02. keputusan

30.5K 2.9K 44
                                    

"Sangat ingin rasanya pergi
Tapi...., Setelah pergi, ingin rasanya kembali lagi."

.
.
.
Happy reading.

"Sama sama. Saya pergi dulu." Sang kurir mengangguk sopan dan gegas pergi dari sana.

Ima menggukkan kepala meski bingung kenapa Ayah memesan paket sebanyak itu? Ia langsung memasuki rumah dengan bergulat dengan pikirannya sendiri.

Tin! Tin!

Suara klakson mobil Ayah Ima berbunyi. Sontak Ima yang mendengarnya pergi keluar dan melihat, benar yang datang Ayah dan Bundanya.

"Sudah bangun anak Ayah?" Sang Ayah mengusap rambutnya.

Ima menatapbingung karena sikap sang kini berbeda, biasanya Ayah langsung pergi dan tak perduli ada dirinya.

"Heum. iya Ayah." Bagi Ima itu pertama kalinya sang Ayah bersikap lembut, tetapi tanpa alasan. Hingga ia begitu canggung saat berdekatan dengan ayahnya.

"Ayah tadi ada paket tuh di sana." Ima teringat dengan paket tadi dan menunjuk semua tumpukan paket di depan pintu..

"Iya, kamarin Bunda pesen online, buat kamu itu."

"Wah, buat Ima Ayah?" Tanya Ima antusias, ia hanya ingin memastikan.

"Iya..., buka gih."

"Tapi ini banyak banget. Apa nggak kebanyakan?"

"Nggaklah sayang, Bunda pilih itu semuanya buat kamu pergi ke pondok," ujar sang Bunda dan di angguki oleh Ayahnya.

Pondok? Aish mengingat sore nanti ia berangkat, rasanya ingin kabur dari rumah.

"Ayo masuk masak di teras." Sang Ayah menarik tangan Ima. Sesampainya di ruang tamu sang ayah memanggil nya.

"Iqlima Aqeela Shalshabilla." Teriak pria paruh baya itu.

"Sebentar yah." Sesampai nya di ruang tamu, ayah Ima menarik tangan Ima untuk duduk di dekatnya.

"Ayah mau ngomong penting sama kamu, tapi kamu jangan marah ya sama Ayah." Saat raut wajah sang Ayah mulai serius seperti saat ini Ima hanya bisa menurut.

"Iya, Ayah.

Ia memeluk Ima dengan erat, bahkan mengelus lembut rambut putri kesayangannya itu. Senang bukan main pastinya karena kasih sayang seperti ini yang Ima inginkan dari dulu, dekat dengan ayah dan bundanya, seperti anak-anak pada umumnya.

"Maafin Ayah belum jadi Ayah yang baik untuk Ima." Sang Ayah mengawali pembicaraan.

"Ayah kok ngomongnya gitu?"

"Sebenarnya Ayah dan Bunda sibuk  bukan karna pekerjaan, tapi...." Sang Ayah menjeda.

"Tapi apa Ayah? Jangan setengah setengah." Ima yang yak mengerti apa pun merasa bingung dan takut dengan sikap ayahnya yang seperti ini. Setelah dikirim ke pondok, apalagi lagi yang lebih parah? Pikiran Ima sudah melayang kemana-mana, dari perjodohan, perselingkuhan hingga pembunuhan.

"Ayah sibuk mencukupi kebutuhan anak yang orang tuanya Ayah tabrak dulu. kamu masih ingat kan Ayah pernah masuk rumah sakit gara gara kecelakaan?" Tanya sang Ayah yang mengingatkan kembali ke masa itu.

Imam Impian (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang