Nerd | 16

54.4K 6.2K 167
                                    

“Jadi, udah mau jadi pacar gue?”

“Heh?!” Mendadak otak Leta menjadi tidak bisa bekerja dengan baik. Dia mengerjapkan matanya berulang kali, menatap Devin meminta penjelasan.

Devin terkekeh melihat reaksi Leta. “Bercanda, serius banget sih. Lagian, gue mana sudi jadiin lo pacar gue.” Leta menatap datar Devin.

“Kenapa nyuruh aku ke sini?”

Devin mengembangkan senyum. “Lo, bisa main piano?” Leta diam, dia tidak tahu harus menjawab apa.

Dia memang tidak bisa bermain piano, tetapi dia sedikit paham tentang alat musik yang bernama piano. Jika dia menjawab tidak bisa bermain piano, lelaki itu tentu akan mengejek dirinya, kan?

“Emm, cuma tau kunci dasarnya doang. Kenapa?” Devin masih setia sedikit mendongak melihat Leta yang berdiri di hadapannya.

“Mau gue ajarin?” tanya Devin. Entah mengapa, Leta merasa jika lelaki yang bernama Devin itu sedikit aneh hari ini. Lelaki itu terlalu lembut jika dibandingkan dengan sikapnya yang kemarin-kemarin.

“Sini, duduk.” Tanpa persetujuan Leta, Devin berdiri dan menggiring dirinya untuk duduk menggantikan posisi lelaki itu sebelumnya.

“Duduk yang bener, lemesin jari-jari lo. Jangan kaku kayak kanebo kering dong!” ujar Devin. Leta hanya menurut saja.

Devin yang gregetan dengan jari Leta yang nampak sangat kaku, dia tidak tahan melihat itu. Akhirnya, dia berdiri di belakang gadis itu, kemudian sedikit membungkukkan badannya. Lalu tangannya bergerak menuntun jari Leta menari di atas tuts piano.

“Kayak gini,” ujar Devin masih setia menuntun jari Leta di atas piano.

Posisi mereka sekarang terlihat seperti Devin sedang memeluk Leta dari belakang. Mendadak, Leta menjadi sedikit gugup sendiri. Dia juga tahu jika Devin sedang merasakan hal yang sama dengan dirinya, dia bisa merasakan detak jantung Devin yang berpacu lebih cepat dari biasanya.

Wajah Devin sangat dekat dengan wajahnya, mungkin hanya berjarak satu cm saja dari wajahnya. Saat dia melirik ke samping kanan, dia melihat wajah Devin yang terlihat sangat serius mengarahkan jari-jarinya di atas tuts piano. Leta meneguk ludahnya, detik berikutnya dia langsung berdiri membuat lelaki itu terkejut.

“Lho, kenapa berdiri? Tadi udah mulai bisa padahal.” Leta mengerjapkan matanya berulang kali mancari alasan.

“B-bentar lagi bel masuk berbunyi. Kita harus cepet-cepet kembali ke kelas,” sahut Leta gugup. Sial, kenapa dirinya menjadi gugup seperti ini. Apa ini efek dia berada di dekat lelaki itu? Tidak mungkin!

Devin menarik sudut bibirnya. Tanpa menunggu respon lelaki itu, Leta langsung mengarahkan langkah kakinya menuju pintu. Dia mencoba membuka pintu, namun tidak bisa. Leta terus mencoba untuk membuka pintu itu namun hasilnya tetap sama, tidak bisa terbuka. 

Devin berjalan mendekat ke arah Leta. “Lo nggak tau, kalo pintu ruang musik itu rusak? Pintu ini hanya bisa dibuka dari luar aja.” Leta menganga. Apa-apaan situasi ini?

“Terus, kita keluarnya gimana?”

“Ya nunggu ada orang lain masuk ke sini lah.”

“Sampai?”

“Besok, mungkin?” Devin menaikkan sebelah alisnya. Lagi, Leta menganga lebar. Devin tertawa kecil melihar reaksi Leta. Lucu, pikirnya.

“Lo tau nggak, alasan sebenarnya gue nyuruh lo ke sini?” Leta menggeleng.

“Karena gue terjebak di sini, gue niatnya minta tolong sama lo buat ngeluarin gue dari sini. Eh, pas lo masuk, pintunya malah lo tutup lagi. Harapan gue langsung pupus, jadi, gue lebih milih main piano aja deh.” Leta meringis mendengar itu.

NERDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang