9

198 26 8
                                    

"Adek lu gak masuk sekolah ya, Bang?" Chenle sampai harus datang ke tongkrongan biasa abangnya untuk menemui Jeno atau Jaemin.

"Lah sejak kapan nih bocah nanyain orang lain?" cetus Haechan yang kebetulan juga ada di sana. Merokok bersama Jeno.

Jeno diam, menghabiskan satu batang rokok namun belum berniat menjawab Chenle.

"Ditanyain juga," decak Chenle.

Jaemin menoleh ke Chenle. "Iya dia ikut Mama ke rumah Nenek."

"Dua hari?" tanya Chenle.

"Seminggu juga mau bilang apa lu?" Jeno menatap Chenle sinis.

"Oke." Chenle berdiri. "Koh, gua pergi dulu ya."

"Mau kemana lagi? Langsung pulang," titah Renjun memberi kunci motor pada Chenle.

"Mau naik taksi." Chenle menolak kunci motor Renjun. "Mau kerumah Ryujin, gua harus ketemu sama dia hari ini."

"Lu pikir rumah Nenek gua dimana?" sinis Jeno.

Renjun melirik Jeno tajam. "Kenapa sih anjing adek gua di gituin mulu dari tadi," sungutnya tidak suka. "Udah Le pulang aja kerumah. Palingan Ryujin nanti masuk lagi kalo udah pulang dari rumah Neneknya."

Chenle hendak melawan Renjun, tapi bayangan Ryujin tiba-tiba melintas dalam benaknya. Bayangan Ryujin yang sedang terbaring lemah di sebuah ranjang dan entah dimana Chenle tidak tahu.

Jeno dan Jaemin menatap Chenle yang tiba-tiba seperti orang mabuk, terhuyung kesana kemari.

"Bohong lu sama gua, Bang." Chenle menatap Jeno dan Jaemin tajam, lalu tangannya hendak meraih kerah seragam Jeno.

Namun, tenaganya yang semula besar tiba-tiba menghilang, Chenle jatuh tersungkur di tanah keras. Dadanya menghantam tanah lalu tidak lama setelah itu Chenle berteriak. Seolah sesuatu tak kasat mata baru saja menghantam tubuhnya.

Jeno, Jaemin dan Haechan terkejut, mereka bertiga langsung berdiri menolong Chenle. Sedangkan Renjun menutup telinga Chenle seolah paham apa yang baru terjadi pada sang adik.

"Kokoh bilang pulang! Ayo kita naik taksi," perintah nya mutlak.

Chenle bahkan tidak memiliki tenaga yang tersisa untuk menjawab Renjun.

"Kenapa sih aneh banget Chenle hari ini?" Haechan bertanya entah pada siapa.

Jeno melihat Jaemin. "Bagi farfum sini."

Jaemin melempar botol farfum mahalnya. "Udah gua bilang jangan nyebat!"

"Gua stres, diem aja lu."

Jaemin melengos. "Lu gak boleh kesana kalo belum mandi di rumah," katanya pergi menuju motor yang terparkir.

Jeno menggeram pelan. "Berisik, Jaem!" teriaknya.

Haechan terkejut, tapi tidak bisa berkomentar apa-apa. Karena kalau si kembar beradu seperti ini, tandanya sedang ada sesuatu yang terjadi di antara mereka. Dan selalu saja hal buruk.

"Gua balik duluan, Jen," pamit Haechan segera setelah Jaemin menghilang dari pandangan.

Tersisa dirinya yang sekarang juga berjalan menuju motornya terparkir. Jeno kalut, tidak bisa berpikir jernih. Dia takut, adik yang paling dia cintai melebihi saudara kembarnya sendiri sedang menahankan sakit yang Jeno tidak tahu seperti apa rasanya.

Yang pasti, Jeno benar-benar tidak siap kehilangan atau lebih tepatnya tidak akan pernah siap selama apapun dirinya mempersiapkan.

Disinilah Jeno sekarang, pakaiannya telah berganti, dia menuruti Jaemin untuk pulang ke rumah dulu dan mandi. Ryujin dirawat di bangsal khusus lantai empat belas, bangsal yang isinya pasien-pasien paling penting di rumah sakit. Memang tidak selengkap ruang prioritas peralatannya, tapi setiap kamar di lantai empat belas sudah di fasilitasi peralatan yang benar-benar diperlukan.

Gone forever | Shin Ryujin✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang