Keterlaluan

1.8K 305 6
                                    

Naira tidak ingat bagaimana dia bisa berada di posisi saat ini. Duduk di sebuah cafe kecil tak jauh dari rumah sakit dan dia bahkan belum sempat menemui suaminya. Plus, tak jauh darinya ada pria tampan yang sedang memesan minuman untuk mereka.

"Apa yang aku lakukan tadi?" Gumam Naira.

Otak Naira berputar. Mengingat kembali apa yang terjadi saat dia sampai di rumah sakit lima menit yang lalu. Ah! Naira ingat. Dia melihat dokter bule yang baru datang beberapa minggu lalu bertabrakan dengan seseorang di dekat koridor. Naira melihat ada yang terjatuh dan dia memungut itu. Naira bermaksud mengembalikan jika dia tidak melihat benda apa yang dia pungut. Benda itu yang membuat dia kini duduk di cafe.

"Maaf, membuatmu menunggu,"

Naira menggeleng kecil.

"Jadi, dari mana kamu tahu nama kecilku?"

Naira tidak siap dengan pertanyaan ini. Naira harus menjawab apa? Naira menatap ke arah lain. Dia tidak bisa menatap dokter bule di depannya ini. Naira ingin sekali Arsen ada di depannya. Setidaknya dengan begitu dia tidak perlu berada di posisi seperti sekarang.

"Naira?"

Naira meneguk ludahnya perlahan. Dia menarik napas dalam-dalam. Harus bagaimana dia menjawab dan menjelaskan?

"Boleh kalau saya pamit sekarang?" Tanya Naira.

Dokter itu terdiam. Naira ingin Arsen segera datang. Ingin sekali. Pada akhirnya doa Naira didengar oleh Tuhan. Arsen datang menghampirinya. Dia berlari ke arah Naira dan segera merangkul bahu Naira saat dia berdiri di sebelah istrinya.

"Aku menunggumu di ruanganku, sayang," Ujar Arsen.

"Maaf,"

"Aku tidak mengatakan itu untuk membuatmu meminta maaf. Aku hanya khawatir,"

Naira mengangguk. Arsen menoleh dan menemukan Edward Snowden duduk di depan istrinya.

"Ada apakah?" Tanya Arsen.

"Saya hanya mau berterima kasih pada istri dokter. Istri dokter Rio menemukan barang berharga saya yang jatuh tadi,"

Arsen mengangguk paham. Arsen mengajak Naira makan siang bersama. Naira mengangguk dan pamit pada Edward.

"Adrisha..."

Arsen dan Naira berhenti melangkah saat mendengar nama itu. Arsen langsung menoleh ke arah Edward.

"Tadi, anda mengucapkan apa?" Tanya Arsen.

"Adrisha. Itu, nama orang yang saya cari,"

Arsen langsung menatap Naira. Adrisha adalah nama tengah sang istri. Naira Adrisha Wiratama. Arsen meneguk kasar ludahnya. Jantungnya sendiri sudah berdegub dengan cepat. Kepala Arsen mulai pusing karena banyak hal berkelebat di otaknya.

"Hhhh!" Edward menghela.

"Aku terlambat, ya?" Ujarnya.

Keheningan menghampiri mereka bertiga. Hanya suara musik di cafe dan juga suara mesin kopi yang terdengar disana.

"Maaf," Ujar Naira.

Edward tersenyum kecil.

"Tak apa. Boleh aku tanya sesuatu?" Ucap Edward.

Naira menoleh pada Arsen dan melihat suaminya masih terkejut. Wajah sang suami mungkin hanya menampakan raut datar. Akan tetapi, sorot matanya sangat dipenuhi kekhawatiran dan kegelisahan. Naira tahu itu. Naira menggenggam tangan Arsen dengan erat sebelum dia mengangguk pada Edward.

"Apa kamu bahagia?" Tanya Edward.

"Sangat. Aku sangat bahagia. Arsen mencintaiku lebih dari dirinya sendiri. Dia juga sangat menjaga aku. Kalau ada ungkapan yang melebihi bahagia, aku akan mengatakannya,"

[DS #3] Save Me Hurt MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang