Dua Sisi

36 10 0
                                    

Aku membuka lemari dan mendapati seikat ilalang yang mengering. Sesuatu selalu diluar kendali manusia, seperti mengikat untuk menjaga malah akhirnya memutus kehidupan. Ah, apakah aku mengerti apa yang aku katakan barusan? Sepertinya tadi aku meracau. Ya, sebenarnya banyak definisi dari mencintai. Mungkin salah satunya terjadi kepada Mbak Zahra, bahwa mencintai memang tidak harus memiliki.

Jika aku telusuri lebih jauh lagi, kesakitan dan luka yang didapatkan Mbak Zahra dari penantian panjangnya adalah karena dia sendiri yang memilih bertahan. Aku mengerti, bagaimana rasanya menunggu. Dan aku juga memahami, bagaimana perasaan Gus Gibran yang tidak bisa dipaksakan untuk mencintai. Keduanya tidak salah dan tidak benar. Mereka berdua punya dua sisi yang harus dimaklumi. Aku tidak bisa menyalahkan perasaan Mbak Zahra karena cinta itu tumbuh dan berhenti sesuai kehendakNya. Dan aku juga tidak bisa menyalahkan Gus Gibran karena mengabaikan Mbak Zahra bertahun-tahun, mungkin bisa saja dia ingin mengatakan tapi belum menemukan kata yang tepat.

Aku tidak suka berprasangka buruk kepada pemikiran oranglain. Jadi, biarkan mereka berdua menyelesaikan permasalahannya sampai selesai. Aku bukannya tidak cemburu melihat Mbak Zahra mengobrol dengan Gus Gibran waktu itu. Hanya saja, ada batasan yang harus aku kendalikan agar tidak merusak semuanya.

Perasaan yang dimiliki oleh seseorang harus dihargai, agar tidak menyesalinya di kemudian hari. Ah, sekuat apapun Mbak Zahra bertahan perasaan itu perlahan akan terlupakan begitu saja. Aku yakin dia akan menemukan seseorang yang lainnya.

"Ra!" Aku menoleh dan menutup lemari dengan cepat.

"Apa May?"

"Gapapa." Katanya sembari duduk didekat ku. "Gus Gibran belum balik sih."

"Ehh, masa? Aku kira dia langsung ke Cirebon lagi." Maysaan menggelengkan wajahnya lesu.

"Kenapa? Kok lesu?"

"Abi sama Uminya Mbak Zahra kesini tuh, lagi di ndalem."

"Ohh, ya gapapa."

"Masalahnya, Abah nggak setuju kalau perjodohannya dibatalin!"

"Abah?" Maysaan mengangguk.

"Umi setuju, tapi Abah enggak. Abi dan Umi Mbak Zahra pun begitu. Padahal Mbak Zahra sudah mengatakan untuk membatalkannya."

"Kamu nguping?"

"Yyeeh, orang aku tadi ke ndalem nyiapin makanan sama minuman. Diskusi mereka kan kedengeran."

"Hmmm.." Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan atau lakukan. Aku saja belum memperjuangkan apapun.

"Aku pasrah aja deh!"

"Jiah, gimana sih! Mbak Zahra udah ngebatalin loh! Kamu harus buktiin ke Abah kalau kamu emang pantes bersanding sama Gus Gibran!"

"Kamu tahu sendiri, May. Aku bukan kalangan mereka. Apa lagi yang mau ditunjukin?"

"Ya, seenggaknya, jangan nyerah dulu lah!" Aku hanya tersenyum kecut menanggapi saran Maysaan. "Gus Gibran mertahanin kamu, masa kamu nyerah?"

"Abah, Abi dan Umi Mbak Zahra yang aku hadapi. Bukan orang sembarangan!"

"Lagian yang mau nikah kan kalian!"

"Emang seharusnya aku nggak kesini, biar Mbak Zahra tetep ngejalanin perjodohannya sama Gus Gibran!"

"Hus, nggak boleh kamu ngomong kayak gitu. Sesuatu itu sudah ada jalan takdirnya. Jangan pesimis dong!"

"Kalau kamu di posisi aku, kamu bakal ngapain?"

"Emmm, ya nunggu lah. Diem aja dulu, aku yakin Abah bakalan luluh nanti!"

"Nggak tau deh, aku lagi nggak semangat!" Aku ciut, nyaliku tidak seberani itu untuk membantah Abah.

Kisah Bersama Gibran (On-Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang