ᴅᴜᴀᴘᴜʟᴜʜ

1.5K 203 5
                                    

ǝTHirëǝl
• ᴇᴛʜᴇʀᴇᴀʟᴏᴠᴇ •

Mata Adriana berbinar ketika menaiki lift khusus karyawan untuk sampai di lantai sembilan. Kemarin malam, ia hampir saja tidak tidur karena terlalu senang mengingat memori kebersamaannya dengan Airlangga. Tetangga indekosnya sempat menduga bahwa ia dirasuki penunggu Gunung Kidul karena melihatnya tertawa sendiri.

Ketika sampai di hot kitchen, perempuan itu menuju area restroom untuk mengganti pakaiannya dengan seragam serba putih berkancing hitam yang biasa ia gunakan, mengikat rambut gelombang berwarna kecokelatan menjadi cepolan dan memasukkannya ke dalam topi putihnya.

Adriana celingukan, mencari sosok Airlangga yang belum juga terlihat. Tidak biasanya Airlangga telat, biasanya laki-laki itu sudah ada terlebih dahulu di station di bandingkan yang lain.

"Chef Air belum datang?"

"Attention!"

Pertanyaan Adriana jelas saja terjawab segera dengan seruan yang biasa laki-laki ucapkan. Ia muncul dari dalam room freezer dengan wajah serius.

"Arial mana?" tanyanya ketika tidak mendapati Arial pada barisan.

"Saya, Chef." Arial yang baru saja keluar dari restroom menghampiri Airlangga.

"Bagaimana dengan yang kamu sampaikan kemarin? Apa sudah ada konfirmasi dari bagian puchasing perihal telur-telur itu?"

"Sudah, Chef. Mereka bilang akan mengkonfirmasi segera ke pihak supplier untuk mengganti telur-telur yang tidak layak itu." Arial menjawab mantap.

Kemarin, saat mendapati beberapa butir telur mencair ketika dipecahkan, Arial langsung menelepon Airlangga untuk bertanya bagaimana kelanjutannya. Airlangga meminta Arial memastikan tanggal kedatangan belum melewati masa 28 hari yang ternyata belum melewati, itu artinya, pihak kitchen tidak salah dalam penanganan.

"Lalu apa jawaban mereka hari ini?" tanya Airlangga lagi.

"Sampai saat ini belum ada jawaban, Chef." Arial menjawab kikuk.

Seharusnya tadi pagi ia mengecek progres perkembangan komplain yang dilakukan pihak purchasing, tetapi alih-alih komplain, ia justru pusing karena banyak pekerjaan yang menumpuk di pagi hari. Ia belum terbiasa menghadapi masalah tanpa Airlangga.

Airlangga mengepalkan tangan, garis hijau yang membentang di tangannya tercetak samar ketika laki-laki berusia 28 tahun itu menguatkan cengkeraman sebelum menggebrak meja stainless di sampingnya.

"Saya tahu kalau saya adalah penanggung jawab kalian semua. Tapi apa nggak bisa kalian lebih peduli dengan dapur ketika saya tidak ada?!"

Seluruh staf kitchen menunduk seraya menatap takut pada laki-laki berseragam serba putih yang tengah menatap tajam ke arah mereka. Ia melepaskan napasnya ke udara secara kasar, kemudian berbalik hendak melangkah keluar kitchen.

"Chef, tunggu, Chef!"

Adriana mengekori Airlangga yang berjalan dengan cepat ke arah lift khusus pegawai, tangannya melambai pada Arial, memberikan kode agar sous chef berusia 25 tahun itu mengikutinya.

Mulanya Arial bingung, tetapi melihat Adriana yang komat-kamit seolah mengartikan kamu mau Chef Air ngamuk di sana?

Buru-buru ia mengikuti langkah Adriana dan merangsek masuk ke dalam lift sebelum Airlangga menutupnya.

"Kenapa kalian mengikuti saya?" Suara Airlangga terdengar datar.

"Hmm ... Mau ikut saja, Chef." Adriana dan Arial saling tatap kemudian menundukkan kepala hingga lift terbuka dan mereka mengekori Airlangga ke kantor bagian purchasing.

"Ada Fikri?" tanya Airlangga pada salah satu sales admin yang kebetulan ia lewati.

Adriana memicingkan mata kemudian mencebik sebal, kenapa juga Airlangga harus bertanya pada karyawan perempuan? Apa laki-laki itu sengaja ingin menarik perhatian karyawan dengan busana seksi dan make up cantik di sana? Menyebalkan!

"Harus banget bertanya sama karyawan yang cantik, ya, Chef?" Adriana menyuarakan kedongkolan.

Bukan hanya Airlangga, tetapi Arial juga ikut mengerutkan kening ketika mendengar ucapan bernada protes dari Adriana. Sementara admin yang ditanya Airlangga justru bersikap kikuk karena ucapan Adriana.

Airlangga tidak memperdulikan, laki-laki itu berjalan mantap ketika Eka, admin yang sempat ia tanya memberitahu lokasi di mana Fikri berada.

"Ada apa Chef Airlangga sampai datang ke kantor saya?" tanya Fikri, manager purchasing menatap Airlangga bingung, pasalnya laki-laki itu jarang sekali mau menyambangi seniornya, apalagi dengan wajah tanpa ekspresi, membuat laki-laki berusia empat puluh tahun itu sedikit kikuk.

Baru saja Airlangga ingin membuka suara, Fikri teringat akan laporan yang masuk ke mejanya kemarin.

"Ahh ... masalah supply telur yang kemarin dilaporkan, mereka baru saja menerima laporan dan akan segera meninjau ulang."

"Kenapa mereka baru menerima? Bukankah staf dapur sudah mengirimkannya sejak pagi kemarin? Apa laporan tidak dapat ditinjau lebih cepat sehingga mengurangi risiko kekurangan stok?"

"Everything needs a process, Airlangga." Fikri mencoba membela diri, ia menolak merasa terintimidasi oleh tatapan Airlangga.

"Saya tahu, tapi bisakah itu dipercepat? Karena para tamu tidak akan mendengar jika saya hanya mengatakan 'everything needs a process' seperti yang Anda lakukan, bukan?"

Airlangga mungkin menganggap ucapannya biasa, tetapi entah kenapa kantor yang ditempati Fikri selama ini menjadi terasa lebih pengap saat ada laki-laki yang bahkan lebih muda dua belas tahun dengannya itu, terlebih sorot matanya yang tajam membuat Fikri merasa Airlangga tengah mengintimidasinya.

Airlangga nggak sama yang muda nggak sama yang lebih tua, dia tetap galak :(Nggak boleh gitu, Air

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Airlangga nggak sama yang muda nggak sama yang lebih tua, dia tetap galak :(
Nggak boleh gitu, Air. Kualat kamu nanti.

etherealove ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang