51. Sakit Yang Terlalu Dalam

8.2K 1.2K 121
                                    

Setelah bertemu dengan dokter Jepang yang bisa berbahasa Korea, Jisung kembali ke ruang rawat Haechan. Jaket semi parka hitam dengan hoodie putih di dalamnya, tak membuat Jisung hangat. Udara malam di Jepang hari ini sangat dingin, kemungkinan sudah memasuki musim dingin.

Di samping ranjang Haechan, berdiri sebuah meja nakas yang di atasnya terletak alat pemanas. Jisung menekan-nekan tombolnya agar alat itu mengeluarkan uap. Pendingin ruangan telah dimatikan oleh Jisung beberapa saat yang lalu sebelum dia menghidupkan pemanas. Setelah beberapa saat, ruangan yang tadinya dingin, perlahan terasa hangat.

Jisung duduk di sofa sambil melihat ibunya yang belum sadarkan diri. Dia sedikit kesal karena duduk berjauhan dengan ibunya. Jisung tidak bisa melihat wajah Haechan dengan jelas dari tempat duduknya. Besok, dia akan keluar dan meminta kursi pada petugas kebersihan. Akan tetapi, dia baru ingat, jika dia tidak bisa berbahasa Jepang.

Mengabaikan dirinya yang tidak bisa bahasa Jepang, Jisung akan mencoba menggunakan bahasa isyarat. Berharap salah satu dari mereka bisa mengerti isyarat yang diberikannya.

Jisung membalikkan tubuhnya dan berbaring di atas sofa. Televisi di depannya tak dia hidupkan. Saat pertama kali dia tiba di sini, Jisung mencoba mencari siaran yang ada bahasa Koreanya, tapi dia sama sekali tidak menemukannya. Daripada membuang waktu, Jisung memilih untuk tidak menghidupkannya sama sekali.

Ponsel yang dia gunakan pun tidak terlalu berguna. Nomornya saat ini tidak bisa dia gunakan. Karena itu akan menghabiskan banyak biaya. Lagipula dia tidak memiliki seseorang untuk dihubungi.

Memikirkan ini, Jisung mendadak teringat dengan seseorang di sana. Apa kabarnya sekarang? Apa dia masih mencoba menyakiti dirinya sendiri?

Saat pertanyaan-pertanyaan itu muncul, Jisung segera menggeleng. Mengusir mereka dari pikirannya. Untuk saat ini, Jisung hanya harus fokus pada Haechan.

Seperti yang dia rencanakan semalam. Jisung benar-benar keluar untuk mencari kursi yang bisa dia bawa ke ruangan ibunya. Menggunakan bahasa isyarat yang semoga bisa di mengerti oleh orang-orang itu. Menunjuk kursi dan mengerahkan banyak tenaga untuk berbicara dengan mereka.

"Harusnya kau memanggilku jika butuh bantuan."

Seseorang yang benar-benar dibutuhkan oleh Jisung, akhirnya datang. Dia tidak mengharapkan seseorang datang membantunya, tapi dia bersyukur orang itu datang dengan sendirinya.

"Dokter Yuta."

"Panggil saja Sensei. Orang-orang di sini memanggilku begitu."

Yuta berbicara sambil tersenyum. Dia berjalan ke depan petugas kebersihan yang sudah berusia paruh baya. Berbicara dengan mereka menggunakan bahasa Jepang dan kemudian mengambil sebuah kursi yang sedari tadi, Jisung butuhkan.

Sensei ini memberikan kursi tersebut pada Jisung dengan bibir yang melengkung. Berbeda dengan wajahnya yang seperti yakuza, kepribadian dokter ini begitu baik.

"Ayo. Aku harus memeriksa ibumu."

Yuta berjalan terlebih dahulu di depan. Jisung mengikutinya dari belakang sambil mengangkat kursi lipat. Hanya berselang lima pintu, mereka tiba di ruangan Haechan.

Saat keduanya masuk, Jisung melihat mata Haechan yang terbuka tengah menatap langit kamar. Dengan bahagia, dia menghampiri ibunya setelah meletakkan kursi lipat secara asal.

"Ibu! Ibu bangun!" Seperti 100 tahun tidak bertemu. Jisung memeluk Haechan yang baru saja sadar dengan erat. Tangan remaja ini melingkar di pundak ibunya, tanpa peduli dengan selang infus yang terjepit di bawah lengannya.

"Hei, Nak. Ibumu akan kehabisan napas jika kau memeluknya begitu."

Yuta mengambil kursi lipat yang diletakkan Jisung dan membawanya ke pinggir ranjang.

The Twins' Obsession | MARKHYUCK (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang