Gibran Love Ayra

52 8 1
                                    

Mungkin, jatuh cinta adalah pilihan. Namun, ia juga bagian dari takdir. Setiap orang bisa memilih dengan siapa saja dia jatuh cinta. Tapi, dia tidak bisa memilih dengan siapa dia berakhir membawa cintanya. Menebak apapun yang akan terjadi dimasa depan nanti, tetap tidak ada yang sejalan dengan pemikiranku. Aku juga pernah sangat meyakini bahwa kebahagiaanku adalah bersama Habib. Pernah bersama merangkai mimpi untuk hidup bahagia hingga menua. Tapi, takdir berkata lain. Dia bukan tidak memihakku, hanya saja jalan ceritanya memang tidak menginginkan aku untuk bersamanya hingga akhir. Kadang, aku selalu berpikir bahwa hal itu adalah mustahil. Itu hanya sekedar mimpi belaka. Nyatanya, kenyataan benar-benar membuatku bertekuk lutut atas takdir yang terjadi. Kehilangan sebelum memiliki sepenuhnya, adalah hal paling menyakitkan dalam kehidupanku. Dan siapa sangka bahwa dibalik semua ini, Allah menyiapkan rencana untukku? Aku tidak tahu, Gibran adalah akhir atau hanya perantara. Aku masih berusaha menguatkan segala rindu yang masih sulit berkumpul menjadi satu untuk menuju pada satu tempat. Dia masih saja berkeliaran kemanapun dia suka.

"Hei!"
"Aihh!" Aku hampir menjatuhkan pulpen hi-tech karena kaget. Pulpen legendaris yang sekali kebanting, tidak bisa digunakan lagi. Aku menoleh untuk memastikan, siapa sih yang iseng?
"Ehh, Mbak Zahra." Dia tersenyum dan ikut duduk di sebelahku.
"Ada apa Mbak?"
"Enggak kok. Gimana? Udah betah disini?" tanyanya. Aku mengangguk.
"Udah, Mbak!" Sebenernya betah aja, soalnya aku kan harus terbiasa beradaptasi. Walaupun kendalanya adalah berteman.
"Kamu udah akrab sama Gus Gibran yah?" Ngg-- apa dia berusaha mengungkit masalah kemarin?
"Nggak juga sih." Aku berbohong demi kebaikan. Tapi, memang benar. Bahwa aku saja baru mengenalnya, tidak lebih dari sebulan!
"Gus Gibran memang type orang yang dingin, sih. Padahal, dulu waktu kecil dia orang yang ramah banget ke semua orang." Hmm, apa Mbak Zahra sengaja menceritakannya?
"Kamu tau Almarhum Gus Habib?" ahh, baru kali ini ada orang asing menyebut nama Habib. Aku mendadak sesak dan rindu.
"Emm, siapa emang?"
"Nah, dia sepupunya Gus Gibran. Mereka berdua deket banget meskipun umurnya beda. Pas Gus Habib lahir, Gus Gibran seneng banget punya sepupu laki-laki. Padahal Gus Habib pindah ke Bekasi loh, kali aja dulu beliau tinggal disekitar kamu." Aku hanya nyengir. Memang, dia selalu ada di sekitarku semenjak kali pertama bertemu.
"Gus Gibran orang yang baik, pas ditinggal Gus Habib. Dia keliatan sedih banget." Mungkin aja pas di pemakaman, dia juga hadir?
"Menurut kamu Gus Gibran orangnya gimana?"
"Ngg-- nggak tau. Soalnya nggak paham juga." Mbak Zahra senyum. Senyuman yang membuatku canggung.
"Beliau baik kok aslinya, meski kadang sikapnya dingin." Mbak Zahra menatap santri yang lalu lalang. Meski dia seniorku, sikap dan sifatnya memang menunjukkan usianya yang masih lugu dan baik. Dia seperti belum terkontaminasi hal buruk.
Dia melambai kepada santri yang menyapanya dari jauh.
"Kalau hari libur, kamu ikut aku beresin ndalem yah?" Aku tercengang. Dia benar-benar bersikap biasa saja. Apa dia memang tidak mendengar apapun saat aku membersihkan kamar Gibran?
"Kalau hari biasa, kamu lebih sibuk ngaji." Aku mengangguk pelan,
"Hehe, iya."
"Kamu udah tahu ya tentang perjodohan aku dengan Gus Gibran?" Wah, aku tidak bisa memperkirakan kemana arah obrolan Mbak Zahra.
"Iya, begitulah." Aku tidak mau bertanya apakah itu benar atau tidak.
"Rumornya benar, kok. Gus Gibran memang dijodohkan sedari kecil sama aku. Tapi, dia kelihatannya tidak menyukainya." Mbak Zahra terlihat murung dengan memasang tatapan kosong ke hadapannya.
"Mungkin, Gus Gibran hanya tidak ingin bersikap berlebihan. Kan, kadang sikapnya dingin?" Mbak Zahra menggeleng.
"Aku lebih memahami Gus Gibran dari siapapun. Aku yang lebih mengenal dia karena aku selalu memperhatikannya dari dulu." Ahh, lalu kenapa Gibran tidak menerima Mbak Zahra saja. Alih-alih memilih aku orang yang baru dia kenal.
"Gus Gibran bukan type yang mudah akrab dengan orang baru, kecuali orang itu sudah dia kenal lebih dulu lewat oranglain." Maksudnya? Apa dia sedang membicarakan aku sekarang?
"Aku tidak tahu apa yang membuatnya berubah akhir-akhir ini. Aku sering melihat matanya lebih bersinar meski sedang sendirian. Aku tidak yakin, tapi mungkin dia menemukan seseorang yang dia sukai. Dan itu bukan aku." Ahh, bahkan Mbak Zahra bisa memahami Gibran meski dalam jarak pandang yang jauh. Apa dia benar-benar sangat mencintai Gibran?
"Aku tidak tahu, apa Gibran akan menerima perjodohan ini nantinya. Sedangkan Abah dan Umi, sudah sangat mempersiapkan semuanya." Siapa Abah dan Umi yang dia maksud. Orangtuanya atau orangtua Gibran?
"Apa Mbak Zahra pernah bertanya sesuatu pada Gus Gibran?" Mbak Zahra menatap mataku.
"Memangnya sejak kapan dia mau bicara dengan perempuan?" Aku mengerutkan dahiku. Masa sih? Ke aku ngomong kok.
"Dia tidak pernah mau menatap, mendekat bahkan berbicara. Dia persis seperti Alm. Gus Habib. Sebenarnya Alm. Gus Habib yang sangat mirip dengan Gus Gibran. Tapi, mereka berdua berbeda. Gus Habib tidak sedingin Gus Gibran, dia bisa menyapa meski hanya dengan senyum saja." Wahh, kenapa aku tidak menyadarinya? Bahwa didalam kelas pun, dulu Habib tidak mau berbicara dengan siapapun jika tidak penting. Dia hanya membuntuti aku kemanapun aku pergi. Dia juga tidak pernah menatap siapapun, dia selalu mengalihkan pandangannya. Apa yang terjadi pada mereka berdua? Aku baru sadar kalau mereka memang mirip. Tapi, Gibran lebih tengil. Kalau Habib dia agak pemalu mengungkapkan sesuatu.
"Aku juga takut. Kalau Gus Gibran tidak mau menerima perjodohan ini. Aku selalu berusaha menyapa, tapi dia tidak pernah sekalipun melihat ke arahku." Aku jadi iba, bagaimana bisa Gibran sejahat ini. Apa dia tidak memikirkan perasaan Mbak Zahra yang bertahun-tahun menunggunya tanpa kepastian?

Kisah Bersama Gibran (On-Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang