Itu Lo!

138 38 2
                                    

Ternyata selama ini ada yang mendengarku!

Bernyanyi di ruang musik pada jam isirahat kedua menjadi salah satu kegiatan rutinku di sekolah. Hal ini menjadi salah satu alasan aku selalu menantikan waktu ke sekolah. Aku bisa bernyanyi tanpa harus memikirkan apapun.

Namun, untuk beberapa waktu aku merasakan sedikit keanehan. Mami dan Papi menekankan bahwa semua hal bisa dijelaskan oleh logika. Karenanya aku tidak terlalu percaya dengan hal mistis.

Tiga minggu yang lalu, aku baru saja menutup pintu ruang musik. Setelah memastikan tidak ada seorang pun di ruangan, tanpa ragu aku berdiri di depan mic. Kuletakkan ponsel di atas kursi terdekat. Baru saja aku membuka mulut, tiba-tiba kudengar suara benda besar jatuh.
Tentu saja aku tak jadi menyanyi. Kembali kulihat sekeliling. Ruang musik ini memang luas, tapi aku yakin tidak ada tempat yang bisa dijadikan persembunyian.

Yakin tidak ada apapun, aku bernyanyi. Sebuah lagu lama tahun 2000-an. I Have a Dream, lagu yang sempat dipopularkan oleh vocal group asal Irlandia, Westlife.

Selesai menyanyikan lagu itu, aku keluar. Tepat sebelum aku menutup pintu, suara benda jatuh kembali terdengar. Tanpa peduli kutinggalan ruang musik dengan segera.

Dua minggu lalu, saat aku masuk ke ruang musik, lampunya menyala terang. Padahal biasanya lampu ruang musik ini selalu padam. Apalagi memang tidak ada jam pelajaran kesenian sebelumnya. Yup, aku memang selalu memastikan tidak ada yang menggunakan ruang musik ini sebelum jam istirahat kedua dan sesudahnya. Aku tidak boleh meninggalkan jejak.

Namun, aku tidak ambil pusing. Aku kembali melangkah menuju mic yang ada di dekat piano. Aku berencana untuk menyanyikan salah satu lagu penyanyi favoritku, Mocca. Lagu yang pernah menjadi Original Soundtrack sebuah film, Hanya Satu.

Seperti biasa, aku merasakan kelegaan setelah bernyanyi. Aku pun bergegas keluar. Beberapa langkah dari ruang musik, aku teringat satu hal. Lampu di ruang musik belum kumatikan karena tadi aku buru-buru. Namun, begitu aku membuka pintu, lampu di ruang musik sudah padam.

🎼🎼🎼

“Cuma satu orang yang suaranya pas banget buat band kita, Rhi. Dia itu si penyanyi misterius jam istirahat kedua.”

Kalimat yang dilontarkan Randhi membuatku tidak bisa melanjutkan langkah kakiku. Setahuku hanya aku satu-satunya  yang selalu datang ke ruang musik ini di jam istirahat kedua. Tidak ada yang lain.

Apakah Randhi sedang membicarakan diriku?

“Lo ngayal palingan.” Rhiana tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Randhi.

“Ck. Lo nggak boleh gitu sama kakak lo ini. Walaupun gue keliatan kayak anak alay, gue nggak pernah bohong.”

Aku menahan napas. Dua saudara itu tampaknya tidak menyadari keberadaannku yang belum beranjak dari ruang musik ini. 

“Lagian, mana ada orang di jam istirahat kedua.” Kembali Rhiana melontarkan sanggahan.

“Itu karena lo yang nggak ada di sini. Gue tuh selalu stand by, tahu!”

“Jangan bilang tempat persembunyian lo kalo lagi bolos itu, ruang musik? Mau ngumpet di mana lo?”

“Ada di ….”

Aku hanya bisa menebak-nebak apa yang diucapkan oleh Randhi karena laki-laki itu memelankan suaranya. Aku menekan dada. Jantungku berdetak dengan cepat.

Mungkinkah selama ini?

Aku berusaha mengingat-ingat dan meyakinkan diri bahwa selama ini tidak pernah ada yang mencuri dengar ketika aku menyanyi di ruang musik ini. Semakin aku mengingat, semakin aku menyadari beberapa hal aneh yang terjadi.

Jadi, dia selama ini ada di ruang musik ini? Tapi dimana?

Tidak ada ruang tersembunyi di sini. Aku sudah memastikan hal tersebut. Rhiana saja tadi sudah membantah.

Aku penasaran dengan jawaban dari Randhi, tapi tidak mungkin juga aku tiba-tiba membalikkan badan.

“Lo harusnya ikut kalo gue ajakin bolos.” Suara Randhi terdengar bangga.

“Cih. Terus peringkat gue turun, gitu? Sorry, ya. Gue masih suka posisi gue sebagai peringkat kesatu.”

Tiba-tiba terdengar dentingan nada dari senar gitar yang dipetik. Pelan aku membalikkan badan. Randhi duduk tidak jauh dari Rhiana. Dia memetik sebuah gitar akustik.

Padahal aku tidak melihat gitar itu sama sekali tadi.

Aku mengenali lagu yang sedang dimainkan Randhi. Itu adalah lagu pertamaku di ruang musik ini. Tak butuh waktu lama, Rhiana bangkit dari duduknya. Dia beranjak mendekati keyboard. Di luar dugaan, dia langsung menekan tuts keyboard tanpa ragu. Permainannya terdengar halus. 

Rhiana mengikuti nada yang yang dimainkan Rhandi. Melodi yang dimainkan Randhi dan Rhiana membuatku tidak bisa menahan diri. Tanpa kusadari, aku bergumam. Bibirku bersenandung kecil bersama musik yang dimainkan mereka berdua.

Rhiana dan Randhi menghentikan permainan musik mereka. Keduanya diam menatapku yang juga tak lagi bersenandung.

“Itu lo!” seru Randhi sambil menunjukku.

“Itu lo, kan!” Randhi bangun dan meletakkan gitar di kursi yang didudukinya tadi. “Apa gue bilang? Penyanyi itu nyata bukan cuma khayalan gue,” katanya pada Rhiana yang masih berdiri di dekat keyboard.

Aku menggigit ujung kanan bibir bawahku. Menyesal karena sudah kelepasan bersenandung di depan mereka. Keduanya pasti tidak akan melepaskanku sekarang.

“Fiks, gue mau lo yang yang jadi penyanyi di band gue!” laki-laki itu seperti apa yang diakuinya. Alay. Dia tidak henti memandangiku dan berkata ‘unbelievable’ dengan pronouncation yang salah.

Sementara itu, Rhiana memandangiku tanpa henti. Dia tidak tersenyum. Tidak juga histeris seperti saudaranya. Dia hanya diam. Tanpa ekspresi.

“Gistara Tranggana. Gue minta lo sekarang buat nyanyi!”


🎶12.10.21🎶

Melody in Dream ( SUDAH TERBIT )Onde histórias criam vida. Descubra agora