Bab 22 - Zi Adalah Ziana

18 5 1
                                    

Written by: qusyair



Bisikan agar Ziana lekas tidur dengan mimpi buruknya yang seolah nyata, terasa sangat mengganggu. Ziana memang mengantuk, tetapi kali ini tubuhnya harus terjaga demi dua orang yang sudah berkorban banyak untuknya. Demi Mala dan pak Ravindra.

Mengingat lagi kejadian beberapa jam lalu membuat pening di kepala Ziana kembali. Cemas, takut, dan gelisah lagi-lagi tergambar jelas di kedua pupil mata yang mengecil. Dipikir seribu kali pun, meski kejadian ini terjadi karena 'dirinya' di masa lampau, akal sehat Ziana masih berseteru dengan fakta yang ada.

Bahwa Mala terluka di banyak tempat karenanya. Bahwa kedua dosen dan satu sahabtnya adalah reinkarnasi dari tiga orang penting dalam hidupnya. Bahwa dirinya juga melibatkan Tasya dalam permainan takdir-ah, Tasya. Ziana hampir lupa bertanya kondisi sahabatnya.

"Tasya ada di kamar Mala. Mereka berdua pasti syok atas kejadian ini. Orang waras mana yang bisa tahan ditembak dan menyaksikan penembakan? Aku harus menyusul mereka. Eh, tapi kenapa aku ada di lorong?" Ziana menyangka pikirannya memang kacau hingga tidak sadar kakinya membawa ke mana.

"Aku pasti terkena pikun sesaat setelah mendengar bisikan itu."

"Ziana!"

Kaki Ziana berhenti bergerak mendengar Ravindra memanggil namanya. Dosen sekaligus kekasih Elena di masa lalu itu memakai tongkat di tangan kanan. Berjalan pelan walau punggungnya yang tertembak.

Ziana mendekat. Memapah lengan kiri Ravindra. "Mau ke mana? Luka Anda belum pulih, Pak. Kalau butuh sesuatu panggil saya atau Tasya saja."

"Saya tidak apa-apa. Kondisi saya tidak seburuk itu sampai harus menyusahkan perempuan."

Ziana mencebik mendengar sindiran itu. "Yee, memangnya menurut Bapak, kami para perempuan tidak bisa melakukan sesuatu? Pernah dengar Wonder Woman? Iya! Itu perwujudan perempuan yang serba bisa, meski saya memang tidak bisa angkat beban dan masih jadi beban keluarga."

Ravindra tertawa renyah. Memperhatikan setiap ekspresi Ziana yang berubah-ubah saat mengatakan sesuatu. "Kamu lucu."

"Saya belum cosplay jadi pelawak, Pak."

Tawa Ravindra pecah. Mengacak rambut Ziana gemas. Tawa pertama setelah semua ketegangan di wajahnya. Ziana sedikit berbeda dengan Elena. Mungkin banyak. Seolah Ziana yang ini memiliki caranya sendiri untuk memikat orang sekitarnya, termasuk Ravindra.

Ziana merengut melihat rambutnya berantakan. Membiarkan tangan besar Ravindra menggenggam pundaknya lebih kuat-meski mirip sebuah rangkulan. Membuka pintu, Ziana mendudukkan Ravindra, menyimpan tongkat, lalu menarik selimut.

"Bapak sebaiknya istirahat yang banyak. Jangan keras kepala. Nanti kalau sembuh, saya janji tidak mengganggu Bapak lagi."

"Tapi saya suka diganggu kamu. Gimana?"

Untuk momen itu saja, di detik yang krusial, Ziana merasakan pipinya terbakar dan jantungnya berlarian. Seolah ada anjing gila yang mengejarnya dan berlarian bermil-mil jauhnya.

Gila. Efek 'saya suka diganggu kamu' ternyata sangat tidak bisa ditangani.

Izinkan Ziana tetap bernapas untuk waktu yang lama, Tuhan.

Ziana berdeham. Membuang tatapan ke arah mana saja asal tidak pada lelaki yang tengah menahan senyum di ranjang rumah sakit.

Sebuah notifikasi ponsel menyelamatkan Ziana dari kapal karam. Gemetar saat mengambil ponsel dan membaca pesan dari Tasya. Sahabatnya itu pasti sudah bangun.

Sudah ketemu Pak Ravindra?

Ziana mengerjap. Netranya curi-curi pandang pada lelaki di depannya dengan pesan Tasya. Bergumam mengerti lalu mematikan ponsel tanpa membalas pesan. Oh, jadi dirinya berdiri di lorong karena memang akan menemui orang ini.

"Kenapa kamu? Terkesima karena saya masih tampan walau terluka?"

"Astaga, Pak? Kenapa cuma punggung Bapak aja yang kena tembak? Kenapa bukan wajah Bapak juga?"

Ravindra tersenyum semringah. "Kamu aktif sekali malam ini. Kebanyakan energy, ya?"

Ziana diam. Tidak menanggapi lebih lanjut. Ingin menjawab lagi, tetapi sadar kalau perkatan dosen mudanya itu benar. Kenapa malam ini Ziana banyak bicara?

"Atau kamu hanya banyak bicara dengan saya saja, Ziana?"

Kelereng bulat Ziana hampir lepas dari rongganya jika tidak cepat berkedip. Alisnya terangkat, tangan bersedekap di dada. "Bukannya itu terjadi pada Bapak sendiri? Bapak juga banyak-"

"Ravindra. Jus't call me Ravindra saat kita berdua. Sapaan 'bapak' terlalu canggung."

"Tapi saya takut kurang ajar, Pak."

Ravindra tersenyum lembut, memberikan kenyamanan pada Ziana. Gadis ini ... semakin lama Ravindra mengenalnya, semakin membuat Ravindra sadar kalau Elena dan Ziana memiliki sekatnya masing-masing.keduanya mungkin berasal dari satu reinkarnasi. Namun, Ravindra selalu merasa keduanya berbeda. Ada sesuatu di diri Ziana yang berbeda dan tidak dimiliki Elena, begitu juga sebaliknya.

Jiwa mereka mungkin terhubung, tetapi sekali lagi Ravindra merasakan perbedaan itu.

Tangan Ravindra pelan-pelan menyentuh jemari lentik Ziana, bergerak lamban demi mendapat kepercayaan si pemilik. Ketika tidak ada perlawanan, Ravindra menggenggam tangan hangat itu. Tangan yang masih separuh gemetar akibat kejadian tak terduga malam ini.

Elena mungkin gadis Dante di masa lalu, tetapi Ziana yang kadang kala dipanggil Zi ... adalah milik Ravindra di kehidupan sekarang.

"Maukah kau kembali bersamaku?"

BK7 - Kumparan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang