34. Lebih Dari Teman

2.3K 408 62
                                    

"Kak, ada yang mau konsultasi." Wenny menampakkan wajahnya di depan ruangan tempat aku bersemayam sembari menonton drama yang sedang naik daun akhir-akhir ini.

Sudah dua hari aku di rumah. Karena bosan, aku akhirnya pergi ke kantor Uni Zia. Padahal pekerjaanku hanya menonton saja, sementara Uni Zia bolak-balik kesana-kemari mengurus segala keperluan. Makin hari ia makin sibuk saja.

"Loh? Bukannya kalau yang mau konsultasi sama kamu aja ya? Bagian Uni Zia ngurusin yang udah pasti aja kan?" Aku meraih tisu di depanku lalu mengusapkannya pada kedua mataku. Efek nonton drama yang dipenuhi adegan menangis makanya aku begini.

Selama di rumah aku manfaatkan waktuku untuk melakukan apa saja yang bisa aku lakukan. Seminggu, waktu yang diberikan untukku. Karena itu aku berusaha menenangkan diriku secepat mungkin dengan melakukan apapun yang aku suka. Salah satunya adalah menonton.

"Orangnya gak mau Kak. Katanya mau konsultasi sama Kakak langsung."

Aku belum pernah menangani klien sejak awal. Semuanya mayoritas adalah klien Uni Zia. Aku hanya membantu mengkoordinir acara dengan segala persiapannya. Sementara klien yang aku hadapi selama ini sejak awal berurusan dengan Uni Zia. Apa yang harus aku lakukan sekarang?

Bayangan seseorang yang berdiri agak jauh dari Wenny membuat aku spontan mengedipkan mata berulang kali. Ini pasti efek memperhatikan layar laptop dalam waktu lama, makanya mataku mulai mendapati objek yang aneh.

Ku usap mataku berulang kali. Kemudian aku membuka tas dan mengeluarkan kacamata dari sana. Akhir-akhir ini aku sering menggunakan kacamata karena aku sering nonton drama yang mengharuskan aku untuk ikut meneteskan air mata. Dengan bantuan kacamata, orang tak akan tau kalau aku habis menangis.

"Yaudah suruh masuk aja." putusku akhirnya seraya memasang kacamataku. Sayang juga kalau Uni Zia harus kehilangan calon kliennya.

Ketika kembali menatap ke arah pintu masuk, aku menemukan seseorang yang tengah berdiri di sana. Wenny sudah tak ada lagi, hanya tinggal dirinya seorang. Jadi ini bukan salah mataku? Memang kenyataannya dia ada di sini, di depan mataku.

Aku lantas berdiri dan merapikan laptopku yang semula aku taruh di atas meja yang diapit oleh sofa. Ruangan Uni Zia aku anggap layaknya rumah sendiri. Sehingga dengan enaknya aku bebas mencari tempat ternyaman, yaitu lesehan di atas karpet.

Langkahku yang perlahan membawaku ke meja kerja Uni Zia terasa sangat berat. Apalagi karena aku menghadapi situasi tak terduga seperti saat ini. Kenapa Abi bisa ada di sini?

Memang sekarang tanggal merah, tapi untuk ke Bukittinggi bukanlah perkara yang mudah. Namun sepertinya tak ada hal yang sulit baginya. Lagipula siapa yang memberitahu Abi kalau aku berada di sini? Meskipun ia pernah ke Bukittinggi, tapi aku tak sekalipun membawanya kemari.

"Permisi, Mbak." Sapaan itu seketika membuat kepalaku yang semula menatap laptop sambil berpikir keras segera berputar menuju ke sumber suara.

Dia datang ingin konsultasi? Lelucon kan ya? Kenapa pula harus jauh-jauh ke sini hanya untuk berkonsultasi?

Niatnya ingin menenangkan diri, tapi aku tak bisa benar-benar tenang. Pikiranku tetap saja mengarah pada hal yang menimpaku baru-baru ini. Apalagi orang yang menyebabkan itu semua ada di hadapanku sekarang. Hal yang perlahan aku lupakan selama beberapa hari ini tiba-tiba memenuhi kepalaku lagi.

"Silahkan masuk, Mas." Senyum tipis yang semula ia tunjukkan perlahan pudar digantikan oleh tatapan datar. Ia berdehem sejenak lalu bergerak menuju kursi yang berada tepat di seberang ku.

Aku berusaha mengkondisikan mataku agar tak terus-terusan menatapnya. Hari ini dia adalah klienku. Ya, dia hanya klien. Anggap saja begitu. Karena memang itulah tujuan ia datang.

Di Balik Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang