Senioritas

31 10 0
                                    

"Ra!" Aku menoleh dan menutup buku yang sedang aku baca.

Aku menatapnya, dan dia balas menatapku dengan tatapan malas. Semenjak kejadian payung, Rahma tidak pernah menyapaku meskipun kita satu kamar. Dia selalu menghindariku sebisa mungkin, dan juga mengabaikan semua sapaanku.

"Kamu masih aja bisa temenan sama Ning Zahra?" tanyanya tiba-tiba.

"Maksud kamu?" Rahma membuang muka.

"Ck. Masih bisa pura-pura gini" aku bingung.

"Satu pondok nggak suka sama kamu, dan kamu nggak sadar? Malah ngakrabin Ning Zahra lagi. Kamu tuh nggak tahu diri banget sumpah e!"

Aku berdiri dan menaruh buku di tempat yang aku duduki barusan.

"Sebelumnya, aku minta maaf kalau aku punya salah sama kamu. Tapi, bisa kan kamu nanya baik-baik tentang masalah ini? Bukannya nyimpulin gitu aja dari apa yang kamu lihat"

"Loh, bukane sudah jelas kalau kamu merebut Gus Gibran dari Ning Zahra?" Aku menghela napas.

"Terserah kamu, Rahma"

Aku mengambil buku dan berniat masuk kelas. Tangan Rahma mendorong bahuku kasar.

"Muka dua!" sambil berlalu dari hadapanku.

Aku mengepalkan tangan dan mencoba menahan diri. Bukan aku tidak menyadari seluruh santri menjaga jarak dariku, bukannya aku tidak sadar kalau seluruh jajaran pengurus selalu menatapku dengan sinis. Aku hanya ingin tidak memperdulikannya agar tidak mengganggu tujuanku kesini.

Aku berjalan melewati para santri yang menatap, mereka menghindariku saat aku melewati mereka. Aku menunduk, dan melangkah dengan cepat. Sebuah tangan menarikku masuk ke kelas.

"Eits, mau kemana?" tanyanya. Aku terkejut. Aku tidak mengenal siapa yang menarik lenganku barusan.

"Jadi, kamu yang namanya Ayra?" Aku menatap mereka, ada sekitar lima orang santri. Aku tidak tahu mereka senior atau bukan.

"Mentang-mentang adiknya Kang Miqdad nih. Seenaknya banget pas masuk sini" kata seseorang yang bersandar di pintu.

"Kalian punya masalah apa?" tanyaku pelan.

"Hah? Dia tanya kita punya masalah apa?" dia bertanya dengan iringan tawa mengejek.

"Lah kamu, siapa disini berani misahin Gus Gibran sama Ning Zahra?" Cih, lagi-lagi penggemar berat mereka.

"Maaf, Mbak. Lebih baik bertanya kejelasan daripada menyimpulkan sendiri perkara kemarin. Saya tidak ada maksud untuk--"

PLAAKK!!

Pipiku ditampar. Aku ditampar oleh orang tidak dikenal. Aku barusan ditampar tanpa aku tahu apa kesalahanku dengan mereka. Aku terhenyak sesaat.

"Maksudnya apa nampar saya?" tanyaku. Aku menahan diri untuk tidak marah dan emosi.

"Loh, ini nggak sebanding sama luka yang didapatkan Ning Zahra!" Mereka kembali menertawakanku.

Aku membanting buku, dan mendorong keras sampai dia menabrak pintu.

Brakk!!

"Apa maksud Lo nampar gue?!" Aku melihat ekspresinya terkejut dan berubah menjadi sedikit kecut. Cih!

"Gue nggak tahu Lo punya masalah apaan sama gue. Disini gue diem aja tapi diusik terus. Mau Lo apa hah?!" Aku mendorongnya dan mencengkram bahunya dengan keras.

"Gila e kamu!!" Lebih gila Lo lah!

Aku ditarik oleh teman-temannya. Tapi, cengkramanku lebih kuat. Aku sudah sangat muak menghadapi manusia seperti mereka yang hanya bisa menyalahkan satu pihak tanpa mau menelaah lebih jauh pokok permasalahannya.

Kisah Bersama Gibran (On-Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang