Gibran dan Rindu

47 11 0
                                    

Rintik gerimis menjadi alunan melodi yang indah malam ini. Ada sesuatu yang senyap menyelinap pada dinginnya air yang turun. Sebuah rindu yang kuat dan tidak dapat dikendalikan. Pada suasana seperti ini, kenangan indah selalu hadir membayangi lamunanku.

Do'a-do'a adalah kekuatan untuk aku bertahan dalam perasaan. Lain dengan pengharapan dengan kenyataan, aku tidak mau terlalu membebani pikiranku pada sesuatu yang belum pasti. Seringkali, pengharapan seperti itulah yang akan membuatku terluka. Sebelum itu terjadi, aku harus mengatasinya sendiri.

Malam semakin menunjukkan kesunyiannya. Angka pada jam dinding menunjuk jarum pendek di angka 11, dan jarum panjang di angka 4. Aku masih menikmati gerimis yang turun di depan kamar. Yang lainnya memilih tidur karena cuacanya dingin. Aku malah lebih memilih menatap remangnya lampu di lorong kamar.

Sesuatu terlihat rumit ketika aku hanya memikirkannya tanpa melakukan apapun. Tapi, aku ingin mengatakannya kepada Gibran lebih dulu. Aku ingin bertanya banyak hal padanya. Aku benar-benar ingin memastikan bagaimana perasaannya terhadap Mbak Zahra. Bukankah ini tidak sepele? Perjodohan mereka ada sedari kecil, lalu dengan mudahnya Gibran beralih kepadaku hanya dalam waktu singkat. Kadang, aku jadi sulit percaya bahwa apa yang dia rasakan benar-benar perasaan suka.

Jujur, aku juga takut kecewa. Aku manusia biasa yang punya hati. Aku takut nantinya Gibran tidak bisa melanjutkan hubungan denganku, dan dia memilih Mbak Zahra yang lebih pasti disetujui kedua orangtuanya. Tapi, aku juga kasihan dengan Mbak Zahra jika penantiannya selama ini kandas hanya karena Gibran memilih aku.

"Mikirin apa toh?"

"Allah.." aku refleks memegang dadaku, kaget karena tiba-tiba ada suara.

"Ngelamun yah?" Tanyanya. Aku hanya nyengir.

"Kenapa kok belum tidur?" Hmm, sedang mikirin kamu Mbak.

"Capek yah? Nggak betah?" Aku menggeleng dan berbagi sajadah dengannya.

"Nggak kok, Mbak. Cuman lagi pengen lihat gerimis." Mbak Zahra tertawa.

"Gerimis kok dilihat. Apanya toh?"

"Hehe, nggak apa-apa."

"Kamu nggak betah atau gimana. Cerita aja." Katanya. Aku mau cerita apa? Masa iya aku ceritain Gibran sama calon yang mau dijodohin sama Gibrannya.

"Nggak, Mbak. Lagi pengen diluar. Soalnya belum ngantuk sih."

"Mau bikin mie gelas nggak? Aku punya air panas." Tawarnya.

"Emangnya Mbak Zahra nggak akan tidur?"

"Aku juga belum bisa tidur. Makan aja yuk!" Dia menyeretku untuk mengikutinya.

"Eehh, Mbak. Aku ambil cemilan dulu di kamar yah. Mau bikin susu madu nggak?"

"Kamu ada?" Aku mengangguk. Ada, masih banyak stock. Karena Mama bawain jajan udah kayak mau buka warung. Heu.

"Yaudah, nanti ke ujung kamar aja yah. Aku tungguin disana."

"Oke!"

Aku membuka pintu kamar perlahan, supaya tidak membangunkan yang lainnya. Mindik-mindik alias diem-diem berjalan pelan menuju lemariku. Karena madunya ada disana.

Aku membuka lemari dan melepas kertasnya. Nggak mungkin aku bawa, yang ada nanti Mbak Zahra memberondong aku dengan banyak pertanyaan. Setelah itu, aku berpaling ke kardus dan mencari camilan yang pas serta susu putih.

Kenapa kok makin lama aku malah makin akrab sama Mbak Zahra? Jika suatu saat nanti dia tahu, apa dia masih mau tetap berteman denganku? Ah, rasanya aku jadi lemas lagi. Kenapa Mbak Zahra harus bersikap baik. Aku jadi merasa bersalah.
Udah lah, gimana nanti aja!

Kisah Bersama Gibran (On-Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang