[17] iFFy: Us2

243 12 14
                                    

Dering ponsel membangunkan tidur Dara. Gadis itu merangkak turun dari ranjangnya untuk meraih benda tipis persegi panjang yang ia letakkan di meja rias.

Soket charger masih menancap di sana, begitu ia menggeser ke option warna hijau; terpampang jelas isi daya ponselnya yang hanya tujuh belas persen. Kira-kira sudah dua hari ia tak mengisi daya ponselnya karena malas.

Ya, sejak dulu musuh utama seorang Sandara Park adalah kemalasan. Sebelumnya ia boleh menyemangati diri untuk menyudahi kebiasaan itu agar cepat kaya. Tapi, kini baginya hidup berkecukupan saja sudah bagus.

Dia tak butuh rumah mewah, jam tangan mahal ataupun sebuah lamborgini untuk menemani kehidupannya yang sepi. Tinggal di tempat layak, pekerjaan tetap dan bisa makan enak saja ia sudah bersyukur. Hal yang paling ia inginkan di dunia ini selain itu adalah kebahagiaan.

Gadis itu menempelkan ponselnya ke telinga. Ia tak berniat mengangkat telepon dari siapa pun sepanjang siang ini, tapi karena pelakunya adalah Hoody, maka Dara harus mengangkatnya.

"Kau masih sakit?"

"Iya, tim-jangnim."

"Aku akan menjengukmu. Mau dibawakan apa?"

"Ti-tidak perlu, tim-jangnim." Gadis itu gelagapan. Ia tak sesakit itu, tapi sungguh dirinya tak ingin menemui siapapun.

"Kenapa?"

"Aku sedang tak mau bertemu dengan siapa pun." Dara menggigit bibir bawahnya.

"Kenapa? Apa terjadi sesuatu?"

"Ha-hanya masalah keluarga." Gadis itu berbohong. Perkataannya yang terbata mungkin akan menimbulkan kecurigaan oleh Hoody. Tapi nampaknya, atasannya itu benar-benar percaya pada Dara.

"Masalah keluarga, ya. Aku tahu pasti itu berat bagimu."

Dara mengangguk meski Hoody tak akan melihat aksinya di sana. "Kesehatanku menurun karna masalah ini."

"Semoga masalahmu cepat selesai, ya. Aku selalu mendoakanmu yang terbaik. Okay, take your time. Kalau sudah merasa baikan, kau bisa kembali ke kantor. Jangan memaksakan diri, aku tak ingin kau kena depresi."

"Terima kasih, tim-jangnim."

Bel apartment memekik berulang. Si pemilik tempat yang masih terbaring di ranjangnya kini terbangun. Rupanya ia kembali tidur sepanjang hari.

Ia melirik ke arah jam weker yang bertengger di atas nakas. Ia memicing menatap benda yang setiap pagi berdenting membangunkannya dari tidur. Begitu tahu jarum-jarum jam itu menunjuk ke angka berapa, ia terperanjat.

Gadis itu meloncat dari ranjangnya, berlari menuju tombol lampu di sudut. Seluruh ruangan gelap karena matahari telah terbenam. Begitu menjangkau tombol tersebut, ia segera menekannya. Dalam sekejap, ruangan itu disinari oleh cahaya lampu terang.

Bunyi bel masih memekik, seolah ditekan secara sarkas. Orang di luar sana mungkin khawatir karena si pemilik apartment tak menyalakan lampu di jam segini.

"Ya, sebentar." Gadis itu berjalan menuju pintu masuk.

"Sanghyun Park, sudah kubilang jangan ke sini seenakmu." omelannya berhenti ketika mendapati tamu yang datang bukanlah sang adik.

Langkah kakinya mundur diikuti pria dengan tinggi badan 171cm yang melangkah maju menghampirinya. Tangan bertato itu menjangkau dahi Dara.

Ketika punggung si gadis menghantam dinding dan langkahnya terhenti, si pria pun turut berhenti. Tangannya masih menempel di dahi si gadis.

IFFY [M]Where stories live. Discover now