39. ANGGARA

958 56 3
                                    

Semua perhatian beralih saat pintu ruangan terbuka, seorang pria paruh baya dengan stetoskop menggantung di lehernya berjalan keluar. Semua mendekat, ingin mengetahui bagaimana hasil pemeriksaan Galang.

Ganis langsung beranjak dan menghampiri dokter itu. "Bagaimana, dokter?" tanyanya tidak sabaran.

Dokter menurunkan maskernya, dan saat itu juga ia menunduk. Ganis pernah melihat ekspresi seperti itu, ia ingat Dokter yang dulu menangani orang tuanya juga memasang ekspresi seperti itu, ia tidak ingin melihatnya lagi, ia ingin berfikir positif. Namun sekarang malah dua fikiran itu berperang dalam kepalanya.

Ganis menoleh saat merasakan seseorang menyentuh pundaknya, Cecil tampak mengangguk, mencoba menguatkan, padahal dirinya tidak jauh beda dengan Ganis, khawatir berlebihan.

"Kami sudah berusaha sebaik mungkin, tusukan pada perut pasien mengenai organ vital dan menyebabkan pendarahan besar." Dokter menghela napas. "Pasien tidak tertolong."

"Saudara Galang Mahesa meninggal pukul 17.45."

Lagi dan lagi, rasanya kaki Ganis melemas mendengar perkataan dokter yang lalu meninggalkan ruangan itu. Dunianya runtuh seketika. Ganis mundur dua langkah dengan lunglai, untung saja Cecil sigap menangkap cewek itu.

Ganis menoleh pada Cecil dengan tatapan kosong dan mata merah berkaca-kaca, Ganis menggeleng pelan, berusaha menepis semuanya, pasti yang ia dengar adalah kesalahan.

Namun yang ia lihat, Cecil malah mengangguk, lalu menunduk. Bulir demi bulir tidak lagi dapat Ganis tahan, Cecil langsung merengkuh cewek itu dan membiarkan bajunya basah karena air mata Ganis.

Gara yang juga mendengar jelas langsung mundur hingga punggungnya menubruk tembok, Bobby menunduk menumpukan dahinya pada pundak Benua, sementara Bagas mengusap wajahnya kasar. Ia yang paling merasa bersalah atas kejadian ini.

Lingga menatap Ganis yang kini meronta di pelukan Cecil, cewek itu menangis sejadi-jadinya sambil berkata bahwa semua ini pasti mimpi. Ganis sangat terpukul mendengar kalau adiknya, keluarga satu-satunya yang Ganis punya, kini juga meninggalkan Ganis seperti kedua orang tuanya.

Gara melihat Lingga mengepalkan kedua tangannya, cowok itu mendesis lalu menepuk pundak Lingga, membuat Lingga menoleh. Tanpa mengatakan apapun, Gara hanya memberi tatapan menuntut pada sahabatnya itu, tapi Lingga sudah mengerti.

Lingga menghampiri Ganis yang masih berada di rengkuhan Cecil, membuat Cecil melepaskan pelukannya. Lingga menyentuh pundak Ganis namun langsung dihempas oleh cewek itu.

"PEMBUNUH!" teriak Ganis tepat di depan Lingga. "Kalian semua udah bunuh Galang, kalian udah bunuh adik gue! Kalian pembunuh! Lo pembunuh, Lingga! Gue benci sama lo!"

Cecil ikut menangis melihat sahabatnya seperti ini, ia tidak tahu harus melakukan apa. Benua mendekati Cecil dan menepuk pundak cewek itu.

"Ben, Galang--" Kalimat Cecil tertahan, ia menubruk tubuh Benua dan menangis di sana. Benua yang terkejut hanya diam, tangannya bergerak ragu mengusap punggung Cecil yang gemetar.

Bisma, Langit, dan Brandon mematung menatap pintu putih di ujung lorong itu, di dalam sana, ada raga sahabat mereka yang kini terbaring. Dingin tanpa nyawa. Kilas balik kejadian yang telah mereka lewati seolah terputar jelas di ingatan masing-masing.

Galang rekan futsal terbaik yang Langit miliki, teman sebangku yang suka berbagi jawaban dengan Brandon, juga orang yang bisa diajak tukar pikiran oleh Bisma. Sosok Galang adalah pemimpin ideal menurut teman-temannya.

Tapi kini, mereka melihat langsung, sosok pemimpin yang mereka dambakan terbaring di atas brankar yang baru didorong oleh dua orang suster keluar dari ruang ICU, dalam keadaan tidak bernyawa.

ANGGARA [SELESAI]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang