20 • Pipit

203K 28.6K 2.7K
                                    

Kakek Theo berjalan masuk menuju ruang kerjanya. Ingin melihat seberapa banyak emas yang diambil oleh cucunya itu. Baru satu langkah Kakek langsung terkejut. Laptopnya hilang, tumpukan dokumennya hilang, emas yang disimpannya ludes, bahkan jam di mejanya ikut diambil. Bolpoin berharga pemberian presiden juga di ambil.

"ANTONIO!!!" suara kakek menggema memanggil sekretarisnya.

"SEKARANG JUGA KIRIM ORANG UNTUK MENGEJAR THEO!!"

"BAIK."

Kakek Theo memegang dadanya dan berjalan menuju kamarnya. Seketika kakek tercengang. Kakek langsung berjalan menuju tempat koleksi jamnya, ternyata benar jamnya sudah ludes. Bahkan dompetnya, sepatunya, lukisan di dinding hasil lelang.

Kakek Theo duduk bersandar pada dinding.

"Antonia!" panggil kakek Theo dengan sedikit lemas.

"Iya tuan."

"Batalkan mengirim orang untuk mengejar Theo. Ganti kirim orang untuk mengurus hak waris dan suruh Theo untuk tanda tangan. Mulai besok saya akan pensiun dan tinggal di desa bersama Pipit." Kakek Theo termenung sejenak. "Pipit mana?" tanya kakek mencari kucing kesayangannya.

"Biar saya yang mencarikan."

Kakek Theo mempersilahkan asistennya untuk mencari kucing itu. Sementara kakek tetap duduk termenung menatap kamarnya yang sudah terlihat sepi.

"Sepertinya Pipit ikut dibawa tuan."

Kakek Theo berjalan pelan menuju kasurnya. "Panggilkan dokter sebelum jantung saya kumat dan mati terkena serangan jantung."

__________

Theo kini duduk termenung sambil menghitung jumlah emasnya. Kira-kira 3 permata dan 7 batang emas sudah mencapai angka 30 M. Belum jika ia menjual mobil berharga fantastis itu. Belum baju kakeknya, lukisan hasil lelang, sepatu kakeknya, jam kakeknya. Sepertinya ia sudah tidak perlu susah payah bekerja seumur hidupnya.

"I i i i i, Lbl, lucu banget loooohhhh," ucap Ruza sambil mencubit gemas kucingnya.

Theo melirik bocah satu itu dan menghela napas. Sebenarnya kasihan Pipit jika harus dirawat Ruza. Bisa kena tekanan batin kucing itu.

"Namanya siapa kak?"

"Pipit."

"Iiiiii pipittt, pipit, pipit." Ruza mengangkat pipit dan mengayunkannya ke atas. "Pipit sayang, cium dulu dong."

Theo menidurkan dirinya di sofa sambil melihat tingkah Ruza. Sudah ia katakan bahwa bocah satu itu suka sekali mengatakan cium dulu. Tidak pada manusia pada kucing pun begitu.

"Pipit laper nggak?" tanya Ruza sambil menciumi pipit.

"Apa? Laper? Mari kita makannnnn." Ruza mengangkat pipit menuju ke dapur dan mengambil ayam goreng.

"Aaa a a." Ruza membuka mulutnya agar pipit ikut membuka mulut. Namun kucing itu memalingkan pandangan dan menolak ayam goreng Ruza.

"Ih pipit katanya laper. Kok nggak makan sihhh."

"Emang pipit pernah ngomong laper? Kan lo sendiri yang tanya dan jawab."

Ruza menatap Theo dengan horor, ia lalu melempar sebuah bantal pada Theo. "Kakak apaan sih, ikut campur," ucap Ruza dengan ketus.

Theo menangkap bantal itu dan melempar balik pada Ruza, alhasil bantal itu mengenai kepala Ruza.

"Gbl, gbl, gila banget looo," ejek Theo, menirukan bahasa Ruza.

THEORUZ: Guarding My Love DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang