Prioritas

1.6K 268 6
                                    

"Kak Arsen keterlaluan!!"

Ucapan Naira itu membuat langkah kaki seseorang berhenti. Naira memang sedang tidur dengan posisi membelakangi pintu kamar. Jadi, dia juga tidak menyadari kalau ada seseorang yang dengan hebatnya sudah membuka pintu kamar tanpa suara dan bahkan sedang berjalan ke arahnya. Tak lama setelah itu Naira dibuat terkejut dengan pergerakan di ranjang. Naira mengira Alesha menghampirinya. Jadi, Naira menahan isakan kecilnya dan juga mengatur napasnya agar Alesha tidak menyadari dia sedang menangis seperti sekarang.

"Alesha, kamu dan papi makan malam duluan saja,"

Tidak ada jawaban, Naira berbalik dan kembali dibuat kaget dengan sosok di sebelahnya. Bukan Alesha, tapi penyebab Naira pundung di kamar lah yang ada di sebelah Naira. Naira berdeham kecil dan kembali berbalik.

"Aira..."

Naira hanya diam tidak menjawab. Helaan nafas berat Naira dengar sebelum tangan kokoh berada di atas perut buncitnya. Telapak tangan besar itu mengusap perut Naira dengan perlahan dan hati-hati.

"Aku minta maaf," Ujarnya pada Naira.

"Tidak perlu, kak. Ucapan maaf kalau terlalu sering diucapkan bisa kehilangan arti,"

Jawaban Naira memukul telak sang suami secara tak kasat mata. Naira sendiri sudah terlalu sering mendengar maaf dari mulut suaminya. Maaf itu seperti sekedar ucapan selamat pagi, di telinga Naira. Naira sudah lelah mendengar kata maaf dari suaminya.

"Aira..."

"Kalau anak kita belum ada di perutku, kakak boleh saja tidak percaya padaku. Tapi ini, anak kita sudah ada di perutku dan sudah akan lahir. Bagaimana bisa kakak masih tidak mempercayaiku?"

"Aira aku hanya-"

"Takut? Itu yang mau kakak ucapkan?"

Naira meneguk ludahnya. Tenggorokannya sakit karena menahan isakannya. Air mata Naira sudah kembali mengalir tanpa diminta.

"Apa pernah kakak tahu betapa takutnya aku saat kakak memilih menemani pasien kakak itu daripada aku dan anak kita? Tapi, saat itu aku tidak pernah sedikit pun tidak percaya pada kakak. Rasa percaya itu ada dan masih melekat kuat sampai kakak membentakku waktu itu. Sedangkan kakak? Hanya karena satu fakta terkuak kakak langsung tidak percaya padaku,"

Arsen terdiam. Dia memang salah. Naira tidak berujar apapun lagi. Dia masih tetap di posisinya membelakangi Arsen. Naira masih menahan isakannya juga. Sementara Arsen juga berdiam di posisinya karena ucapan sang istri. Kini Arsen merenung dia membenarkan apa yang istrinya katakan. Bagaimana bisa dia tidak mempercayai istrinya sendiri? Dia bahkan sempat berpikir kalau Naira akan meninggalkannya dan pergi dengan Edward.

Padahal Naira sudah menegaskan tanpa ragu kalau dia bahagia dengan Arsen. Harusnya Arsen percaya pada Naira saat Naira sudah berucap seperti itu. Arsen menyadari dirinya benar-benar bodoh. Sangat bodoh. Suara ketukan pintu membuat Arsen sedikit terjingkat. Arsen berdiri dan berjalan ke arah pintu.

"Ada apa, Sha?" tanya Arsen.

"Nai sedang tidur, ya?"

Arsen melirik ke arah Naira dan kembali menatap Alesha. Dari tatapan Arsen Alesha tahu kalau pasangan suami-istri ini kembali dirundung masalah. Alesha mendekati Arsen.

"Alesha akan adukan ke papi kalau kakakk tidak bisa membuat Naira tersenyum dan makan malam di bawah setengah jam lagi!" bisik Alesha mengancam.

Arsen mengangguk kaku. Selepas Alesha pergi, Arsen kembali menutup pintu kamarnya. Arsen melihat Naira masih berbaring dengan posisi membelakanginya.

"Sayang... Aku m-"

"Jangan meminta maaf, kak!" Ujar Naira dengan suara seraknya.

Naira bangkit dari posisinya dengan perlahan. Dia turun dari ranjang dan berjalan melewati Arsen menuju ke kamar mandi. Arsen bisa melihat mata sembab Naira dan raut kekecewaan yang Naira tunjukan. Arsen terkaku. Dia bahkan merasa tidak pantas untuk sekedar menahan tangan Naira agar sang istri berdiri di depannya.

[DS #3] Save Me Hurt MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang