01. Kemarahan sang ayah

70.4K 3.9K 73
                                    

"Ada kalanya aku merindu dengan waktu yang sudah berlalu."

- Iqlima Aqeella Shalshabilla -
.
.
.
Happy reading.

Plak...

Terasa nyeri sekali pipi Ima, ia tidak tahu kenapa sang Ayah menamparnya.

"Ayah kenapa?" Tanyanya bingung.

"Masih tanya ayah kenapa? Tanya kepada dirimu sendiri apa yang baru kamu lakukan." Ucap Ayah Ima lantang.

Jujur Ima pun bingung kenapa ayah begini, biasanya sang Ayah tak pernah perduli dengan apa yang ia lakukan.

"Kenapa kamu ikut-ikutan balapan liar, nabrak orang, kamu tau ayah malu ima!"

"Oh ayah malu, iya? Bukakan Ayah gak pernah perduli dengan Ima? Bunda juga begitu sama Ima, emang yah gak ada yang pernah perduli dengan Ima. Kecuali Bik Yanti dan Pak Parjo!"

"Jaga ucapan mu Ima! Bunda nggak pernah ngajarin kamu bicara seperti itu!" Tegas bunda Ima yang nyaring di telinga.

"Emang Bunda pernah ngajarin Ima ya? Perasaan Ima dari kecil cuma sama Bik Yanti, Bik Yanti yang nasehati Ima. Ima kayak gini juga kemauan sendiri, bukan didikan Bik Yanti, lebih tepatnya Bunda cuma sibuk sama pekerjaan Bunda. Bik Yanti sama Pak Parjo yang nggak punya anak aja pengen, lantas  Bunda kemana?"

"Sudah Non, Bibik gak mau Non bertengkar sama Bapak dan Ibuk, Non pergi ke kamar ya."

"Bik, kenapa Ima selalu di suruh ngertiin perasaan Ayah Bunda? Sedangkan mereka saja tak pernah mengerti apa yang aku mau."

Plak..

Bunda Ima kini menampar pipi Ima lagi, sungguh menyakitkan sekali baginya.

"Ayah sama bunda cari uang untuk kamu ya Ima, kenapa kamu begitu ke ayah sama bunda, apa kurang semua yang ayah sama bunda kasih ke kamu?"

"Andai ayah dan bunda tau, aku hanya ingin seperti teman-teman ku yang sering menghabiskan waktu dengan orang tua mereka. Aku tak ingin uang, pangkat, jabatan. Yang aku inginkan hanya kasih sayang kalian, apa aku salah? Aku berbuat onar, berandalan hanya ingin kalian lebih fokus ke aku, bukan ke pekerjaan! Tapi aku salah, apapun itu gak akan pernah merubah ayah bunda sayang dan perhatian sama aku!" Air mata Ima terus menetes, bersama semua perasaan yang ingin ia ungkapkan.

"Ayah akan kirim kamu ke pesantren, ayah gak mau denger tapi tapian! keputusan ayah sudah bulat!"

Bagaikan di sambar petir di siang bolong. Pesantren? Kenapa takdir ku seperti ini? Aku gak mau ke pesantren! Yang ku tau di pesantren semuanya harus ngantri, gak ada waktu istirahat.

"Ayah bunda jahat!" Teriaknya lantang. Ia pergi ke kamar dan menutup pintu dengan keras, meluapkan emosi nya di kamar.

"Tuhan... Kenapa sakit sekali?" Ima hanya ingin mendapatkan kasih sayang kedua orang tua nya, karna sejak kecil ia tak pernah mendapatkannya. Ia memutuskan untuk mandi agar bisa meredakan emosi. Bahkan, ia masih mengurung dikamar hingga malam.

Tok..tok.. tok..

"Buka aja Bik, nggak di kunci kok."

Imam Impian (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang