Part 2

4K 93 0
                                    

Usai mandi, aku masih enggan untuk kembali ke kamar. Mengingat insiden dalaman terjatuh tadi, rasanya aku tak siap bertemu Mas Fauzi. Malunya sampai ke ubun-ubun. Lain hal dengan raut wajah pria itu yang terlihat biasa saja. Tidak aneh. Mungkin baginya melihat pakaian dalam wanita sudah bukan hal asing.

Aku yang sedari tadi duduk di kursi meja makan, kini beranjak bangun dan berjalan mendekati ruangan di dekat dapur. Ada dua ruangan lagi yang mirip kamar, tapi pintunya tertutup.

"Ada kamar lain  kenapa enggak tidur terpisah saja?" gumamku, lalu mencoba memutar handle pintunya. "Dikunci ternyata."

Aku bergeser ke ruangan yang ada di tengah-tengah kamar utama dan kamar belakang tadi, tapi hasilnya sama. Dikunci. Aku berdecak kesal seraya menggaruk kepala gemas, lalu mau tak mau melangkah lagi menuju kamar utama.

Untuk beberapa saat, aku masih berdiri di hadapan pintu sembari mengatur pernapasan. Kegugupan kembali menyerang karna memikirkan harus berada satu ruangan dan satu tempat tidur dengan pria asing sepertinya. Apalagi dengan ukuran kasur yang tidak terlau besar itu. Sudah pasti jarak kami akan berdekatan.

"Iiih!" Aku mengentak-entakkan kaki dengan kesal seraya menarik-narik gemas jemariku. "Semua ini gara-gara Bima! Tega sekali dia mempermalukanku dan keluarga di hari pernikahan."

Kuusap kasar air mata, lalu mencoba mengendalikan perasaan yang sempat kembali diselimuti perasaan emosi, kecewa sekaligus sedih. Setelah dirasa cukup tenang, akhirnya kuputar handle pintu, lalu masuk dan menutupnya lagi. Aku berharap Mas Fauzi sudah tidur, tapi ternyata tidak. Dia tengah duduk bersandar tembok sambil membaca buku dengan kacamata baca bertengger di hidungnya.

Menyadari kehadiranku, dia melirik sedikit. Sementara, aku masih berdiri di sini sembari menelan ludah gugup dengan jari tangan yang saling meremas.

"Sampai kapan mau berdiri di situ? Enggak mau tidur?"

"Aku ... tidur di mana?"

Dia menatapku dalam diam, lalu menutup buku, membuka kacamata dan meletakkan keduanya di atas nakas.

"Tidur di kasur ini. Di mana lagi? Atau kamu mau tidur di sofa saja?"

Tapi aku lihat tadi ada dua kamar lain di rumah ini.

Sayang, perkataan itu hanya mampu kuucapkan di dalam hati saja. Aku tak berani mendebatnya jika dia terus menatap intens seerti itu. Rasanya seperti ditatap singa yang akan menyerang buruannya saja.

"Kenapa diam? Enggak mau?"

"Mau, Mas," jawabku pelan dan pasrah, lalu berjalan pelan mendekatinya.

"Kamu tidur di sisi dekat dinding saja. Biar aku di sebelah sini."

Dengan perasaan tak karuan, aku mulai merangkak naik ke ranjang, lalu meringkuk membelakanginya. Rasa kantuk dan lelah hilang seketika. Kini, yang ada hanya perasaan gelisah, takut dan gugup.

Bagaimana kalau dia tiba-tiba berubah pikiran dan memaksaku melayaninya?

Aku menoleh perlahan ketika kasur ini bergoyang, lalu beralih ke posisi duduk lagi saat melihatnya berdiri seraya membawa satu bantal.

"Kamu bisa tidur dan istirahat dengan tenang. Biar aku tidur di sofa," ujarnya tanpa menatapku, kemudian berlalu pergi keluar kamar.

Kuhela napas lega seraya mengusap dada. Syukurlah dia mengerti kalau aku merasa tak nyaman dan aman berada satu ruangan dengannya. Sekarang aku bisa tidur dengan leluasa dengan pikiran yang tidak melayang ke mana-mana.

Aku beranjak turun dari ranjang, lalu berjalan cepat menuju pintu. Kugigit bibir bawah sembari refleks menahan napas saat memutar kunci dengan sangat hati-hati. Setelahnya, aku berjalan santai menuju ranjang lagi dan berbaring di sana sambil tersenyum.

Namun, senyum ini lenyap ketika mengingat peristiwa memalukan dan menyedihkan tadi pagi.

🍁🍁🍁

"Adelina!"

Aku yang sedang menunggu di ruang rias langung melihat ke arah pintu saat mendengar suara Papa memanggil.

"Kenapa Bima dan keluarganya belum datang juga? Ini sudah jam berapa, lho. Tamu-tamu juga mulai berdatangan." Mama terlihat panik dan khawatir.

"Coba kamu telepon dan tanyakan dia sudah sampai mana," titah Papa.

Aku mengangguk, lalu kembali menghubungi nomor Bima, tapi hasilnya sama.

"Nomornya enggak aktif, Pah," lirihku dengan perasaan gelisah.

"Apa maksudnya sih, si Bima itu? Awas saja kalau sampai berani mempermainkan keluarga kita!" geram Papa seraya berkacak pinggang.

"Terus, sekarang kita harus bagaimana, Pah? Tamu undangan sudah hadir, tapi acara sudah molor satu jam dari rencana. Akad nikah saja belum." Mama menggoyang-goyang lengan Papa.

"Sudah. Mama jangan buat papa tambah panik. Biar papa suruh orang untuk cek ke rumahnya. Dan kamu Adel, terus hubungi Bima atau ibunya atau siapalah itu. Pokoknya coba terus sampai ada kepastian!" tegas Papa, lalu pergi dari ruangan ini dengan Mama yang terus mengekori.

Aku mengangguk pasrah dan mencoba kembali menghubungi nomor Tante Silvi dan teman-temannya Bima. Nomor Tante Silvi sama tak aktifnya, sedangkan satu pun dari teman Bima tak ada yang tahu di mana dia berada.

Kepanikan dan rasa takut semakin menyerang kami semua terutama Mama Papa. Sudah dua jam menunggu, tapi Bima dan keluarganya tak kunjung hadir. Rumah orangtuanya pun kosong setelah dicek oleh orang suruhan Papa. Penghulu bahkan sudah mendesak agar lebih dipercepat karena ada jadwal di tempat lain.

Sementara, aku di sini hanya bisa menangis sedih bercampur marah karena Bima tega menghilang begitu saja ketika pernikahan kami akan digelar. Jika memang dia ingin membatalkan pernikahan ini, kenapa tidak dari kemarin-kemarin? Kenapa harus mencoreng mukaku di hadapan khalayak umum. Membuat Mama dan papa jadi malu dengan semua tamu undangan yang hadir. Terlebih lagi, kebanyakan dari mereka adalah teman bisnis.

"Sabar, ya, Mbak." Perias pengantin mencoba menenangkanku yang terisak di hadapan Papa yang sedang murka, dan keluarga lain yang sedang mendiskusikan jalan keluarnya.

"Permisi."

Kami semua menoleh dan mendapati seorang pria dengan kemeja abu, berjalan mendekat.

"Siapa kamu dan ada perlu apa? Enggak lihat kami sedang ada masalah penting yang dibahas?" sergah paman Adi.

"Maaf kalau mengganggu. Saya papanya Bima."

Semua orang di sini ikut terkejut termasuk aku. Setahuku, papanya Bima bukanlah pria ini. Semula kami semua ragu dengan fakta itu, tapi setelah diceritakan jika pria ini sudah lama bercerai dari mamanya Bima, kami akhirnya percaya. Terlebih lagi, dia memperlihatkan foto Bima semasa kecil di ponselnya.

Papa yang telanjur murka pun hampir menghajarnya. Namun, segera ditahan oleh paman karena memang papa kandung Bima ini tidak tahu apa-apa soal menghilangnya calon suamiku itu.

"Anakmu itu memang keterlauan! Enggak punya otak! Dia sudah menyakiti putriku dan membuatnya malu di hadapan umum! Bima sudah mencoreng nama baik keluarga kami!" hardik Papa berapi-api.

"Saya mohon maaf atas kesalahan yang dilakukan Bima."

"Maaf enggak cukup untuk memperbaiki semuanya! Sekarang kami harus bagaimana? Acara sudah siap dilangsungkan, tapi calon mempelai pria malah kabur! Benar-benar enggak ada adab! Kurang ajar! Tamu undangan sudah pasti akan menertawakan insiden ini!"

"Saya akan berusaha mencari tahu Bima pergi ke mana. Tapi enggak akan bisa cepat karena sudah lama kami hilang kontak. Saya juga baru dikabari tentang pernikahan ini tiga hari yang lalu."

"Lalu, sekarang bagaimana? Kami harus membatalkan pernikahan ini begitu? Mau ditaruh di mana muka saya di hadapan para tamu undangan!" sergah Papa dengan suara lantang.

"Biar saya yang bertanggung jawab atas kesalahan Bima."

"Caranya?"

"Saya yang akan menikahi putri Anda."

🍁🍁🍁

DINIKAHI CALON MERTUAWhere stories live. Discover now