Chapter 24

677 97 2
                                    

Hari demi hari telah berlalu begitu cepat hingga tak terasa kalau aku sudah jauh lebih baikan sekarang. Aku bisa merasakan kembali kakiku, berjalan dengan normal tanpa bantuan tongkat atau bantuan dari orang lain adalah satu-satunya hal yang kuinginkan sejak beberapa hari yang lalu saat aku terluka. Aku tidak suka merepotkan orang lain, aku lebih suka melakukan apapun sendiri tanpa campur tangan orang lain.

Ya, itu adalah prinsipku dulu dan mungkin sekarang aku akan mengubah prinsipku, aku lebih suka bersama orang yang membuatku merasa aman dan nyaman secara bersamaan. Melakukan sesuatu bersama dengan orang yang membuatku nyaman adalah sesuatu yang tidak pernah kuharapkan sebelumnya. Ini jadi terasa kejutan bagiku.

Lupakan tentang masa percintaanku, aku harus mencuci baju-bajuku yang sudah menumpuk di bak sana. Sudah beberapa hari ini aku tidak mencuci karena kau tau, aku sedang sakit dan aku akan menggunakan alasan itu untuk tidak mencuci bajuku. Aku terlalu malas.

Aku mengangkat bak berisi baju yang terlihat seperti kain lap itu, bau dan kotor adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi baju-baju kotorku saat ini.

Setelah selesai mencuci, segera kujemur di tempat yang biasa menjadi jemuran baju, balkon. Ini masih pagi, bahkan terlalu pagi karena sekarang masih jam 6. Aku memang suka bangun pagi untuk melakukan pekerjaan rumah, seperti beberes dan mencuci seperti yang kulakukan sekarang. Biasanya aku dan Sean akan bergantian, tapi sekarang dia sudah tidak seasrama lagi denganku. Sejenak aku merindukan Sean, mau sampai kapan dia mengabaikanku seperti ini, huh? Dasar kacang lupa kulitnya.

Sayup-sayup aku dengar suara erangan dari sang empu di sana. Mew menggercapkan matanya berkali-kali lalu menegakkan tubuhnya spontan.

"Apa aku membangunkanmu?" tanyaku pelan. Mew masih mengumpulkan seluruh nyawanya, dia bahkan menguap beberapa kali.

"Tidak. Apa yang kau lakukan pagi-pagi begini?" tanya Mew polos. Wajahnya benar-benar seperti orang yang baru bangun tidur. Rambutnya bahkan berantakan kemana-mana.

"Beberes rumah," jawabku singkat.

Oke, anggap saja asrama ini adalah rumah keduaku, jadi aku harus membersihkannya seperti rumah sendiri.

"Ehm... baiklah kalau begitu. Hari ini ujian sekolah dimulai, aku belum belajar semalam. Mungkin aku akan dapat nilai yang pas-pasan lagi untuk semester ini," seru Mew sambil menggaruk kepala bagian belakangnya. Dan lagi-lagi dia menguap untuk yang kesekian kalinya. Memangnya semalam dia habis ngapain sampai mengantuk begitu?

"Itu masalahmu, bukan masalahku," jawabku ketus namun tidak serius.

Aku membuka gorden yang semula menutupi kamar kami berdua dan membiarkan semburat matahari memenuhi ruangan. Sinar pagi memang sangat bagus untuk kesehatan.

Aku kembali menolehkan kepalaku ke arah Mew yang sekarang juga menatapku selama beberapa saat. Dia tidak mengalihkan pandangannya sedikitpun padaku, sorot matanya menatap lekat ke kedua bola mataku, bahkan rasanya dia seperti bisa merasuki tubuhku melalui tatapannya. Bibirnya bahkan terangkat naik hingga terbentuk seringai kecil di wajahnya.

Dia kenapa?

"Apa?" ketusku lagi. Mew terus menyeringai dan semakin lama seringai itu semakin terlihat mengerikan.

"Sekarang kau terlihat seperti istriku, ya," ujarnya serak. Kekehan kecil keluar dari bibirnya yang tipis, sementara aku memutar bola mataku malas.

"Kau mau aku lempar bak ini?" kataku sambil menaikkan bak yang kupegang. Ini masih pagi dan di sialan Mew itu sudah menggodaku, oh ayolah apa ini waktu yang tepat untuk itu? Sialan. Kurasa wajahku memerah karena sesuatu, aku mengalihkan kepalaku saat aku kembali merasa gugup. Mew benar-benar pandai membuatku merasa malu. Lihat saja, aku akan membalasnya nanti. Dia kira hanya dia saja yang bisa membuat seseorang malu?

"Haha. Aku hanya bercanda, melihatmu malu seperti ini sangat membuatku bahagia. Kurasa ujian kali ini aku akan mendapat nilai yang sangat bagus, aku tidak perlu belajar, hanya dengan melihatmu saja aku bisa menjawab semua soal dengan benar," ujarnya lagi dengan penuh percaya diri. Aku tidak tau darimana dia mendapatkan kepercayaan diri yang tinggi seperti itu.

"Dasar gila," ujarku datar.

Aku sudah siap dengan setelan seragam sekolah dan sepatu yang kukenakan di kedua kakiku. Aku berjalan menuju kelasku, begitu pula dengan Mew. Aku meninggalkan dia begitu ia sampai di kelas, kelasku lebih jauh beberapa meter dari kelas Mew, kelasku dan kelas Mew ada di pojok. Aku memasuki kelasku dan melihat seorang wanita dengan alis yang tebal dan kacamata yang sudah tidak asing lagi di mataku, dia adalah Miss Brenda.

Tapi sepertinya ada yang berbeda hari ini, dia tersenyum padaku dan kali ini senyumannya tulus. Aku menolehkan kepalaku ke samping dan ke belakang, siapa tau dia tersenyum pada orang lain namun tidak ada siapa-siapa lagi di sini selain diriku. Apa aku salah lihat atau bagaimana?

"Dari apa yang kulihat, kurasa kau sudah sangat baikan, Gulfi. Aku senang kalau kau sudah bisa berjalan normal lagi tanpa bantuan tongkat. Hari ini ujian sekolah dimulai dan kuharap kau sudah belajar untuk mempersiapkan ujian ini. Jika kau butuh sesuatu, katakan saja kepadaku, aku akan membantumu sebaik yang aku bisa, oke?"

What?

Aku tidak sedang bermimpi kan hari ini? Aku akan membuktikan kalau ini bukanlah mimpi, aku masih bisa merasakan sakit ketika aku mencubit tanganku dan benar saja ini bukan mimpi. Tidak biasanya Miss Brenda begitu perhatian kepadaku, dia bahkan berbicara lembut dan sopan kepadaku. Aku tidak tau apa yang sedang terjadi kali ini tapi aku merasa aneh.

Segera kubuyarkan lamunanku akan Miss Brenda dan mulai mengerjakan ujian dengan teliti. Aku adalah anak yang pintar, tentu saja aku bisa mendapatkan beasiswa itu karena aku memang layak mendapatkannya. Dan kali ini mungkin aku yang akan menjadi juara kelas lagi.

Aku menoleh ke arah bangku samping dan mendapati Sean yang tengah fokus dengan kertas ujian di hadapannya. Dia juga menoleh ke arahku dan aku menyapanya dengan kaku. Dia tidak bereaksi apapun kecuali ekspresi yang terlihat heran. Sial, aku merindukanmu, Sean.

Tujuh hari telah berlalu sejak ujian sekolah dimulai dan hari ini tepat hari terakhir ujian. Akhirnya aku bisa bernapas lega sekarang, aku merenggangkan tubuhku ke segala arah sampai rasa pegal itu lenyap dari dalam tubuhku. Mew menepuk pundakku pelan dan melingkarkan tangannya ke leherku

"Liburan ini kau mau kemana, Gulfi?" tanya Mew ingin tau.

"Sepertinya aku akan pergi ke rumah nenekku. Aku sangat merindukan dia." Liburan setelah ujian sekolah, rasanya aku tidak ingin kemana-mana selain pergi mengunjungi rumah nenekku karena dialah satu-satunya keluargaku yang tersisa dan kuanggap ada. Sisanya? Aku anggap mereka sudah mati.

"Kalau kau sendiri?" tanyaku balik.

"Entahlah, aku bosan berada di asrama, aku juga tidak mau pulang ke rumahku."

"Kenapa kau tidak pulang saja ke rumahmu?"

"Aku malas, lagipula papa dan mamaku tidak begitu memperdulikanku, mereka tidak khawatir jika aku tidak pulang dan aku juga tidak mau ke sana."

Sejenak kupikir dia adalah anak mama, jika dilihat dari penampilannya kupikir dia adalah anak orang terpandang. Dia bahkan selalu mentraktirku makan tanpa memikirkan biaya yang ia keluarkan untuk membayar makananku. Ternyata kekayaan tidak menjamin kebahagiaan seseorang dan aku percaya akan hal itu.

"Mew, apa kau mau ikut ke rumah nenekku?" tanyaku secara spontan. Aku tidak memikirkan hal ini sebelumnya, namun ini terlontar begitu saja dari mulutku.

Mendengar ajakan ku barusan, Mew terlihat terkejut dan segera mengiyakan tawaranku barusan tanpa memikirkannya terlebih dahulu.

"Tapi rumah nenekku kecil, memang gak papa?" tanyaku memastikan. Rumah nenekku memang kecil, kupikir Mew akan berpikir dua kali untuk menerima tawaranku namun dia sama sekali tidak terlihat menolak. Dia baik-baik saja dengan hal itu dan itu membuatku senang.

GULFI - MEWGULFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang