12. Tebengan Pertama

1.8K 189 27
                                    

''Jangan lupa bahwa bahagia itu tidak gratis. Jangan senang dulu! Karena semua entah akan berakhir manis atau justru berakhir tragis.''

💎Happy reading💎

Tak ada yang spesial pagi ini. Fandi yang entah jam berapa sudah berangkat kerja. Fian yang sibuk memperbaiki dasi saat baru sampai di meja makan. Fino yang sedari tadi diam sambil menikmati sarapan. Semetara Dirga hanya mengamati dua abang kembarnya secara bergantian.

"Ga, hari ini lo yang milih! Mau berangkat sekolah sama gue atau sama Fino?"

"Maksud lo? Enggak, ya, Bang. Dia sama lo aja udah. Lo 'kan tau gue enggak bakal mau nebengin dia. Apa kata orang-orang nanti di sekolah? Yang ada gue dimalu-maluin sama dia."

Itu suara Fino yang langsung menegakkan kepala ketika Fian membuka suara. Fino tentu tak akan mau Dirga disuruh memilih, dan kalau Dirga memilih berangkat dengannya, lalu Fino harus menolak dengan cara apa?

"Please, Fin. Biarin Dirga yang milih. Kasih dia kebebasan buat kali ini." Fian lantas berpindah menatap Dirga yang masih diam di tempatnya, "Lo mau ke sekolah sama siapa hari ini, Ga?"

Dirga tampak sedang menimang-nimang pertanyaan yang Fian berikan. Kalau ia memilih bersama Fian, maka tak akan ada masalah apa-apa dan dia bisa langsung ke sekolah tanpa berdebat terlebih dahulu dengan abangnya. Akan tetapi, bukannya ini kesempatan untuk Dirga mendekatkan diri dengan Fino? Kalau saja ia memilih pergi sekolah bersama Fino, maka Dirga akan mendapat sedikit waktu untuk saling bertukar kata dengan Fino.

"Mmmm ... gue sama Bang Fino aja, ya, Bang," kata Dirga.

"Lo apa-apaan, sih. Kalau udah tau gue bakal nolak, kenapa malah milih gue? Lo sengaja?"

"Fin, ini masih pagi. Turutin aja udah, lagian enggak bakal bikin lo kesusahan. Beda lagi ceritanya kalau lo sama Dirga beda sekolah. Ayolah, Fin!"

Fino membanting sendok ke atas piring, kemudian menatap Dirga dengan tatapan dingin. Untuk kali ini Fino akan mengiyakan permintaan Dirga. Bukan karena kasihan padanya, tapi karena Fian yang memaksanya. Untuk kali ini Fino akan mengesampingkan egonya. Lagipula berdebat di sini tak akan menyelesaikan apa-apa.

"Oke. Kali ini gue kasih lo tebengan. Jangan ngelunjak, ya lo!"

Mata Dirga membola kala mendengar kalimat penerimaan dari Fino. Walau kasar, tapi setidaknya ia masih bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengan Fino. Bukannya Dirga tak menghargai Fian yang jelas-jelas tak akan menolaknya jika ia memilih Fian untuk meminta tumpangan, tapi Dirga hanya ingin mematahkan sedikit demi sedikit jarak yang dibentangkan oleh Fino untuknya. Hanya ini satu-satunya cara yang bisa Dirga lakukan untuk saat ini.

"Gitu, dong. Gue awasin dari belakang ntar, takut aja lo malah ninggalin dia kayak waktu itu."

"Udah, ya, Bang. Yang lalu enggak usah dibahas. Lagian gue bukan anak kecil yang harus diawasi." Fino menyuarakan kalimat ketidaksukaannya, mendengar itu malah membuat Fian tertawa untuk kemudian kembali bersuara.

"Adek gue dua, yang satu tubuhnya lebih gede dari gue. Udah kayak abang gue malahan, tapi kelakuannya benar-benar kayak bocah. Padahal bentar lagi udah 18 tahun. Yang satu lagi adek gue beneran masih bocah, usianya aja belum lengkap 16 tahun. Itu dia yang harus gue awasin. Kenapa lo? Enggak suka?"

Fian menyuarakan kalimatnya dengan nada bercanda. Meledek Fino yang memang kelakuannya tak jauh beda dari kelakuan bocah. Suka merajuk karena hal sepeleh dan akan berujung marah-marah tak jelas seperti anak kecil yang tak dikasih uang jajan. Sangat berbeda dengan Dirga yang selalu santai dengan senyum merekah. Walau usianya belum genap 16 tahun, tapi pikirannya jauh lebih dewasa. Namun, Fian mengatakannya hanya semata-mata ingin bercanda. Memecah beku di ruang makan yang selama dua bulan ini selalu memeluk mereka.

Satria Dirgantara [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang