09 - Akhirnya

125 10 8
                                    

"Kamu punya opsi menolak, Aksa. Kenapa nggak dipakai?"

Si pemuda yang dicecar tidak lagi menyanggah, ataupun membantah. Tuan Adhitama itu justru berdesah, alih-alih berkilah.

"Maaf." cakapnya, berupaya memberi sugesti hanya dengan kata maaf yang terisi.

Prima menggeleng ringan. "Kenapa nggak nolak?"

"Diprovokasi."

Hening menyergap, baik Prima maupun Aksara nampaknya tidak terusik dengan situasi yang mendadak senyap. Bahkan kalau menuruti majas hiperbola, keduanya dapat mendengar degup jantung masing-masing dalam dada.

"Saya minta maaf, Prima." ucap si teruna dengan hulu tertoleh, memandang durja si puan ayu yang masih belum mengizinkan ia mendapat apa yang ingin diperoleh. "Buat semuanya."

"Semuanya apa?" tanya Prima, masih menangguhkan sikap acuhnya.

"Maaf, karena secara gamblang berperan sebagai pematah hati." ujarnya sebelum menghadirkan jeda yang tak seberapa. "Maaf, untuk tindak saya yang egois dan memaksakan kehendak. Maaf, untuk sikap yang nggak seharusnya."

Lelaki pucat yang satu itu lantas membasahi bibir bawahnya. "Dan maaf, karena terlalu banyak kata maaf yang lahir dari mulut si bajingan ini."

Prima terdiam, seakan enggan menyalurkan tanggapannya untuk si tuan yang asanya hampir andam. Puan manis itu hanya menghela napasnya sebelum menghempaskan punggung sempitnya pada sandaran kursi di belakang daksanya. Tatapan matanya masih sungkan membalas, lantas ia alihkan menghadap depan tanpa ada karsanya berimbas.

"Kalau saya nggak mau maafin, gimana?"

Aksara paham kala dirinya dilempari pertanyaan retorik, setelahnya dalam diam benaknya serasa dicekik rasa bersalah yang bergelung apik. Pemuda Adhitama itu kemudian memaksakan dirinya mengangguk, begitu kaku sampai sanggup membuat Prima melupakan sejenak kekesalannya yang menumpuk.

"Kenapa tingkahmu begitu?" tanya si puan geli.

Aksara menggelengkan kepalanya tanpa sanggup bersuara. Kepalanya lagi-lagi tertunduk, berusaha mengalihkan pandangan dari tatapan Prima yang menuntut.

Si gadis bungsu kemudian mendesah, memasrahkan punggungnya kembali sampai terantuk anantara kayu kursi. Jemarinya yang lentik beralih memijat pangkal pelipis, berusaha menepis genosida dalam bui benaknya.

"Ayo kita buat akhir yang bahagia." cetus Prima pada akhirnya.

Tuan berparas rupawan lantas menengadahkan hulunya, menoleh lekas pada sang lawan bicara diikutsertakan hunjaman tatap lekat. Binar pada sepasang maniknya tak mampu ia pendam, berbanding terbalik dengan Prima yang tampak muram.

"Apa dengan begini, kamu maafin saya? Dan mau nerima saya lagi? Begitu, 'kan?" pertanyaan beruntun Aksara ajukan penuh harapan.

Prima menggeleng seraya tersenyum tipis, "Siapa bilang? Mungkin saya bisa maafin kamu, tapi buat nerima kamu lagi saya nggak bisa. Saya nggak mau dikecewakan kedua kalinya." cakapnya, yang kemudian diteruskan. "Kalau dipikir-pikir, agaknya saya memang belum siap jatuh cinta. Saya belum siap mencicip pahitnya sakit hati, saya belum siap merasai asam-garamnya asmara."

Bisa dirasakan, bahana si tuan yang baru saja hendak disuarakan mendadak kembali semula tertelan. Cercah dari setiap sudut netranya perlahan meredup, seiring suasana yang menolak hidup.

"Kalau begitu, kapan kamu merasa siap?" tanya Aksara, tak kuasa pula membalas pandang.

"Entah, karena nggak ada yang tahu masa depan bakal seperti apa. Mungkin bisa saja justru nggak akan pernah siap." jawab Prima.

Aksara kembali bersuara, "Apa kamu berkenan, kalau saya terus berharap dan menunggu sampai kamu siap?"

Bahu yang naik dianggaikan si teruni, lantas berucap. "Silakan. Tapi jangan berandai terlampau, saya nggak mau kamu kecewa terlalu jauh."

Prima kembali meneruskan, "Untuk sekarang, ayo kita buat akhir yang bahagia. Bukan untuk kita, tapi untuk kamu dan saya. Biar waktu yang menjawab, pantaskah kamu dan saya masing-masing kembali hinggap, atau justru mengizinkan takdir menjalankan kehendaknya.

"Bahagia yang dituju, bukan hanya sekadar berpadu. Kamu dan saya, mari kejar bahagia kita bersama, di jalan yang berbeda.

"Karena siapa yang tahu? Mungkin kita hanya dipersilakan singgah, bukan menetap. Hanya diizinkan bertemu, tapi semuanya semu. Dan mungkin, kita hanya bentuk komplikasi dari kisah kasih yang seharusnya tidak dirajut.

"Mari biasakan jangan terlalu banyak berandai, agar masa penghujung perpisahan pula tak kunjung tercapai.

"Mulai sekarang, ayo kita akhiri apa yang seharusnya tidak diawali. Dan mulai sekarang, ayo hilangkan kehadiran 'kita' anantara kamu dan saya. Sepakat?"

Karena Prima, Aksara paham. Semua yang ia lalui bukan hanya tentangnya, tapi juga tentang 'kita' yang tercipta, dilahirkan tanpa unsur sengaja.

-TENTANGNYA-
\Akhirnya/

Catatan Moy: SELESAI!

Dengan ini, Aksara dan Prima pamit, ya! Sampai jumpa dilain cerita, bila ada kesempatan!

Maaf kalau banyak kata yang salah dan menyinggung, serta kuucap terima kasih banyak kepada yang sudah bersedia membaca ceritera tanpa alur jelas ini sampai pada penghujungnya.

Ah, nggak tahu lagi mau bilang terima kasih kayak apa. Intinya, aku sayang kalian!

MOY LUV U ALWAYS!

Tentangnya ; AsaRyu ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang