4. Nando dan Ceritanya

191 68 211
                                    

       Raut sedih di wajah Nando ketika membahas Jenorio di rumah Nando kala itu terngiang-ngiang di kepala Karina selama berminggu-minggu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


       Raut sedih di wajah Nando ketika membahas Jenorio di rumah Nando kala itu terngiang-ngiang di kepala Karina selama berminggu-minggu. Karina belum berani untuk membahasnya lagi. Gadis itu menoleh ke arah Nando yang kembali mengantarnya ke pemakaman nenek Karina.

       “Kamu mau ikut, gak?” ajak Karina, berharap Nando mengiyakan ajakannya.

       Nando menggelengkan kepala. “Aku nunggu di sini aja, kaya biasa. Lagian biasanya kamu mau sendirian aja.”

       “Kali aja kamu mau sekalian ke makam Jeno,” sahut Karina.

       Nando terdiam sebentar, kemudian tersenyum kecil. “Aku di sini aja, ya? Gak papa, kan?”

       Dengan terpaksa, Karina menganggukkan kepalanya. Dia merengkuh dua buah buket bunga Forget-Me-Not berwarna biru ke dalam pelukannya. Nando baru sadar kalau ada dua buket yang Karina beli.

       “Kamu beli dua, ya?” tanya Nando.

       “Iya, satunya buat Jeno,” jawab Karina.

       Nando kembali terdiam membisu. Dia hanya menatap Karina dengan mata sedihnya. Karina bingung harus melakukan apa. Dia sebenarnya merasa ragu untuk menjawab pertanyaan Nando. Dia takut membuat Nando sedih.

       “Nan, kamu gak papa, kan?” tanya Karina memastikan. “Aku cuma gak tega ngeliat makam Jeno keliatan sepi. Dia kan temen kamu juga. Kalo kamu mau ngasih sendiri juga boleh, kok.”

       Nando terlihat mempertimbangkan perkataan Karina. Gadis itu menggenggam tangan Nando. Setelah beberapa saat, Nando akhirnya mengangguk kecil. Karina tersenyum, lalu mengajak Nando keluar dari mobil.

       Karina berjalan lebih dahulu, sedangkan Nando mengikuti dari belakang. Sedari tadi, Nando hanya diam tak bersuara. Pemuda itu mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Nando tahu bahwa pemakaman memang sepi, namun hari itu terasa lebih sepi. Nando sampai terlambat menyadari bahwa mereka tiba di depan makam nenek Karina dan Jenorio.

       Karina menyerahkan satu buket bunga yang dia bawa kepada Nando. Pemuda itu menatap Karina sebentar, kemudian dengan ragu menerima buket bunga tersebut. Karina tersenyum untuk menenangkan Nando. Dia tahu, banyak hal yang Nando pikirkan.

        Gadis itu berjongkok di samping makam neneknya, lalu menaruh bunga di atas makam tersebut. Makam nenek Karina selalu terlihat cantik berkat gadis itu. Karina kemudian menoleh ke arah Nando yang masih berdiri di belakangnya.

       “Nando?” panggil Karina.

       Dengan gerakan perlahan, Nando ikut berjongkok di samping makam sahabatnya, Jenorio. Nando menatap lekat batu nisan yang bertulisan nama Jenorio Dhanadyaksa. Kedua matanya berkaca-kaca, sementara tatapannya berlabuh pada kalung milik Jenorio dulu yang sengaja diletakkan di batu nisannya. Karina tahu, Nando sedang menahan air mata. Karina seolah bisa merasakan kehilangan yang dialami Nando.

       “He was such a great friend, Rin,” ucap Nando dengan suara bergetar. Hujan turun melalui mata Nando. Padahal, Nando sudah bersusah payah untuk menahan air mata itu agar tidak merembes keluar.

       “Dia temen yang bakal selalu ada saat kamu butuh,” ucap Nando lagi. “Tapi aku bodoh banget, ngira bakal selalu bisa liat dia. Aku gak tau kalo hari itu adalah terakhir kalinya aku ngeliat dia.”

       Hati Karina terasa seakan teriris mendengar ucapan Nando. Dia tidak dapat membayangkan kehilangan seorang sahabat yang dulu begitu dekat dengan dirinya, kemudian pergi begitu saja tanpa mengetahui bahwa kala itu adalah saat terakhir dia bisa melihat sahabatnya. Selama ini, Nando mungkin terlihat baik-baik saja. Akan tetapi, tak ada yang tahu bagaimana perasaan Nando sebenarnya.

       “Aku bahkan gak tau apa penyebab kematiannya, karena keluarganya nutupin semua itu,” sambung Nando. “Jeno gak pernah bilang kalo dia menderita penyakit tertentu. Tapi, entah kenapa Jeno jadi lebih tertutup setelah kakaknya kuliah ke Australia. Apalagi semenjak kuliah, dia jarang banget bisa ditemuin. Jeno menutup diri dari orang lain. Gak pernah ada yang tau.”

       Nando menatap Karina dengan mata berair. “Kamu mau tau apa bagian buruknya, Rin?” tanya Nando.

       “Apa?”

       “Aku gak pernah nyoba nanya apa dia baik-baik aja,” jawab Nando dengan suara tercekat.

       Karina meraih tangan Nando, lalu menggenggamnya dengan erat. “Nando, itu bukan salah kamu.”

       “Tapi harusnya aku tanyain, Rin,” kata Nando dengan frustrasi. “Siapa tau dia perlu bantuan aku, kan? Sekarang aku cuma bisa nyesal.”

       “Mungkin Jeno punya alasan kenapa dia jadi lebih tertutup,” sahut Karina. “Mungkin dia gak mau temen-temennya tau, supaya kalian gak sedih. Apa pun yang terjadi sebenarnya, aku yakin Jeno nganggap kamu sebagai sahabatnya yang baik.”

       Nando tertegun. Sementara itu, Karina mengelus tangan Nando dengan lembut. Ditatapnya manik mata Nando dengan penuh perasaan sayang. Setetes air mata kembali jatuh ke pipi pemuda itu.

       “Coba liat, makam Jeno udah cantik,” kata Karina sambil memandangi makam miliki Jenorio. Gadis itu tersenyum manis. “Aku bisa ngasih bunga ke Jeno setiap kali ke sini, kalo kamu gak keberatan.”

       “Makasih, Rin,” bisik Nando.

       Karina menganggukkan kepalanya. Di sini, di tempat Jenorio beristirahat untuk selama-lamanya, Karina membuat janji di dalam kepada pemuda yang tidak dia kenal itu. Orang bilang, laki-laki hanya akan mendapatkan bunga setelah mereka meninggal. Setidaknya, Karina bisa menjadi seseorang yang memberikan bunga kepada Jenorio.

       Mungkin saja, Jeno akan tersenyum di atas sana.




•••





have you ever had a friend so precious, that it hurts so bad when they leave?

Forget-Me-NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang