dua: Pergulatan Tahta

27 3 0
                                    

"Aku tahu kau menyuruhku untuk melanjutkan bisnis kotormu, maka dari itu aku pergi agar kau tak bisa meminta itu padaku!" jelas Darreno yang enggan melanjutkan pekerjaan kotor ayahnya itu.

Jemian terkekeh, rupanya ada sisi baik di dalam anaknya yang tak ingin menjadi bos mafia seperti dirinya. Padahal sedari kecil Darreno sudah Jemian didik sedemikian rupa untuk kapan saja siap menjalankan takhta yang ia tinggalkan.

"Sifat baik itu tidak akan memberikanmu kekuatan dan keamanan anakku," kata Jemian sambil menatap anak semata wayangnya itu. Darreno berdecih, ia tahu bahwa penghasilan haram ayahnya memang menguntungkan.

"Keamanan? Aku selalu melihat kau hampir mati, Jemian." Darreno menatap ayahnya itu sengit."Itu bukan keamanan yang aku maksud, bodoh!" Jemian dan Darreno berakhir dengan cek-cok seperti biasa. Tak ada yang mau mengalah satu pun.

Hal ini membuat kepala Gemima mau pecah rasanya. Ia sedaritadi mendengarkan kedua prianya ini berbicara, namun tak kunjung menemukan titik terang dan malah beradu argumen."Diam!!" pekik Gemima frustasi. Ia memegangi kepalanya yang berdenyut. Ia rasa tekanan darahnya naik.

Sontak kedua pria dewasa itu langsung menatap Gemima. Gemima yang semula menduduk langsung menatap ke arah dua pria itu dengan tatapan sinis.

"Kau manusia tua, mau apa?" tanya Gemima pada suaminya itu.

"Kau tahu mauku apa...."

"Jawab saja, kau mau apa?" tanya Gemima kesal pada suaminya itu. Kemudian Jemian menghembuskan napas dan mengalah untuk memberitahu ulang apa yang ia mau.

"Aku ini sudah tua, sudah waktunya anak kita yang mewarisi takhta di markas."

"Lalu kau bocah tengik, apa maumu?" tanya Gemima dingin. Melihat reaksi ibunya yang serius, tentu saja Darreno tidak berani macam-macam.

Alasan mengapa ibunya kuat menangani keliaran ayahnya itu adalah....Mereka berdua sama-sama liar dan sama-sama gila. Melihat ibunya seperti itu membuat Darreno menggeleng.

"Aku tak ingin melanjutkan takhta kotor itu!"

"DARRENO!" pekik Jemian yang tak terima profesi yang ia agung-agungkan dianggap remeh oleh putranya sendiri.

"Apa? Aku salah? Memang benarkan!" balas Darreno tak mau kalah.

"Sudah cukup," lagu-lagi Gemima mencegah perdebatan mereka.

"Kau Jemian, dengarkan dulu anakmu. Dan kau bocah tengik, jelaskan alasanmu kenapa kau berkata seperti itu. Pekerjaan ayahmu tak begitu hina kau tau!"

"Aku tak ingin terus-terusan menjual wanita dan narkoba, aku mau jika kau rela aku menghentikan semua pasokan itu!"

"Kau pikir aku menjual barang seperti itu?" tanya Jemian terkekeh, ternyata anaknya ini salah paham tentang pekerjaan mereka.

"Bukannya kau selalu merebut wanita panggilan atau narkoba dari markas lawan?" tanya Darreno bingung. Ia tak mungkin salah sangka mengenai ayahnya selama ini bukan?

"Kupikir kau cerdas, Darreno!" pekik Jemian yang kegelian karena anaknya yang melongo bingung itu.

"Hahaha ... Baiklah anakku, akan kujelaskan," kata Jemian yang terkekeh, ternyata kepintaran anaknya membuatnya malah salah paham. Baguslah, ternyata memang itu tujuan Jemian. Jika anaknya saja tidak bisa nebak, sudah pasti orang lain tidak akan menebak juga.

"Aku mengambil mereka untuk bekerja di pabrik atau pun perusahaan kita, sesuai dengan kemampuan mereka. Kau tahu orang yang selalu melayanimu? Angela? Dia juga salah satu wanita penghibur disalah satu pub dekat Toronto," kata Jemian sambil tersenyum bangga saat menjelaskannya.

"Kita hanya menjual senjata dan keamanan, aku jamin itu. Aku juga ingin memiliki cucu perempuan, jadi aku takkan berbuat kejam pada cucu orang lain seperti menjualnya. Walaupun terkadang aku membunuh kakek mereka," lanjut Jemian dengan nada santai, seperti sudah menyiapkannya dengan matang.

"Santai sekali kau membicarakan pembunuhan, Jem," kata Gemima sengit, Darren menghembuskan napasnya, ternyata selama ini ia salah sangka. Dengan meletakkan mereka di karantina dekat PUB hanya menyamarkan identitas asli mereka agar tidak terendus oleh lawan.

"Lalu bagaimana dengan narkoba?" tanya Darren yang memang teliti.

"Ya aku jual lagi, lumayan," jawab Jemian santai.

"Itu namanya kamu menyebarluaskan!" pekik Darreno kesal, ayahnya ini sangat santai sekali.

"Aku menjualnya kepada pihak kepolisian, walaupun tidak untung banyak. Setidaknya namaku terpampang baik di kepolisian," kata Jemian sambil menaik-turunkan alisnya, Darreno lagi-lagi harus menahan sabar melihat ketengilan ayah kandungnya ini.

"Kau memang licik, Jemian," cibir Gemima yang juga baru sadar dengan apa yang Jemian lakukan selama ini.

"Kau memiliki pabrik, perusahaan, bahkan kau memiliki pub dan karaoke, kenapa masih menjual senjata? Kita hentikan saja bagaimana? Kita sudah kaya," kata Darreno enteng.

"Kalau keluar dari dunia hitam ini segampang kata-kata busuk yang keluar dari mulutmu, aku sudah lama pension, bodoh!" celetuk Jemian yang tak menyangka bahwa anak semata wayangnya ini ada sisi bodoh dan dungunya.

"Kau ini bodoh sekali," timpal Gemima sambil menggelengkan kepalanya.

"Ya, terus saja kalian mengomeliku. Seolah-olah tidak butuh aku saja," cibir Darreno yang tak mau kalah. Akhirnya mereka sama-sama diam, Jemian menunggu keputusan anaknya bersama Gemima. Sementara Darreno masih menimbang haruskah perusahaan gelapnya itu tetap ia teruskan.

"Aku memberi waktu kepadamu sekitar tiga hari," kata Jemian setelah sepuluh menit mereka semua berdiam diri. Darreno menatap ayahnya dengan tatapan datar, memang Jemian terlalu mengerti dirinya.

Kebiasaan Darreno ialah berpikir hingga tiga hari dan memberikan keputusan. Lebih atau kurang hari bisa bernasip buruk atau baik. Namun jika tiga hari sudah ia pilih secara matang dan ia mampu mengeksekusinya.

"Kalau begitu aku pamit," kata Darreno tanpa banyak basa-basi dan langsung beranjak pergi dari hadapan kedua orang tuanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 11, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tuan MafiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang