03. Tempat Pulang Paling Nyaman

99 13 0
                                    

•••••

Hujan berganti reda tepat ketika motornya berhenti di sudut garasi. Seusai melepas helm, Kevin sempat melirik pagar hitam rumah Jessy di samping kiri. Menatap sendu ketika mulai merasakan kembali patah di hati.

Bagaimana tidak? Belum padam api cemburu di dalam hati ketika Jessy lebih memilih pulang bareng Rafael ketimbang dirinya, hujan datang membasahi menyulap api menjadi bara melihat keduanya berteduh di emperan toko dengan wajah bahagia tanpa mau tahu ada hati yang berdenyut nyeri. Kevin bisa membayangkan sebahagia apa jika dia yang berdiri disana, di samping Jessy yang tengah kedinginan kemudian dengan senang hati memasangkan jaket miliknya pada tubuh cewek itu. Meskipun tubuhnya yang dingin tapi hatinya sudah pasti seratus persen menghangat. Kevin boleh kedinginan tetapi Jessy tidak. Membayangkan saja sudah cukup membuat bibir Kevin kembali melengkung melupakan rasa cemburu yang sempat menjadi-jadi.

Saat ingin melangkah masuk ke rumah, deru motor menghentikan gerak kakinya. Jessy tiba di rumah dengan di bonceng Rafael. Kemudian cowok itu mengusap-usap rambut Jessy pelan, hal yang di lakukan Kevin dulu sebelum terganti dengan sosok Rafael. Apa sih yang di harap si Kevin? Apa sih yang dia kejar? Hati sama pikiran juga butuh jeda sebentar dari yang namanya ambisi dan patah hati.

"Sadar" Mungkin satu-satunya kata penyelamat untuk dirinya sendiri yang menggantungkan harap terlalu tinggi pada seorang Jessy. Benar kata orang yang mengibaratkan cahaya membias di sebut pelangi, tapi kalau rasa yang membias itu namanya patah hati. Lucu ya? Hati itu tidak punya tulang tapi kok bisa patah juga.

Seragam di badannya masih basah, Kevin memasuki rumah dan segera berlalu menuju kamarnya yang berada di lantai bawah. Kevin sengaja memilih kamar di lantai dasar dengan alasan malas manjat tangga. Ada yang lebih penting dari itu, biar Jessy lebih gampang ngungsi ke kamar dia lewat pintu balkon kamar tanpa perlu susah payah ngetuk pintu utama terus manjat tangga yang lumayan tinggi. Kebetulan pintu kaca di bagian kamarnya Jessy juga mengarah tepat ke hadapan kamar si Kevin.

"KEVIN!"

"Sini kamu! Kalo bajunya basah jangan masuk lewat pintu depan. Airnya netes di lantai kan kotor." Cecar Mama yang tiba-tiba berada di pintu kamar.

"Maaf, Ma. Kevin kelupaan."

"Udah pikun ya? Bersihin lagi sana!"

"Iya, nanti Kevin bersihin abis mandi."

"Mandi yang cepet. Awas kalo bohong lagi." Ancam Mama karena kebiasaan si Kevin kalau di suruh iya iya mulu tapi tidak di lakuin. Kadang kamar di kunci sambil nyetel musik nyaring-nyaring biar tidak bisa dengar suara Mama yang lagi nyemprot dia karena keusilan dia yang mendarah daging atau keciduk kalau si Jessy main nyelonong masuk kamar anak cowok Mama yang kasep pisan lewat pintu balkon.

Waktu berlalu 30 menit, Kevin terpaksa mengambil kain pel dan membersihkan lantai mulai depan sampai ke dekat kamar yang ada stempel telapak sepatu dirinya yang di mandori oleh adik paling teraniaya satu kompleks akibat ulah si Kakak.

"Yang itu masih kotor!"

"Disana juga tuh deket bunganya Mama." Tunjuk Rico pada sepohon bunga sakura daunnya rimbun serta lebat bunganya padahal itu cuma imitasi. Warnanya pink dan lumayan besar.

Kevin melotot, berani-beraninya adik yang masih berumur tujuh tahun itu memerintah dirinya. Awalnya Kevin menurut saja sebelum melihat raket nyamuk di atas lemari hias milik Mama.

Desember, hujan, dan lukanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang