4. Lukisan

1.4K 208 4
                                    

Maaf ya, kalo kata-katanya acak-acakkan...

***

Sekar menepis beberapa helaian daun yang berjatuhan di atas kertas lukisnya. Siang ini memang panas, mungkin itu sebabnya daun mulai turun tak tahan dengan hawa yang panas.

Lukisannya baru setengah jadi, namun Sekar sudah malas untuk menyelesaikannya. Ia lebih banyak melamun melihat pemandangan di depannya. Lalu melihat lukisannya sendiri yang sangat jauh berbeda dengan apa yang dia lihat. Ya, karena belum selesai.

Orang bilang, seseorang pasti punya bakat tersembunyi pada suatu bidang. Sekar beruntung karena ia bisa melakukan apapun yang dia mau seperti melukis dan lainya yang ia inginkan. Tidak seperti perempuan lain yang hanya sibuk bekerja dan belajar bagaimana menjadi standar wanita pada era ini.

Namun sayangnya sampai saat ini Sekar belum menemukan bakatnya. Ia suka membaca, namun ia tidak suka membaca terlalu lama, apalagi jika kata-katanya sulit. Ia suka menggambar, namun ia tidak merasa kalau ia berbakat dalam hal ini. Lukisannya tidak sebagus itu untuk ia banggakan. Ia suka belajar sesuatu, namun jika sesuatu itu semakin bertambah rumit saat ia mempelajarinya, ia merasa sangat bodoh. Jadi menurutnya, ia hanya suka melakukan hal-hal yang mudah. Ia tidak bisa melakukan sesuatu yang lebih dari hal-hal dasar.

“Ndoro, Raden Bagas mencari panjenengan.” Ucap Darmi sedikit membungkuk. Ia juga membawa beberapa peralatan kebersihan untuk membersihkan daun-daun yang mulai menutupi apapun di bawahnya.

“Dimana?” tanya Sekar. Ia berdiri dan bergegas.

“Sepertinya di taman ndoro. Saya juga tahu karena pelayan lain yang mengatakannya. Saya tidak bertemu dengan Raden Bagas.” Ucapnya yang membuat Sekar mengangguk. Ia tak menjawab lagi dan langsung pergi mencari Bagas.

Tujuannya adalah ketaman, karena Darmi bilang mungkin dia ketaman. Jika bagas tidak ada ditaman, Sekar mungkin akan mencarinya ke tempat latihan karena Bagas biasanya kesana pada siang hari.

Setelah dirinya sampai ditaman, ternyata benar kalau Bagas berada disini. Ia tengah berdiri dan memandang bunga yang ada di sekitar kakinya. Sesekali bergerak mencabut kelopak bunga yang ada di depannya, bunga mawar yang sudah setinggi orang dewasa.

“Kang Mas mencariku?” Tanya Sekar di belakang tubuh Bagas. Ia berjalan sangat pelan agar Bagas tidak sadar ia sudah berada di belakangnya, sampai Bagas terkejut.

“Kamu disini,” ucapnya yang di balas Sekar dengan anggukan dan senyuman. Ia memperhatikan Bagas yang sepertinya salah tingkah hendak mengatakan sesuatu.

“Sekar, kamu tahu kalau Kang Masmu ini sangat menyukaimu dan menghormatimu bukan?” Tanya Bagas hati-hati.

Sekar mengangguk. Ia tahu betul rasa sayangnya dan kekaguman Bagas pada dirinya. Entah untuk apa ia mengaguminya, karena ia tidak merasa ia pantas untuk dikagumi. Namun, ia tahu betapa Bagas mengaguminya, sangat tahu.

“Aku selalu ingin kelak, aku mempunyai pasangan yang sepertimu. Seperti tingkah lakumu, seperti senyumanmu, dan seperti apapun yang ada dalam tubuhmu….” Bagas terdiam. Ia lalu melanjutkan, “…Aku sangat senang begitu tahu kalau kita akan menikah. Tapi aku juga ingin kau bahagia. Aku ingin kau mendapatkan sesuatu yang pantas. Akhir-akhir ini aku sadar, kalau diantara kita mungkin hany—”

Sebelum Bagas menyelesaikan ucapannya, Sekar sudah terlebih dahulu menyelanya dan memotong ucapannya. “Kalau ini yang Kang Mas ingin bicarakan, aku sudah bilang kalau ini sudah jelas Kang Mas. Aku tidak mau Kang Mas mengungkit hal-hal yang hanya akan menambah beban pikiran antara kita. Biarkan semuanya berjalan sesuai alur dan tidak perlu lagi membicarakannya.” Ucap Sekar. Ia melihat Bagas yang menyergit, namun ia tidak memperdulikannya.

Ia tahu kalau Bagas hanya ingin mengungkit kesenjangan posisi dan masalah tentang pernikahan yang sebenarnya tidak perlu lagi di ungkit. Lebih baik memang tetap seperti ini dan melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia pergi.

Bosan, Sekar akhirnya kembali ke paviliun dan menyelesaikan lukisannya. Ia tidak boleh seperti ini. ia tidak boleh melakukan sesuatu hanya karena ia ingin. Jika ia sudah memulai sesuatu, maka ia harus menyelesaikannya.

Langkah kaki Sekar yang lebar namun tidak begitu lebar untuk bisa sampai dengan cepat membuatnya seperti sedang marah. Beberapa orang yang berpapasan dengannya mengira kalau ia sedang marah, padahal ternyata tidak.

Saat sampai di bibir paviliun, Sekar melihat sesosok laki-laki yang sedang memunggunginya. Rambut panjang bergelombangnya menggantung diantara leher dan bagian atas punggung. Sepertinya ia sedang mengamati lukisannya yang belum selesai. Ia sendirian, Darmi sudah tidak ada namun semua daun yang menjengkelkan hilang. Pasti ia pergi setelah selesai membersihkan paviliun ini. Alat lukis dan lukisannya masih disitu, mungkin Darmi berpikir kalau Sekar akan kembali ke paviliun.

Awalnya Sekar ingin pergi secara diam-diam, namun belum ia melangkah menjauh, sebuah suara membuatnya berbalik. “Kenapa pergi?” Tanya Gajah Mada. Sekar terkejut. Ia sagat pandai membuat langkah kakinya tidak terdengar. Bahkan Bagaspun tidak tahu ketika ia berjalan di belakangnya. Namun sepertinya hal ini tidak berlaku pada sang Mahapatih. Terbukti dari ia yang tahu keberadaannya saat ini.

Sekar tersenyum. Ia lalu menghampiri Gajah Mada agar tidak menyinggungnya karena dikira tidak mau bertemu dengannya.

“Salam Mahapatih,” Sekar sedikit menunduk menunjukan rasa hormatnya. Sedangkan Gajah Mada hanya mengangguk samar.

“Hari ini kau kesini lagi. Ini lukisanmu?” Tanya Gajah Mada. Sekar mengangguk dan duduk di depan Gajah Mada. Lukisannya yang belum selesai terkesan abstrak dan acak-acakan. Dengan cat yang belepotan di mana-mana.

Sekar tersenyum malu. “Ini belum selesai. Sangat disayangkan Mahapatih melihat lukisan yang belum selesai. Ada apa Mahapatih datang kesini, kali ini bukan karena tersesat bukan?” Tanya Sekar.

Ini adalah wilayah kekuasaannya. Biasanya, tempat ini hanya dia yang menempati untuk menyendiri dan menghabiskan waktu. Jadi, sekarang ada seseorang yang datang kesini, ini seperti mengganggu privasinya dan mengambil daerah kekuasannya. Pertama, mungkin laki-laki ini tersesat, maka ia memaklumi. Kali ini, apa yang sebabnya?

Gajah Mada tertawa. Tawanya sangat kencang sampai membuat Sekar terkejut. “Apa aku harus menjelaskan kenapa aku berada disini?” Tanya Gajah Mada. Ia pikir, semua orang sangat menghormatinya dan tidak berani tidak bersikap terlalu blak-blakan kepadanya. Tapi sekarang dia sedang ditanyai oleh seorang gadis seperti dia adalah seorang penerobos.

Sekar menyergit. Yah, bagi Gajah Mada, ia bukanlah siapa-siapa. Gajah Mada tidak tahu kalau ia adalah seorang putri. Bahkan jika ia tahu sekalipun, apa kedudukannya mampu membuat Gajah Mada menghormatinya? Dua kerajaan seperti piramida di pesisir gurun. Majapahit berada di puncak, sedangkan Taring hanya di posisi tiga kaki penopang bawah.

“Kemarin kita mengobrol dan itu sangat menyenangkan. Jadi, sekarang aku kesini, barang kali kamu akan kesini lagi. Dan, itu benar.” Ucapnya dengan senyuman yang tak luntur.

Sekar menyergit. “Mencariku?” tanyanya. “Aku hanya ingin mengobrol dan mencari suasana baru. Tidak ada orang yang bisa ku ajak mengobrol santai seperti ini.” Ucap Gajah Mada.

Sekar terpekur. Yah, bagi Gajah Mada pembicaraan yang dia lakukan hanya tentang perang dan politik. Sekar bahkan tidak menyangka kalau mengobrol dengan orang ini bisa sesantai ini. Ia tidak seperti sedang mengobrol dengan petinggi beringas dan ambisius seperti yang dikatakan orang lain tentang Gajah Mada.

Jadi, Sekar tersenyum. Ia sedikit merasa kasihan dengan hidup laki-laki ini. Di balik kesuksesan karir dan reputasinya yang mengagumkan, mungkin ia kesepian di balik topengnya. Wajar, ia juga manusia. Punya dua mata, dua tangan, satu otak, dan tujuh lubang.

Sekar meraih kotak cat dan memberi sedikit air ke dalamnya. Lalu ia memutar-mutarnya dengan kuas hingga air itu berwarna. Kuas yang sudah kotor ia bersihkan, dan mulai melanjutkan melukis.

Gajah Mada melihat itu dengan seksama. Tidak ada yang ia lakukan. Ia hanya melihat dan mengamati tanpa berkomentar. Namun, ia merasa nyaman dan lega seperti tidak ada yang memberatkan pikirannya. Suasana ini, pemandangan ini, dan waktu ini. Ia merasa puas.

“Sudah lama kamu belajar melukis?” Tanya Gajah Mada tanpa memalingkan pandangannya dari kuas Sekar.

“Dari kecil, tapi saya tidak pernah belajar dengan sungguh-sungguh. Ini hanya untuk mengisi waktu luang saja, Mahapatih.” Ucap Sekar. Juga tanpa memalingkan wajahnya dari kuas yang ia genggam. Sapuannya lembut, namun sangat berani. Setiap warna yang ia pakai sangat kontras satu sama lain. Namun air dan kuas meleburkannya dan membuat tekstur.

Warna kesukaannya hijau. Jadi ia mencampurkan warna merah dan biru untuk mengisi atas langit, lalu mencampurkan warna biru dan hijau untuk menggradasikan warna. Kemudian baru warna biru yang dia buat dari biru langit hingga biru muda yang hampir berwarna putih. Ia memakai kuas yang lebih besar untuk meratakan warna dari ungu samar hingga biru semi putih.

“Sangat berani,” Komentar Gajah Mada. Ia baru berkomentar setelah beberapa saat. Ia tidak berkomentar saat ia melihat warna hijau di jadikan warna awan, namun setelah melihat hasilnya, Sekar berhasil membuatnya tersenyum dan kata itu meluncur mewakili pandangan awalnya. “Tidak sesuai pemandangan sebenarnya.” Ucapnya lagi.

Sekar mengangguk. “Tidak apa-apa.” balasnya.

Lukisan yang menjadi objek mereka selesai setelah beberapa saat kemudian. Hasilnya bagus, namun tidak sebagus pelukis yang sering ia lihat.

Karena lukisannya selesai, keduanya juga pergi. Tidak ada alasan lain Sekar disitu karena lukisannya sudah selesai. Dan tidak ada alasan lain bagi Gajah Mada disitu karena Sekar sudah selesai. Benar-benar alasan yang serasi.

Mereka berdua berpisah, namun masih ada beberapa perasaan yang terbawa. Identitas Sekar sepertinya masih aman, Gajah Mada tidak pernah menanyakan hal-hal pribadi selama mereka bertemu. Hanya saat ia menanyakan nama dan ayahnya. Itu saja. Sepertinya pertemuan mereka hanya murni untuk mengobrol antar teman yang sedang melepas waktu. Entah apa identitas temanmu, selama kamu nyaman mengobrol dengannya, maka yowesben.

Keesokkan harinya, Sekar bangun pagi-pagi sekali untuk pergi kepasar. Sudah sangat lama ia tidak kepasar. Biasanya setiap beberapa minggu atau bulan, ia akan pergi kepasar untuk melihat-lihat. Pakaian yang dikenakannya akan berada saat ia berada di keraton. Lebih sederhana dari sederhananya ia sehari-hari. Ia juga memakai kerudung1) agar lebih tidak dikenali.

“Sugeng enjing Ndoro. Ndoro mau kepasar lagi?” tanya Sari melihat Sekar yang sudah bersiap sangat pagi. Saat ia datang, pintu sudah terbuka dan Sekar sudah berdandan. Biasanya, ia akan berdiri di depan pintu menunggu Sekar bangun dan membantunya berdandan.
(Selamat pagi Ndoro.)

“Iya Sar. Mumpung kober.” Jawab Sekar melihat merapikan rambutnya.”

(Iya Sar. Mumpung sempat.)

Sari mengangguk. Kalau Sekar kepasar, biasanya ia akan membantu dayang dapur. Tidak masalah.

“Ya wes. Aku mangkat ya,” Ujar Sekar. Setelah anggukan Sari, ia pergi di tengah hawa sejuk pagi hari. Kerudung yang ia pakai berwarna merah. Sangat cocok dengan batiknya yang berwarna merah bata. Perawakannya yang ideal membuat baju apapun yang dikenakannya menjadi bagus.

Jalanan yang dilalui Sekar masih sangat sepi, tapi tidak sesepi yang membuat Sekar takut. Ada beberapa orang yang juga akan kepasar, namun mereka membawa beberapa tenggok2) berisi beras.

Sekar terpekik dalam hati saat ia sampai di pasar. Pasar sangat ramai dan bau jajanan benar-benar membuatnya gembira. Sayur-sayuran tercecer.  Beberapa yang busuk dan terinjak sangat menjijikan juga bau. Tapi mampu membuatnya merasakan bahagia saat melihat orang berlalu lalang dan menawar.

Dari tadi, mata Sekar tertuju kepada seorang paruh baya yang berpapasan dengannya tadi. Tenggok berisi beras yang ia bawa ia barterkan dengan nasi jagung agar lebih banyak. Maklum. Di kerajaannya, beras adalah makanan yang tidak semua orang bisa memakannya sehari-hari. Jika kamu mempunyai beras dua kilo, akan lebih baik untuk menukarkannya dengan nasi jagung supaya lebih banyak dan habis sedikit lebih lama. Sekar beruntung karena ia bisa memakan nasi beras setiap hari.

Ia tidak membawa uang banyak. Ia hanya membeli beberapa jajanan dan menikmatinya disana langsung. Tujuannya kesini bukan hanya sekedar mencicipi jajanan. Tujuan utamanya adalah melihat kondisi kerajaannya. Ia bertanya tentang harga pangan di setiap penjual. Kerajaannya bukanlah kerajaan besar. Jika ada pihak jahat yang menimbun jualan dan menekan harga pasar, maka kerajaannya benar-benar akan berada dalam masalah. Kesejahteraan rakyat akan lebih buruk dari ini. Saat orang-orang di kerajaannya jujur, kerajaan bahkan tidak semaju itu untuk bersaing. Apa jadinya jika kerajaannya di huni oleh manusia tamak?

Sekar kembali saat matahari sudah terang. Keraton sudah ramai. Ia memakai kerudungnya saat melewati penjaga. Saat melewati taman, Sekar memberhentikan langkahnya. Disana, ada Bagas dan seorang gadis. Dari yang Sekar lihat, Bagas sedang membantu gadis itu membawa beberapa gerabah.

Bagas suka tersenyum. Ia juga ramah. Namun untuk Sekar yang sudah mengenal Bagas dengan baik, ia tahu kalau senyumannya sangat segar dan berseri-seri. Gadis itu juga sesekali melihat wajah Bagas walaupun ia langsung tertunduk malu dan tidak terlalu berani menatapnya. Bagas sedang kasmaran, dan Sekar tahu itu. ia berusaha untuk menahan tawanya melihat tingkah Bagas yang lucu saat berhadapan dengan wanita.
Lalu Sekar teringat saat Bagas mencarinya kemarin. Ia memikirkan dengan seksama apa yang Bagas katakan. Saat ia mengingat dengan jelas apa yang Bagas katakan secara detilnya, ia melotot dan menutup mulutnya.

“Jangan-jangan kemarin Kang Mas mau bilang ini?” Sekar memukul kepalanya sendiri merasa malu. Karena kepercayaan dirinya, ia malah salah paham dengan Bagas. Ia merasa sangat malu dan tidak berani memikirkan ucapan yang ia lontarkan kemarin pada Bagas. Kalau saja ia tidak memotong ucapan Bagas dan tidak pergi begitu saja. Kenapa ia sangat bodoh?

Sekar menurunkan tangannya dari kepala. Setelah merutuki apa yang telah ia lakukan, ia tidak bisa berada disitu dan menguntit orang kasmaran. Kalau ada yang melihat, maka ia akan merasa lebih malu.

***


Catatan penulis :
1. Kerudung yang dimaksud disini adalah selendang panjang seperti yang digunakan penari. Kerudung ini tidak bisa menutupi rambut karena bahannya yang biasanya tipis dan tembus pandang. Cara memakainya juga asal-asalan dan masih memperlihatkan sebagian rambut dan leher.
2. Tenggok adalah keranjang kecil. Biasanya dipakai untuk kepasar, dan membawa barang-barang berpergian. Walaupun ada tenggok yang besar. Yang dimaksud dalam bab ini adalah tenggok yang kecil.

GAJAH MADA ; Megat RosoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang