[14] UNBELIEVE

476 95 9
                                    

Ini merupakan momen yang langka. Tidak pernah sekali pun lelaki pirang itu bangun lebih awal, jika memasuki hari libur. Oleh sebab itu, Naruko menyukai bangun pagi di hari libur. Karena dia tidak perlu mendengar hardikan sang kakak yang merubah suasana pagi menjadi lebih buruk.

Dia tidak pernah sekali pun melihat Naruto memasak. Meskipun di hari biasa ia bangun, dan di atas meja sudah disediakan makanan. Tetapi saja, dia tidak percaya kalau lelaki itu yang menyiapkan sarapan untuknya.

"Apa yang terjadi?" katanya, sembari menarik kursi untuk mengambil duduk. Memandangi punggung sang kakak yang sedang sibuk pada panggangan. "Jadwal penerbangan ibu diundur sampai lusa. Kau tidak perlu sibuk, bukan?"

Naruto tidak mengindahkan sama sekali. Memilih untuk melepas apron dan menggantungnya pada pengait yang disediakan. Lalu ia mengambil duduk, makan dengan tenang. Sang adik bermuram durja, memberi tatapan peringatan, sembari mengambil mangkuk yang hanya diisi oleh nasi.

"Apa ini karena Hinata?"

Kalimat itu mengusik telinga. Naruko refleks memberikan segelas air putih, karena lelaki pirang itu tersedak. Helaan napas terdengar dari Naruto, menatap datar wajah tengah penasaran akan respons seperti apa yang diberikan olehnya. Tetapi, kembali acuh tak acuh dan memutuskan untuk kembali melanjutkan sarapan pagi.

Kening mengernyit bingung memandang. Ini memang tidak seperti biasa yang terjadi. Gadis pirang itu tidak lagi berselera makan, memilih untuk menggeser mangkuk ke samping, lalu menopang dagu sembari menatap dengan intimidasi ke arah kakaknya.

Perasaan tidak nyaman muncul, tetapi Naruto berusaha tenang, tidak mengindahkan tatapan curiga itu. Nasi perlahan sulit masuk ke dalam tenggorokan. Hingga, perasaan kesal itu akhirnya meledak. Meletakkan sumpit dengan kasar ke atas meja, adalah sebagai bukti kalau ia sedang marah.

"Apa!" hardiknya. "Aku tidak nyaman jika kau menatapku seperti itu terus. Lebih baik kau keluar dan nikmati hari liburmu."

"Kau tahu? Hampir setiap hari aku libur. Justru, kalimat yang kau katakan terakhir lebih tepat untukmu."

Terserentak, lelaki pirang itu berdecak lidah karena merasa dipojokkan sang adik. Ia memutuskan untuk meletakkan sisa makanan ke dalam wastafel. Tetapi, suara dari kemera ponsel mengganggu telinganya. Naruto memberi tatapan peringatan ketika Naruko sedang mengetik sesuatu sembari menggumam.

"Ibu, lihatlah! Hari ini dia membuang makanan." Suara papan tombol dari ponsel sengaja dinaikkan. Suara-suara itu membuat perempatan siku Naruto muncul. Naruko tersenyum menang ketika lelaki pirang itu kembali duduk di meja makan.

"Jadi benar, ini mengenai Hinata?" Sengaja mengubah nada suara agar terdengar mengejek, alis itu bahkan naik-turun untuk menggoda. Ia sangat suka, ketika melihat sifat tsundere kakaknya. "Jangan jual mahal, kau bisa menyesal. Ya ... meskipun dia sudah memiliki kekasih, bukan berarti kita tidak boleh jatuh cinta, bukan?"

"Hei," sela Naruto. Kesal bukan main, karena kalimat itu terdengar licik dan jahat. Namun, tidak lama kemudian dia mengatup bibir rapat.

Naruko kembali tersenyum senang, ini sangat menyenangkan. Ia bahkan tidak pernah merasakan perasaan ini, rasa ingin menggoda seseorang dan mempermainkan hati orang tengah jatuh cinta, tetapi bimbang. Perasaan ini menggelitik hati kian menyenangkan. Menyebut diri sebagai perantara untuk menghubungkan dua orang agar saling mencintai. Lagi pula, dia memiliki kapal yang harus berlayar. Apa pun yang terjadi, Naruko ingin kapal itu tetapi berlayar. Meskipun harus menyingkirkan seseorang.

Aku akui itu jahat.

Dia tergelak, membingungkan Naruto yang melihat itu. Jari-jari tangan Naruko mengetuk pinggir meja makan. "Sebenarnya, ada sesuatu yang aneh," katanya. Dan hal itu mampu membuat lawan bicara penasaran. "Aku lupa kalimat lengkapnya. Namun, kesimpulan yang bisa ditarik kira-kira seperti ini ̶ ̶ hubungan Hinata dan kekasihnya, sepertinya kurang baik."

UNBELIEVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang