𝒷𝓎 𝒮𝓉𝑒𝓅𝓈 🎀🍬🍰

Kali selanjutnya Yuta bertemu bocah tujuh tahun yang bikin frustasi itu, Jeno sedang sendirian. Kaki kecilnya ditekuk, tubuhnya berjongkok di sisi perosotan berbentuk gajah. Kedua telapak tangan beristirahat dengan rapi di atas lutut.

Mempertimbangkan sikap Jeno kepadanya selama ini bikin Yuta ragu antara abai saja atau menghampiri si bocah. Ah―tapi buat apa coba Jeno sendirian di playground sepi begini? Matahari sudah mau tenggelam pula. Bahaya kalau tidak ditemani.

'Udahlah, percaya diri aja,' pikirnya. Lagipula dia sudah melatih ekspresi selama tiga hari belakangan. Kali ini harusnya akan berbeda.

Jeno yang terlalu asyik mengamati tak menyadari seseorang datang mendekat. Ia baru tahu ketika bayangan Yuta yang memanjang itu jatuh di atasnya. Sontak bahu Jeno berjengit waspada. Ia mendongak dengan mata membulat takut.

Segera Yuta mengulas senyum terbaik. Ia harus kelihatan ramah.

"Hai," pemuda itu ikut jongkok, mengintip ke sela-sela kaki patung gajah dengan penasaran. "Jeno lagi apa?"

Jujur, Yuta sudah memasang ekspektasi paling rendah. Pokoknya percaya diri, tapi harus tetap pesimis. Jadi ketika Jeno tidak lari terbirit-birit meninggalkannya dan malah bergeser membiarkan Yuta melihat (walau dilakukan dengan ragu-ragu), ia seperti melambung ke awang-awang.

Baby Steps! [ Jaeyu ]Where stories live. Discover now