45. Minggu Terburuk

656 135 33
                                    

Ayoo, vote terlebih dahulu!

Bab 45: ᴍɪɴɢɢᴜ ᴛᴇʀʙᴜʀᴜᴋ

Jonathan menyusun rencana selama beberapa hari untuk menyerang Kerajaan Danadyaksa, dengan bantuan Valendra, ia memutuskan untuk menyerang besok. Selama itu juga, Aeris dan Valendra menetap di Daniswara.

Pasukan dari Hanasta pun sudah tiba di Daniswara dua hari yang lalu. Valendra melatih mereka lagi dalam dua hari itu. Saat itu juga, Aeris menyadari bahwa Valendra benar-benar hebat.

Cara dia mengayunkan pedang membuat Aeris hanya fokus dengannya. Namun, ia benar-benar melatih pasukannya dengan keras. Waktu istirahat yang mereka dapat pun hanya sedikit. Itu membuat Aeris cemas akan kesehatan para pasukan dari Hanasta tersebut.

Saat ini, di pertengahan hari, matahari sedang cerah. Valendra menyuruh pasukannya untuk istirahat dan berkumpul lagi setelah beberapa menit.

Aeris yang melihat Valendra berjalan menjauhi pasukannya itu segera menghampiri Raja tersebut.

"Sudah selesai latihannya?" Aeris bertanya secara tiba-tiba. Valendra agak terkejut karena Aeris yang mendadak ada di sampingnya, namun, ia cepat-cepat menetralkan mimik wajahnya.

"Kami hanya beristirahat. Latihan akan dimulai beberapa menit lagi," jawab Valendra lalu duduk di bangku yang telah disediakan.

"Penyerangan akan dilakukan besok, bukan?" Valendra mengangguk menjawabnya.

"Tidakkah menurutmu mereka harus beristirahat sekarang? Agar besok mereka kembali segar dan bisa melakukan penyerangan dengan baik," saran Aeris.

"Tidak. Karena ini hari terakhir, maka mereka harus berlatih dengan giat lagi." Valendra dengan tegas menolak saran Aeris.

"Bagaimana jika mereka ada yang pingsan? Kau tahu, saat aku masih tinggal dengan warga-warga di Hanasta, mereka tak henti-hentinya membicarakan tentang kejamnya dirimu. Aku kira, kau tidak sekejam yang mereka ceritakan, sampai aku melihat sendiri bagaimana kau melatih para prajuritmu itu, benar-benar kejam," ucap Aeris sambil menatap langit.

Valendra menghentikan kegiatannya yang sedang mengelap keringatnya, ia lantas menatap Aeris.

"Jangan dengarkan apa kata mereka." Valendra berkata.

"Lagi pula, mereka sudah terbiasa untuk mengikuti latihan seperti ini. Mereka juga prajurit-prajurit pilihan, yang tentu saja fisiknya tidak usah diragukan." Valendra menjeda ucapannya sebentar.

"Aku tidak diperbolehkan Ayahmu untuk ikut dalam penyerangan, maka dari itu, mereka harus mewakiliku di sana," lanjutnya.

Aeris melihat ke arah belakang, para prajurit-prajurit itu duduk sambil mengobrol satu sama lain. Mereka tertawa seperti tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Lihat? Bahkan mereka sedang bercanda satu sama lain," ucap Valendra.

Aeris menghela napasnya lalu membalikkan tubuhnya lagi. Ia terdiam sesaat kemudian berkata, "Semoga besok berhasil."

Valendra menatap sekilas Aeris. "Akhir-akhir ini kau terlihat sedih sekali. Kau menangisi Putri Iris setiap malam, bukan? Menyesal kepadanya." Perkataan Valendra sontak membuat Aeris tersenyum kecil karena sudah tertangkap basah menangisi Iris tiap malam.

"Kau mengetahui semuanya," gumam Aeris.

"Aku memiliki pendengaran yang sangat tajam," ujar Valendra.

Lalu, hening menyelimuti mereka. Tidak ada percakapan lagi. Valendra melihat sekilas ke belakang dan berdiri.

"Aku akan kembali melatih mereka. Kau ingin di sini saja atau kembali ke kamarmu?" tanya Valendra.

"Berdiam diri di kamar merupakan pilihan buruk. Aku akan melihatmu melatih mereka lagi." Valendra mengangguk menjawabnya. Ia lantas kembali berjalan menuju para prajurit-prajurit pilihannya.

Edith: Survive in PastWhere stories live. Discover now