4. Namamu di atas pasir

1.2K 289 46
                                    

"Lagi ngapain?" tanya Dylano

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lagi ngapain?" tanya Dylano. Istrinya sejak tadi seperti mencari-cari sesuatu. Hingga menemukan sebuah rating, berjongkok dan mengorek-ngorek pasir. Tentu Dylano bingung. Tiffany memang introvert. Kadang sering melakukan sesuatu sendiri dan tak ingin diganggu. Karena itu, Dylano hanya mengikuti dari belakang dan memberi waktu sendiri.

"Nyari kepiting," jawab Tiffany.

"Ada?" Dylano pikir kepiting tinggal di pantai dekat pohon bakau.

"Gak ada. Ini udah dikorek-korek juga. Tadi liat yang lari masuk lubang sini. Kayaknya ngelelep sampai bawah." Dagu Tiffany bersandar di atas lututnya sendiri.

"Buat apa kamu nyari kepiting? Kalau mau makan itu, kita beli aja."

Tiffany mendongak. "Olahraga. Kalau ketangkep juga aku lepasin lagi. Kasian bapaknya nyari. Kalau telat pulang, nanti pantatnya dipukul pake lidi," jawabnya lalu nyengir kuda.

"Ada ya yang ngomong sama suami ceplas-ceplos kayak gitu."

"Ada." Tiffany mengedip-ngedipkan mata.

"Siapa?"

"Aku!" tunjuk Tiffany ke dirinya sendiri.

Dylano rebut ranting dari tangan istrinya. Benda panjang, tak lurus dan sedikit lentur itu, dia gunakan menulis nama Tiffany di atas pasir.

"Entar juga ilang kena angin dan pasang." Tiffany selalu pesimis. Dia paling malas melakukan sesuatu yang jelas tidak ada manfaatnya.

"Tahu. Gak ada yang kita punya akan selalu jadi milik kita. Tapi paling tidak, kita pernah memilikinya sebelum hilang. Kayak kamu." Ditekan ujung hidung Tiffany.

Dylano duduk di atas pasir. Tangan kekar dan lebar itu mengusap rambut dengan lembut. "Kadang aku sering duduk diam. Terus merenung. Kemudian bertanya. Tiffany sedang apa? Dia makan tidak, main ke mana? Kesepian tidak?"

"Mau aku jawab?" Tiffany main duduk di pangkuan Dylano.

Mata mereka saling bertatapan. "Boleh."

Kini Tiffany agak berpikir. "Aku ke toko, nonton drama, jalan-jalan di pinggir jalam nyari jajanan enak. Aku banyak makan. Mainnya paling nonton konser. Aku suka sepi."

"Sudah kuduga." Dylano terkekeh. Dia hendak bangkit dengan menggendong Tiffany.

"Turunin. Ada yang liat."

Dylano berputar. "Gak ada orang." Dikecup kening istrinya itu.

"Terus?"

"Kamu suka berenang?"

"Hah?"

Tiba-tiba saja Dylano semakin maju ke arah laut. "Dylano! Di saku ada HP. Basah! Jangan bercanda."

Dia turunkan Tiffany di atas air. Untungnya Tiffany sempat berdiri hingga yang basah hanya sampai lutut. Dylano lekas berlari ke pasir. "Awas kamu!" Tiffany kejar laki-laki itu sekuat tenaga. Sayang, satu langkah Dylano sama dengan dua langkah Tiffany.

"Gara-gara dia isi perut yang tadi rasanya kayak ghaib. Cuman lewat, gak berwujud." Tiffany sampai ngos-ngosan. Dylano berdiri menghadapnya sambil berkacak pinggang. "Sini. Aku mau cium."

"Makasih. Tapi takut diliat orang lain."

"Gak ada orang." Tiffany menunjuk sekitar.

Ponsel Dylano bergetar. Dia raih dari saku celana. Ada telepon dari salah satu rekan bisnisnya. Padahal sudah Dylano wanti-wanti pada sekretarisnya agar tidak mengizinkan telepon dari orang lain masuk. Apalagi ke nomor pribadi.

Akhirnya dia angkat juga. Ini jadi kesempatan emas bagi Tiffany. Dia lekas berlari menghampiri, dipukul lengan Dylano. Bahkan dia peluk dengan kuat tubuh Dylano agar sesak. Sayangnya otot kekar pria itu malah tak mampu ditembus kekuatan tangan Tiffany.

"Nakal! Nakal!" Tiffany cubit lengan suaminya. Dylano tahan tangan Tiffany dan memberikan tanda agar istrinya diam, kemudian berjalan menjauh.

"Kerjaan lagi." Pantas kalau Tiffany jenuh melihat kesibukan Dylano. Selama pacaran pun mereka jarang bertemu. Sudah Dylano tinggal di Amerika, orang yang ingin bertemu dengannya banyak.

Gabut, Tiffany main ombak saja. Dia mendekat dan lari ketika ombak datang. Sesekali terdengar tawanya. Dylano masih betah bernegosiasi. Tidak heran kalau sekretarisnya meneruskan. Bisnis ini punya profit yang tinggi.

"Gak kena lagi!" seru Tiffany. Dia maju, tak sadar angin bertiup kencang. Ombak kali ini datang besar dan cepat. Kaget, dia hindari sebisa mungkin.

"Aargghh!" teriakan Tiffany jelas membuat Dylano kaget hingga menjatuhkan ponselnya. Tiffany terjungkal ke atas pasir dan hampir terseret ombak.

Sekuat tenaga mengejar, Dylano raih tubuh Tiffany. "Kamu gak apa?" Diusap rambut yang menghalangi wajah.

"Aku kaget." Tiffany masih terlihat santai. Dylano peluk dengan erat. "Kamu. Tolong jangan kayak gitu. Jauhi bahaya. Please, aku baru milikin kamu lagi, Sayang. Aku gak mau kehilangan kamu." Dicium kening Tiffany.

Bola mata bulat hitam Tiffany terbuka lebar. Ia cukup terkejut melihat reaksi suaminya itu. Dylano hampir seperti akan menangis. Bahkan pelukannya begitu erat.

"Tadi kamu mau jatuhin aku ke ombak. Masa sekarang cemas. Aneh kamu." Tiffany tertawa dan berusaha menganggap itu hanya candaan.

"Kita pulang aja. Di sini gak aman." Dylano bantu Tiffany berdiri. Dia ambil ponselnya lagi. "Tadi kamu lagi ngobrol sama rekan?"

"Gak penting. Aku udah lemes lihat kamu celaka. Kakinya luka gak? Badan kamu ada yang sakit? Keseleo gak?"

"Dylan, aku bukan anak SMA lagi. Bayangin, aku pernah tinggal di Paris sendirian. Naik metro ke mana-mana. Kadang diikutin sama penjahat. Aku baik-baik aja."

Dylano berhenti. Dia pegang tangan istrinya. "Iya, itu dosaku. Harusnya aku gak ke Amerika dulu. Harusnya aku temani kamu. Padahal aku tahu kamu bisa kena bahaya kapan pun. Aku malah pergi dan menghilang kayak pengecut."

"Sekali lagi kamu ngomong gitu, aku gak mau bicara sama kamu lagi seharian!" Tiffany melarang.

"Dylan, kalau kamu gak pergi, aku cuman terus jadi perempuan lemah yang sembunyi di punggung kamu. Aku gak akan punya toko roti dan terus hidup miskin. Satu lagi, aku akan terus dipandang buruk sama keluarga kamu. Lihat! Sekarang aku dengan bangga bilang, aku ini istrinya Dylano. Master dari Sorbone dan bos toko roti mahal."

Senyum Dylano sedikit tersungging. "Maaf. Aku cuman takut ...."

"Aku juga takut kehilangan kamu lagi. Kayak kamu, aku juga ingin kita bersama. Aku juga gak ingin perjuangan sebelas tahun ini sia-sia. Kemarin kamu gak pergi dan hilang. Kamu cuman belajar jadi suami yang baik buat aku. Iya kan?" Tiffany sentuh pipi suaminya.

 Iya kan?" Tiffany sentuh pipi suaminya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
My Chairman HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang