PROLOG

82 7 5
                                        

Hari ini hujan turun menyapa debu hingga hilang dahaga jiwa-jiwa yang mengagumi senja, mencari telaga di atas sahara lenyap dilebur nestapa. Apakah saat hujan, senja akan menghilang? Entah. Senja adalah gejala geosfer saat matahari menuju kamar tidurnya yang berselimutkan samudera dihiasi ombak di lautan. Berdeburan gemuruhnya mengalahkan sunyi malam memecahkan harapan atas rindu yang tak kunjung dipertemukan. Lagi-lagi muncul pertanyaan sederhana, kalau memang tidak dipertemukan mengapa masih saling merindukan? Aku pun terdiam.

Setiap hari senja silih berganti, tetap objeknya adalah matahari. Aku mengagumi indahnya matahari, sunyinya matahari, sepinya matahari, bahkan kejamnya matahari saat memanggang janji-janji manusia yang pernah tersakiti. Apa salah matahari? Entah. Matahari hanya menjalankan tugas dari pencipta-Nya, tiada pernah berniat melanggar. Karena menurutnya, manusia hanya boleh bertautan janji kepada-Nya, itu mutlak hukumnya.

Lantas rindu ini milik siapa? Apakah salahku mengukir batu marmer dengan aksara gaya barat yang berpola "I LOVE YOU"? Itukah? Aneh betul, aku tidak bisa jelaskan semua kejadian yang memangkas logika dan menggergaji nalar. Semuanya mendadak tumpul kalau bicara soal rindu.

Pernah suatu hari aku pernah mendatangi seorang penyair yang sudah lebih dari satu dekade berjibaku dengan senja mempersoalkan siapa pemilik rindu yang sebenarnya. Namun, ia kalah telak dari senja. Ia dinistakan, dihinakan, diejek, bahkan hatinya lebur bersama gelap di malam sunyi yang tiada bintang dan rembulan di langit magenta. Lalu kutanya, "Apakah ketemu siapa pemilik rindu?". Kemudian katanya, "Rinduku ada bersama candu semesta yang begitu pilu, terbang menuju nirwana melewati langit dan bumantara melebihi jagat sawarna. Tiada pernah kembali, tiada bisa kutemui, namun aku bisa berkirim surat lewat sesuatu hal sederhana kepada pemilik langit dan bumi yang disebut doa."

Aku termenung, sedikit tidak percaya namun itu adanya. Ternyata benar kata seorang novelis yang membuat kisah roman di Bandung, kalau rindu itu berat biar aku saja. Awalnya aku tidak paham, namun semesta mengeja sebuah makna yang samar-samar kalahkan kaidah tulis-menulis yang termaksud dalam almanak yang bertuliskan kalau rindu yang sesungguhnya adalah kamu.

Terima kasih sudah menjadi bagian dari potongan kertas yang dengan besar harapan tidak untuk dijadikan bungkus gorengan apalagi sampai dibakar di perapian. Kamu adalah sebuah siluet yang tak mungkin berwujud pada sebuah kanvas tanpa warna-warninya cat air, tiada warna, tiada warni, tiada makna, dan tiada arti. Semoga kamu bahagia lewat tautan aksara ini, puisi-puisi yang maknanya tiada lain tiada bukan tentang rasa kagum, cinta, suka, duka, bahkan nestapa dari aku yang merindukan kamu. Sekian dan terima kasih.

TENTANG RASADonde viven las historias. Descúbrelo ahora