25. Kita Berbeda

363 32 4
                                    

"Kamu beliin Kak Natya kado apa?"

"Cuma piyama couple aja, sih. Kemarin aku lihat di olshop lucu soalnya. Semoga aku nggak salah pilih size-nya," jelas Andrea pada Andre yang tengah fokus mengendarai mobil putih Andrea.

Sesuai janji Andrea sejak jauh hari. Ia kini tengah mengantar Andre menuju bandara, tepatnya Bandara Juanda.

Setelah kejadian Andre memutuskan sambungan telepon sepihak kemarin, Andrea tidak ada ambisi lagi untuk menceritakan perihal beasiswanya pada Andre. Ia tak memiliki ambisi lagi untuk mendengar dukungan dan semangat dari kekasihnya itu.

Andrea lelah. Ia ingin menyerah pada semuanya.

Membiarkan arus takdir menerpanya begitu saja. Tidak peduli lagi meskipun arus itu membawa dirinya pada jurang kematian.

"Terima kasih, Sayang. Kamu udah repo-repot beliin buat Kakakku."

"Kembali kasih, mau gimana juga dulu waktu kuliah Kak Natya baik sama aku. Sampaikan ucapan selamat dari aku buat mereka ya."

"Siap, Ibu Negara hehehe."

"Kamu berapa hari di sana?"

"Empat atau lima hari mungkin. Pokonya pas seminggu sama aku balik ke Surabaya lagi."

"Oh gitu. Manfaatin waktu sama keluarga selagi bisa pulang. Jangan malah kelayapan sendirian."

"Oh tidak, rencanaku terbongkar dari awal hehehe."

"Dasar."

Andre tertawa lepas sembari tetap memperhatikan kemudinya. Sesekali ia melihat ke arah Andrea, kekasihnya.

Andre melihat Andrea sedikit berbeda dari biasanya. Ada rona rumpang yang entah mengapa seperti sengaja ia sembunyikan.

Andre begitu penasaran. Namun, sepertinya saat ini bukan saat yang tepat untuk menanyakannya. Ia yakin cepat atau lambat Andrea akan menceritakan hal tersebut padanya. Ia mengenal Andrea. Andrea begitu jujur kepadanya.

"Besok, aku bakal ngomongin soal hubungan kita ke keluargaku. Aku berharap kali ini mereka mau mengerti dan mendukung kita."

Andrea mematung mendengar perkataan Andre. Bagaimana bisa dalam keadaan kritis seperti ini dia masih sempat memberi kotak harapan kosong kepadanya?

Perasaan Andre tercabik-cabik mendengarnya. Gejolak cinta yang kemarin redup itu seolah-olah kembali memberi sinyal untuk membara.

Namun, Andrea sudah benar-benar lelah.

Perihal sekat di antaranya dan Andre benar-benar menyakitkan. Benar-benar memuakan, dan Andrea benar-benar sudah tidak tahan dengan semuanya.

Andrea tak menginginkan sebuah pernikahan bersama Arbi, laki-laki yang tidak pernah ia cintai.

Andrea tidak lagi menginginkan mimpinya untuk menimba ilmu ke Negeri Sakura, jika pada akhirnya ambisinya tidak ternilai di hadapan doktrin sosial tentang perempuan harus segera menikah di umur dua puluh lima.

Andrea juga tak menginginkan rasa sakit terus-menerus karena mempertahankan cinta menentang restu semesta.

Andrea hanya ingin bernapas. Membuang sesak yang telah lama bersemayam dalam dadanya.

Namun, Apakah ia siap mendorong Andre jauh dari hidupnya?

"Sayang, kok, diem. Kasih semangat, dong. Kan kita mau berjuang bareng-bareng," ujar Andre kembali.

Andrea masih setia membisu. Mobil Andrea telah diparkir rapi oleh Andre pada parkiran Bandara tersebut.

Andre melihat air muka Sang Kekasih. Tatapannya tiba-tiba kosong. Rona kesedihan entah kenapa jelas melekat di wajah cantiknya. Benar-benar gagal disembunyikan oleh Andrea.

SEKAT [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang