Sharley merasakan dirinya berbaring di tempat empuk. Dia mencium aroma vanilla yang harum tapi tak memuakkan. Matanya mengerjap-ngerjap kemudian meringis. Hal pertama yang dilihatnya ialah langit ruangan yang bercat putih dan emas. Dia mengernyitkan kening, mengedarkan pandang.
Tempatnya dibaringkan ternyata adalah kamar yang luasnya dua kali lipat dibanding kamarnya di paviliun. Kamar ini berkesan elegan dan kuat. Tiga pedang dipajang di dinding, kepala yang diawetkan, patung-patung mungil hewan, karpet beledu, sofa mewah, dan balkon yang menghadap lembah indah. Sharley bangkit duduk, menyingkirkan selimut dari badannya.
Tasnya diletakkan di sofa dan bajunya telah diganti. Dia pun terkejut, bertanya-tanya siapa yang telah mengganti pakaiannya. Dia mengecek bagian tubuh dan tak menemukan keanehan. Bekas mimisannya sudah menghilang. Sharley menggaruk rambut, tak ada siapapun di sini. Dan dia lebih kaget karena muncul di kamar tak dikenal.
Sharley teringat sesuatu. Dia kalang kabut, langsung turun dari kasur. "Asher dan Cleon mana?! Kenapa aku di kamar ini dan di mana mereka berdua? Aku pingsan saat di portal waktu dan ... kurasa ada seseorang yang membawaku pergi."
Sharley merasa ada seseorang yang menyentuhnya, tapi ingatannya hanya sebatas itu. Sejak di portal, firasatnya sudah tidak enak. Ah, tidak. Lebih tepatnya ketika lingkaran sihir waktu bercahaya. Sharley melangkah ke balkon dengan kaki telanjang.
Kota yang terhampar di hadapannya tampak kuno dengan dinding bebatuan dan atap jerami. Kereta kuda jarang sekali lewat, lebih banyak pedati kerbau. Bangunan di kota pun tak sebanyak di periodenya. Rumah-rumah memiliki jarak minimal sepuluh meter. Bangunan tertinggi ialah menara jam yang bahkan tingginya tak mencapai setengah dari tinggi puncak menara Pasukan Malam di periodenya.
"Istana?" Menoleh ke kanan-kiri, tempat Sharley berada adalah sebuah istana berpucuk kerucut. Istana ini tak sebesar istana induk Noctis dan berdesain kuno. Dan paviliun-paviliun berada di sekitarnya. Penerangan tidak menggunakan lampu, melainkan lilin dan suluh elf. Taman luas nan hijau terhampar di bawahnya. Lapangan latihan digunakan para prajurit. Matahari sudah condong ke arah barat, Sharley memperkirakan ini jam tiga.
Dia tersenyum kaku. "Mampus, aku dibawa ke istana? Aku berhasil ke masa lalu tapi malah dibawa ke istana? Ini bisa menimbulkan perhatian lebih. Tapi ... ini di mana?" Sharley berlari keluar kamar, tak ada siapapun di lorong. Dengan perasaan asing, dia berjalan pelan-pelan dan berkomat-kamit.
Tempat di masa lalu tak lantas membuatnya penasaran. Perasaan asing semata-mata menjadikannya tak nyaman. Istana ini tak semewah istana induk dan lebih gelap. Sharley pikir cat biru dongker di istananya saja sudah gelap, tapi di sini malah lebih suram lagi.
"Permisi, ada orang di sini? Permisiiii!" Sharley berteriak, tapi tak ada respon. Dia makin kebingungan. "Asher, Cleon? Kalian di mana? Jangan main-main deh!"
Lagi.
Tak ada jawaban. Sharley meneguk ludah. Mendadak ia merinding, tapi bukan karena takut. Sharley terus melangkah dan memanjatkan doa pada Tuhan supaya tak ada sesuatu yang buruk terjadi. Setiap ruangan yang dibukanya sama-sama kosong. Kamarnya tadi adalah satu-satunya kamar di lorong ini.
Dia menuruni tangga, barulah bertemu dengan pelayan yang sedang bersih-bersih. Namun sebelum bertanya, pelayan itu melesat pergi. Tak sadar ada Sharley di tangga.
"Mamaa, aku di mana??" rengeknya. Dia terus berjalan hingga bertemu dengan dua orang yang berdiri di depan ruang. Mereka penjaga. Tanpa ragu, Sharley ke sana. Para penjaga terkejut, belum pernah melihat anak gadis berpenampilan sebiasa Sharley di istana.
"Permisi, maaf sudah mengganggu waktunya," kata Sharley sopan. Dua penjaga seolah sedang melihat kelinci.
"Eh, Anda siapa ya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
The Eternal Country (3) : Curse from the Past (√)
FantasiAkhir-akhir ini Sharley sering mengalami pusing, mimisan, dan mimpi buruk. Sharley tak tahu mengapa, padahal dia menjaga kesehatan tubuhnya dengan baik. Hal ini membuat Asher dan Cleon cemas. Asher berkata kalau ini bukanlah penyakit biasa, tapi dia...