18. sendiri merana

5 0 0
                                    

Gendoran pintu kamarku membabi buta ditambah dengan teriakan halilintar mama yang menggema-gema menusuk dinding telingaku yang imut ini. "Udah bangun!" jawabku kesal sambil memasukkan buku ke dalam tas dengan asal. 

Tak ada jawaban dari mama, sepertinya langsung meninggalkan pintu kamarku begitu saja. 

Aku membuka sebentar buku paket matematika--masih tampak baru karena memang jarang kubuka--sebelum kumasukkan ke dalam tas,  biar kelihatan seperti anak rajin sedikit. 

"Jangan lupa nanti pulangnya mampir ke toko kue! Bantuin buat konten!" sahut mama dengan suaranya yang terdengar jauh, ya dari mana lagi kalau bukan berteriak dari dapur. 

"Asal bayarannya sesuai!" balasku ikut berteriak. 

"Ada suprise menanti!"

"Oke ...." Gak ada salahnya sekali-sekali prasangka baik ke mama, biar jadi anak penurut.

*****

Sendiri is not easy. Kayak jalan sendiri dari rumah menuju halte tuh berat banget rasanya, sepi, gak ada teman ngobrol, masa iya nanti mas poci atau mbak kunti yang nemenin kan gak lucu. Ya ... walaupun gitu ada keuntungannya sih sendiri--cuma satu sebenarnya--jadi lebih kelihatan pemberani di mata mama. 

Halte kosong. Tumben banget si Merlin gak ada, apa sudah berangkat duluan? Apa dijemput si mantan? Semoga dugaan terakhir betul, soalnya Merlin masih gagal move on dari mantannya. Dianya sih gak ngaku, tapi kelihatan banget gamon-nya. Tipe-tipe manusia bucin.

Asik sih Merlin gak ada, tapi kalau sendirian kayak gini, gak ada asiknya sama sekali. Gak apa-apa deh dengarin curhatan tentang mantannya Merlin yang gak ada habisnya itu. Asal ada teman.

Ini juga si Aksara gak niat sekolah apa gimana sih? Hampir seminggu belum balik juga!

••o••

Setelah turun dari bus yang penuh drama tadi, aku menghela napas panjang, tak lupa mengucap syukur pada Yang Di Atas. Perdebatan antara ibu-ibu dan bapak-bapak di bus tadi masih menjengkelkan jika diingat-ingat. Padahal hanya masalah sepele karena si bapak gak mau beri tempat duduknya ke ibu-ibu, karena ia sudah duduk duluan. Namun si ibu gak mau kalah, ia balas menyindir si bapak karena tega dan tidak kasihan dengan perempuan. Si bapak masih dengan keras menolak. "Emansipasi yang dilakukan Ibu Kita Kartini untuk membuat kesetaran antara perempuan dan laki-laki Bu. Jadi yang duduk di bus ini pun juga setara! Tidak ada ketentuan hanya perempuan yang bisa duduk di sini!"

Muak kalo dingat-ingat. Jelas aku setuju sama perbuatan bapak tadi, ya ... karena si ibu itu baru datang lalu seenak jidat meminta tempat duduk secara paksa. Ini bukannya aku gak girl support girl. Masalahnya si ibu tadi bukan lansia, sehat, bugar, nggak bawa anak kecil dan gak hamil. Kelihatan hanya egois buat dirinya sendiri. Wajar 'kan kalo aku bertindak rasional?

Seandainya tadi aku berangkat sekolah sama Aksara, aku gak perlu tanggung ingatan kejadian tadi sendirian, kan aku bisa mencak-mencak marahin Aksara karena keegoisan ibu itu. Yah sayang seribu sayang, Aksara belum kasih tanda mau pulang. Nomor dan semua media sosialku pun masih di blokir.

Aku memasuki kelas dengan gusar. Ruby masih saja terang-terangan melirik sinis. Aku memutarkan mata malas, melihat tingkah Ruby yang semakin hari semakin kekanak-kanakan.

Bangku Sendy, Jiko, dan Dayat masih kosong. Aku menghela napas lelah lagi, ketiga lelaki itu yang setidaknya bisa kuandalkan jadi teman di kelas malah belum kelihatan batang hidungnya sedikitpun. Kalau Sendy jangan terlalu berharap, masuk 5 hari berturut-turut selama seminggu pun sudah syukur betul.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 03, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

AKSARA HILANG MAKNAWhere stories live. Discover now